Sabtu, 29 Januari 2011

Perbaikan Gizi


Beberapa hari yang terlewat, dan mungkin sampai beberapa hari kedepan, kegiatan terasa lebih leluasa dari biasanya. Bagaimana tidak, waktu libur telah tiba, dan tidak hanya kuliah yang libur karena UAS telah usai, PPM juga ikut-ikutan libur, karena IAS (imtihan akhir semester) atau UASnya PPM juga telah usai, karenanya, tidak sedikit para santri yang mudik alias pulang kampung.

Alhamdulillah, akhirnya ane bisa mudik juga, ane sudah kangen berat sama keluarga di kampung nih,” ujar salah-satu santri. Mereka sangat antusias dalam mempersiapkan kepulangan mereka. Sehari sebelum keberangkatan, barang-barang sudah beres dikemasi, dan tidak lupa memborong makanan khas Bandung untuk oleh-oleh orang di rumah.



“ Nih, coba lihat, ane ngeborong brownies kukus penganan asli Bandung, oleh-oleh ini spesial untuk calon istri alias yayangku tercinta yang telah dengan setia menunggu ane di kampung,” pamer teman santri yang lain,” Tapi jangan khawatir kawan, ane tahu antum sedang kesusahan pulus, oleh karenanya, ane juga ngeborong makananlain untuk santri yang gak mudik, semoga makanan ini bermanfaat,” tambahnya sambil mengambil bungkusan besar dalam kantong plastik hitam. Tak ayal aku dan temen-temen yang tidak mudik merasa gembira, karena sesungguhnya memang benar, kami yang tidak mudik amat sangat kesusahan uang, dan Inilah salah-satu alasan kenapa kami tidak pulang kampung.

Tidak butuh waktu yang cukup lama, makanan pemberian teman ludes tidak bersisa. Kini kami hanya tinggal mengandalkan uang tersisa di dompet masing-masing. Setelah kami saling mengabsen kepemilikan uang kami, ternyata uangku yang paling kecil, di dompet hitam lusuhku hanya tinggal tersisa uang kertas enam lembar, uang-uang itu nominalnya sama, yaitu seribu rupiah. Jadi, uangku kini hanya tersisa enam ribu rupiah saja. Sedangkan sekarang, di kalender masih dalam tanggal-tanggal pertengahan menjelang ke tanggal tua, jadi, sekitar satu atau dua minggu lagi kiriman baru akan tiba. Aku bingungdengan biaya makan beberapa hari kedepan, sedangkan uangku hanya bersisa enam ribu rupiah saja.

“ Waduh, maaf ya Ko, sebenarnya tadi saya juga mau pinjem uang padamu, tapi karena sekarang Niko duluan yang pinjem ke saya, jelaslahlah sudah persoalannya, berarti kita sama-sama sekarat,” jawab santri yang tadi tidak ikut mengabsen jumlah uang tersisa di dompet karena dia baru datang dari kegiatannya. Mau pinjem pada teman-teman di kampus, sepertinya sudah terlambat, karena mereka semua sudah mudik beberapa hari yang lalu. Satu-satunya ikhtiar yang bisa kulakukan hanyalah bagaimana caranya mengelola uang tersisa agar mencukupi biaya makan sampai kiriman orang tua tiba, juga tidak lupa berd’oa kepada sang Maha Pemberi agar Dia mencukupi kebutuhanku dengan caraNya yang ajaib.

Kamis ini aku puasa sunnah. Mudah-mudahan Allah SWT, tidak mengurangi pahala puasaku, karena kalau boleh jujur, di hati terselip sedikit maksud dari puasa iniadalah untuk menghemat uang makan. Untuk buka puasa, aku tidak akan menggunakan uangku, aku akan ikut ta’jil gratis di mesjid DT. Salah-satu kebiasaan rutin di mesjid DT adalah mengadakan ta’jil gratis untuk puasa sunnah Senin dan Kamis.

Sambil menunggu magrib tiba, aku merenungkan keadaan nasibku. Di sela-sela perenungan itu, tidak jarang aku membuka dompetku. Sebenarnya aku sudah tahu berapa jumlah uang yang ada di dompet, tapi aku tidak pernah berhenti berharap dengan munculnya sebuah keajaiban, keajaiban yang bisa membuat uang didompetku bisa berkembang biak menjadi banyak. Hampir setiap jam aku membuka dompet, sekarang adalah yang kesekian kalinya, dan Alhamdulillah, setelah dilihat, hasilnya tetap sama, uangku masih enam ribu rupiah saja.

Jam lima sore, aku bersiap untuk meluncur menuju mesjid DT. Pakaian sudah rapih, dari mulai ujung kepala sampai ujung kaki. Peci putih, baju takwa putih, celana katun warna hitam, sendal jepit yang telah aku beri tanda tiga huruf, yaitu huruf N, C dan P. NCP adalah singkatan dari namaku, Niko Cahya Pratama.Juga tidak lupa syal ungu kebanggaan PPM terikat dengan rapih di pundakku.Aku melangkah keluar asrama dengan penuh semangat dan keyakinan. Semangat karena hanya tinggal beberapa menit lagi akan berbuka puasa, dan yakin akan mendapatkan tempat yang paling strategis, tempat yang bisa menjangkau semua jenis makanan, yaitu di tengah-tengah kumpulan makanan ta’jil.

