Kamis, 29 Agustus 2013

Botol Air Minum Kemasan (3)

Malam Minggu. Langit sedang cerah. Cahaya listrik yang tidak sebanyak di kota, membuat langit tampak indah dengan taburan bintang. Rembulan berbentuk lancip, menyerupai sebuah bibir yang tersenyum, menempel pada salah-satu bagian wajah langit malam ini. Rembulan itu membagikan senyumannya kepada seluruh penduduk bumi. Ia sedang gembira. Gembira karena menyaksikan sekelompok remaja, laki-laki dan perempuan, yang sedang menjalankan rutinitas mingguan mereka, yakni pengajian malam Minggu.

                Jam sembilan malam. Suara jangkrik-jangkrik yang sedang berlomba nyanyi di kebun-kebun sekitaran majelis, ikut meramaikan sesi diskusi yang sedang dijalankan oleh para remaja pengajian. Saling lempar argumen dilakukan. Dan di ujung, sang pemateri mencoba menyempurnakan hasil diskusi dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits-hadits yang beliau pahami. Wajah-wajah puas tergambar pada wajah para remaja itu kala persoalan yang mereka diskusikan telah menemui muaranya. Mereka tersenyum.

                Jam setengah sepuluh. Semua sepakat jika setengah jam sisa waktu pengajian akan diisi untuk membicarakan laporan perkembangan acara yang sebentar lagi akan mereka gelar. Kebetulan, beberapa pembina, ketua pengajian, serta ketua pelaksana acara sedang hadir semua. 

                Sang ketua pelaksana acara mengambil alih pimpinan diskusi. Dia memulai dengan menanyakan laporan perkembangan setiap divisi. Satu demi satu sang koordinator setiap divisi melaporkan pekerjaan divisinya. Setelah semua divisi telah melapor, sang ketua pelaksana memberikan kesempatan kepada para pembina untuk memberikan masukan ataupun kalimat-kalimat yang sekiranya bisa menambah semangat para panitia dalam menjalankan tugas mereka. Ketua mulai mempersilahkan salah-satu pembina untuk berbicara. Tidak begitu lama, sang ketua mempersilahkan pembina lain untuk berbicara. Tidak berbeda dengan yang pertama, pembina kedua juga berbicara hanya sebentar saja.

                “Baik. Selanjutnya, dipersilahkan kepada Akang untuk memberikan sepatah atau dua patah kata untuk kami, para panitia,” ujar ketua pelaksana mempersilahkan Akang.

                Akang memperbaiki posisi duduknya. Bersiap untuk berbicara.

                Akang mengucapkan salam. Semua orang yang ada di mejelis menjawab salam Akang. Akang mulai berbicara. 

                “Pada intinya mungkin apa yang akan Akang bicarakan hampir sama dengan yang lain,” Akang membuka tangan dan mengarahkannya kepada dua orang pembina yang lebih dulu berbicara. “Intinya, teman-teman tetap jaga kekompakan dalam menjalankan amanah ini. Tambahannya hanya sedikit saja. Pertama, beberapa hari kedepan, saat hari pelaksanaan acara hanya tinggal menghitung hari saja, kesibukan teman-teman mungkin akan lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. Dan, berdasarkan pengalaman Akang selama menjadi panitia beberapa acara, biasanya, pada saat-saat seperti itu, jalan-jalan menuju terjadinya konflik di antara sesama panitia akan sangat banyak. Untuk itu, teman-teman harus menyiapkan hati seluas lautan, khawatir seandainya nanti kemungkinan-kemungkinan semacam ini akan benar-benar terjadi.

                “Kedua, teman-teman mungkin telah paham maksud dari diadakannya acara besar ini. Acara ini adalah hanya sebagai media, atau pemancing untuk para remaja-remaja kampung lainnya yang belum bergabung, supaya mereka tertarik untuk bergabung ikut pengajian bersama kita. Atau, dengan kata lain, kita menyelipkan syiar disela-sela acara ini. Oleh karenanya, jangan sampai pada prosesnya nanti, teman-teman menaburkan noda-noda hitam pada kain putih niat baik kita semua ini. Jadi, dimohon kepada semuanya, sebisa mungkin  untuk menjaga interaksi dengan lawan jenis. Soalnya nanti khawatir akan menimbulkan fitnah.