Sepanjang perjalanan, kuperhatikan mobil lebih ramai dari hari-hari biasanya. Selain plat D, juga tidak sedikit mobil dengan plat B, A, juga masih banyak plat yang lainnya. Memang, Kamis siang menjelang malam jumat, banyak sekali pendatang dari luar kota untuk mendengarkan tausiah ma’rifatullah dari guru kami, Aa Gym.Jamaah pengajian bisa sampai membludak ke luar-luar mesjid, hingga bisa membuat DKM (dewan kesejahteraan mesjid) kerepotan dalam menyediakan karpet cadangan yang digelar di halaman kosong sekitar mesjid. Untuk memberikan pelayanan kepada jama’ah, DKM memasang layar lebar di halaman luar agar jamaah yang tidak kebagian tempat di dalam mesjid bisa tetap melihat Aa Gym melalui layar lebar itu.

Belum satu menit aku duduk di mesjid DT, baru saja akan membuka mushaf Alqur’an, tiba-tiba hape yang tersimpan di saku samping kanan celanaku bergetar.Ketika dilihat, ternyata itu adalah SMS dari Uwa Lilis. Uwa Lilis adalah satu dari beberapa saudaraku yang bertempat tinggal di Bandung atau di daerah sekitar Bandung. Uwa Lilis tinggal bersama keluarganya di daerah Pajajaran, tidak jauh dari bandara Husein sastranegara. Uwa Lilis adalah kakak perempuan Ibuku. Dulu, ketika masa awal menikah dengan Uwa Yulianto, mereka menetap di Anyer, namun, karena Uwa Yulianto pindah mengajarnya ke Bandung, sejak saat itu mereka menetap di Pajajaran, Bandung, tepatnya di jalan Bima.

Masa awal kuliah, hampir tiga minggu sekali aku main ke rumah Uwa Lilis, tapi, karena sekarang sudah mulai banyak tugas di kuliahan ataupun di PPM, hampir dua setengah bulan sudah aku tidak main kesana. Selain bermaksud besilaturahmi, ada maksud tersembunyi lain mengapa aku sering berkunjung ke rumah Uwa, maksud itu tiada lain adalah perbaikan gizi. Bagaimana tidak, makanan di rumah Uwa Lilis itu pasti enak-enak dan syarat akan gizi. Menu yang pasti ada jika aku berkunjung adalah Cumi bumbu dangoreng ayam.Alasan itulah mengapa aku selalu bersemangat kalau sedang berkunjung ke sana.

Saudara selanjutnya ada di daerah Cicalengka. Disini banyak sudara-saudaraku, ada Aki Utek, Nin Deudeu, Nin Momoh, Mang Dandang, Bi Euis, Ka Tata, Ka Iyan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Mereka adalah adik-adik, sepupu dan keponakan-keponakan kakekku. Kakeku asli dari Cicalengka, tapi beliau menikah dengan kembang desa dari salah-satu kampung di daerah Anyer, yang tidak lain dan tidak bukan adalah nenekku sendiri.Sudah lama aku tidak berkunjung ke Cicalengka. Hal yang paling aku rindukan dari Cicalengka adalah makan bareng keluarga besar kakek di sebuah saung di tengah-tengah sawah dengan menu khas asli sunda tentunya, apalagi kalau bukan nasi liwet, ikan asin, sayur asem, lalab-lalaban hijau, dan satu lagi menu pamungkas, yaitu sambal terasi pedas.Sungguh, aku sangat merindukan situasi dan kondisi seperti itu lagi. Teramat sangat.

Aku baca SMS dari Uwa Lilis.

Assalam, iko gmn kbrnya? Kul dah libur lum? Low udah, main atuh ke rumah! Dah lama iko gak main ke rmh uwa

SubhanAllah, pucuk dicinta ulampun tiba. Sepertinya hari ini dan hari-hari berikutnya akan ada perbaikan gizi. Aku akan makan enak di rumah Uwa Lilis. Tanpa banyak pikir lagi, aku langgsung meluncur kembali ke asrama. Aku tidak jadi ta’jil gratis di mesjid DT. Aku akan buka puasanya di rumah Uwa Lilisku tercinta. Bergegas aku berjalan menuju asrama untuk mempersiapkan beberapa potong pakaian untuk persediaan di Pajajaran. Tadi, sebelum keluar dari mesjid, sepintas aku melihat jam dinding menunjuk pukul lima lewat lima belas menit. Perjalanan ke Pajajaran biasanya memakan waktu setengah jam, jadi, perkiraan akan datang ke rumah Uwa Lilis adalah sekitar jam enam kurang lima belas menit, mungkin bisa lebih dari itu, karena dipotong waktu untuk menunggu angkot, tapi diperkirakan tidak akan jauh-jauh dari waktu adzan magrib.

Sepanjang perjalanan, aku sudah bisa membayangkan menu apa saja yang akan menyambutku. Di dalam angkot aku tersenyum-senyum sendiri. Ya Allah, inikah jawabanMu atas do’a-do’a yang hamba panjatkan. Ya Allah kuasaMu sangat besar, Kasih sayangmu sangat banyak, terima kasih Ya Allah.
Hape di saku bergetar memburyarkan lamunanku. Ketika kulihat, itu adalah SMS dari Bi Euis. Ku baca SMS itu.

Iko, kumaha damang? Nguping-nguping niko kul di UPI nya? Kadieu atuh ameng ka Cicalengka, Upi sareng Cicalengka kan caket, upami bade ameng, kabaran bibi nya! Kin ku bibi di damelkeun sambel terasi lada kasukaan iko…

(iko, bagaimana kabarnya sehat? Denger-denger niko kuliah di Upi ya? Kesini atuh main ke Cicalengka, UPI dengan Cicalengka kan deket, kalau mau main, kabari dulu tanta ya! Nanti tante bikinin sambel terasi pedas kesukaan iko…)

2 komentar:

  1. Daerah Cinangka (Cikancung) teh...
    deket daerah teh Nurul gak???
    dah lama saya gak maen ke sana teh...
    kangen suasana persawahannya, juga tidak lupa sambel terasi pedas Bi Euis, he...

    BalasHapus