                “Selanjutnya, atas nama diri Akang sendiri. Intinya, sebelumnya Akang memohon maaf sebesar-besarnya kepada semuanya, karena besok Akang harus sudah ada di Bandung lagi. Sebab hari Seninnya sudah mulai minggu ujian. Jadi, InsyaAllah, besok pagi Akang akan berangkat. Sekali lagi, Akang memohon maaf karena tidak bisa membantu lebih banyak lagi. Tapi, meskipun seminggu kedepan Akang di Bandung, insyaAllah Akang akan tetap terbuka seandainya nanti teman-teman membutuhkan masukan-masukan, ataupun sumbangan-sumbangan yang berupa ide ataupaun yang sejenisnya.”

                “Berarti Akang nanti gak ada dong pas hari H nya? Acaranya kan tinggal seminggu lagi.” Celetuk seorang remaja perempuan yang memiliki karakter lebih rame dibanding dengan yang lainnya. Beberapa orang sedikit menyorakinya.

                Akang tersenyum menanggapi pertanyaan itu.

                “Sabtu dan Minggu akang tidak ada kuliah. Otomatis tidak ada ujian pada dua hari itu. InsyaAllah, jika ada kesempatan Akang akan menyempatkan untuk pulang kesini lagi hari Sabtu pagi. Mudah-mudahan malam harinya Akang diberi kesempatan untuk menghadiri acara kita ini. Aamiin.”

                Para remaja ikut meng-amin-i ucapan Akang. 

                “Aamiin. Aamiin. Aamiiiin,” celetuk remaja perempuan yang tadi bertanya. Ia mengucapkan kata Aamiin berkali-kali. Saat ia sadar bahwa ucapannya mengundang perhatian, ia membekap mulutnya sendiri, kemudian kepalanya celingukan. Namun wajahnya tetap berseri.

                Akang mengakhiri ucapannya. Ia memberikan kembali kendali diskusi kepada sang ketua pelaksana.

                Jam sepuluh kurang beberapa menit. Ketua pelaksana menutup sesi pembicaraan tentang acara. Ia menyerahkan kendali pada pembawa acara pengajian. Saat kendali kembali kepadanya, ia segera menutup pengajian malam ini.
***

                Jam sepuluh siang. Matahari meninggi. Bisa sengatan sinarnya mulai terasa lebih panas.

                Akang sudah duduk pada kursi baris kelima di bagian sebelah kiri. Ia duduk di dekat jendela. Sambil menunggu bis jurusan Merak-Bandung berjalan, Akang mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Mencoba mengamati hiruk-pikuk terminal siang ini.

                Beberapa penjual menjajakan barangnya kepada penumpang, termasuk juga Akang. Akang hanya memberikan seutas senyuman kepada para pedagang itu. Sekedar untuk menghargai usaha mereka.
                Akang menatap ke luar jendela. Kembali mengamati kehidupan di terminal.

                DRRRT DRRRT DRRRT

                Akang merasakan ada getaran di paha kanannya. Getaran itu bersumber dari hape di saku samping celana panjangnya. Akang merogoh saku. Mengeluarkan hapenya.

                Sebuah susunan angka terpampang di layar hapenya. Ada pesan masuk dari nomer baru. Mata Akang menyipit. Pesan dari siapa ini? Hati Akang bertanya. Ingin segera mengetahui jawaban atas pertanyaannya, Akang segera membuka pesan itu.

                Assalamualaikum. Akang, ini Hena. Sebelumnya punten karena telah mengganggu waktu Akang. Hena cuman ingin meminta bantuan Akang saja. Begini Kang, Hena kan ditunjuk menjadi koordinator untuk kosidahan. Nah, tim kosidahan kan belum sempat meminjam rebananya. Hena malu untuk minjamnya Kang. Akang bisa bantuin untuk itu? Untuk meminjamkan rebana ke ibu-ibu pengajian?

                Akang menelan ludah. Ia perhatikan lagi sebuah nama yang mengirimkan pesan kepadanya. Apakah dia telah salah lihat? Pelan-pelan kedua matanya menelusuri setiap kata yang tertulis. Tidak! Akang tidak salah lihat! Ini nyata! Pesan ini datangnya memang dari Hena!

                GLEK!

                Akang menelan ludah lagi. Matanya belum terpejam, dan masih melotot menatap layar hape. Sepertinya Akang masih belum percaya dengan hal ini. Sudah dari dulu memang dia ingin tahu nomer hape perempuan yang satu ini. Sudah dari dulu juga dia ingin mencoba merasakan bagimana rasanya berkomunikasi dengan Hena melalui hape. Meskipun itu hanya dengan saling mengirim pesan saja. Akang salah tingkah. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. 

                Perlahan Akang bisa menguasai keadaan dirinya. Pelan-pelan jemarinya mengetik pesan balasan untuk Hena.

                Walaikumussalam. Oh iya, InsyaAllah Akang coba hubungi ketua pelaksana dulu ya. Akang coba minta bantuan dia untuk meminjamkan rebana. Nanti kalo udah ada kabar, Akang akan segera hubungi Hena lagi.     
 
                Belum satu menit, ada balasan lagi dari Hena.

                Syukron Kang ya. Punten karena telah merepotkan Akang :-)   

                Kedua ujung bibir Akang melebar. Ia kembali mengetik keypad hapenya.

                Gakpapa Hena, santai aja. Ini kan demi kebaikan semuanya, demi kelancaran acara kita... :-)

                Akang kembali mengetik pesan. Tapi kali ini bukan untuk Hena. Akang hendak meminta bantuan ketua pelaksana untuk meminjamkan rebana pada majelis taklim pengajian ibu-ibu.

                Baik Kang. Segera laksanakan. Eh, tapi kenapa Hena tidak langsung meminta bantuan pada saya aja ya? Sepertinya ada sesuatu nih, hehe. (becanda kok Kang. Jangan dibawa serius ya, hehe) 

                Akang tersenyum membaca balasan pesan dari ketua pelaksana. Akang mengetik lagi.

                Mungkin dia malu kali kalau sama Antum, hehe. Oya, makasih atas bantuannya ya. Semoga Allah membalas dengan yang lebih baik. Aamiin.

                Sang ketua pelaksana membalas lagi.

                Aamiin. Eh, tapi, kenapa kalau sama Akang gak malu ya? Hehe. (Piiiis. Becanda Kang. Sudah racawan saya jangan ditanggapi lagi, nanti tidak ada ujungnya, hehe)

                Akang tersenyum lagi. Lama sekali senyum itu terlukis di bibir Akang. Jika tidak ingat untuk segera mengabari Hena, mungkin sampai adzan dzuhur Akang akan tetap tersenyum.

                Akang mengetik sebuah pesan untuk Hena.

                Hena. Akang tadi sudah minta bantuan ketua pelaksana. Nanti kalau rebananya sudah ada, Akang akan hubungi Hena lagi. Nanti Hena tinggal langsung hubungi ketua pelaksananya aja ya. Tetap jaga semangat untuk acara kita. Semangaaaaaaat!

                Ada balasan dari Hena.

                Iya Kang. Makasih Kang untuk bantuannya. :-)

                Akang membalas lagi.

                Sama-sama Hena... :-)

                Hena membalas lagi.

                :-)

                Akang kembali tersenyum. Detak jantungnya bergemuruh. Suaranya menyerupai tabuhan rebana ibu-ibu pengajian majelis taklim. 

                “Minumannya, A?” Seorang pria penjual minuman menawari dagangannya pada Akang. Bersamaan dengan itu, senyuman di bibir Akang pudar. Seperi tulisan di atas pasir yang tergerus ombak. 

                “Oh iya? Bagaimana?” Akang masih setengah sadar.

                “Minumnya, A?” 

                Mata Akang mengarah pada air minum kemasan di tangan pedagang. Sebentar ia terbengong. Seperti sedang memikirkan sesuatu.

                “Oh iya. Satu, Pak,” akhirnya Akang membeli juga.

                Wajah sang penjual minuman sumringah. Segera ia memberikan air minum kemasan yang dipinta pembelinya. Akang memberikan uang kertas nominal lima ribu.

                “Ada uang pas, A?” tanya sang penjual sambil tersenyum.

                “Gak papa, Pak. Ambil aja kembaliannya.”

                “Oh. Makasih banyak, A,” sang penjual sumringah lagi. “Mari, A,” ia pamit untuk kembali menjajakan dagangannya. Akang membalas dengan sebuah senyuman.

                Akang genggam erat botol minum kemasan dengan kedua tangannya. Ia kembali mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Sebuah senyuman belum juga hilang dari bibirnya. Beberapa saat menerawang entah ke alam mana, Akang hendak menyimpan botol minum kemasan ke tas yang tergeletak pada kursi kosong di sampingnya. 

                “Lho?!” alisnya bertaut saat Akang hendak meletakan botol minuman di tangannya. Penyebabnya adalah sebuah botol minuman kemasan lain yang sudah tersimpan rapih di dalam tas. Akang menggaruk kepalanya. Ia tersenyum geli. Akang baru sadar, ternyata sebelumnya ia sudah membeli air minum kemasan dengan merek dagang yang sama. Akang tersenyum lagi. Menertawakan dirinya sendiri.

                Akang kembali melihat ke luar jendela. 

                DRRRT DRRRT DRRRT

                Hape di saku Akang bergetar lagi. Sebuah pesan masuk.

                Akang merogoh saku celananya. Sebuah gambar amplop kecil warna kuning terpampang pada layar hapenya. Di bawah gambar amplop itu tertera sebuah nama yang membuat bibir Akang otomatis tersenyum. Beberapa menit lalu Akang memang sudah menyimpan nomer baru ini di memori hapenya. 

                Akang sudah berangkat ke Bandungnya?   

                JENGJEREEET!

                Beberapa menit lalu, Akang merasakan kaget saat pertama kali mendapatkan sebuah pesan dari Hena. Dan sekarang, kaget yang Akang rasakan berlipat dari yang sebelumnya. Sebenarnya, penyebabnya adalah bersumber pada hal yang serupa. Akan tetapi kali ini isi pesannya sedikit berbeda. jika dilihat dari redaksi kalimatnya, pesan kali ini terasa sedikit lebih privasi. Dan sayangnya, justru itulah yang membuat dada Akang bergemuruh tidak karuan.

                Akang masih di terminal Serang, Na. Bisnya belum berangkat. Na do’ain supaya Akang selamat sampe Bandung ya... :-) 

                Ada balasan dari Hena.

                Iya, Kang. Nanti pas hari H Akang hadir kan?

                Akang segera membalas.

                InsyaAllah, Na. Semoga ada takdirNya Akang bisa hadir. Aamiin. Oya, Gimana pesantrennya udah masuk?

                Hena membalas.

                Belum. Nanti masuknya minggu depan. Sehari setelah acara selesai. Akang do’ain atuh ya supaya Hena betah disananya, hehe.

                Akang membalas.

                Pasti, Na. Pasti Akang do’ain. Semoga di sana Na betah, juga banyak ilmu yang didapatkan, yang nantinya untuk diamalkan guna memajukan kampung tercinta. Aamiin... :-)

                Hena membalas lagi.

                Aamiin. Makasih do’anya. Semoga demikian juga dengan Akang di kuliahannya. Aamiin Yaa Allah. :-)

                Akang mengetik lagi. Kali ini pendek sekali isi pesannya.

                :-)

                Hena membalas lagi.

                :-)

                Siang ini, di dalam bis ini, adalah satu dari sekian banyak peristiwa spesial yang akan selalu tersimpan rapih di rak memori terindah pada hati Akang.

                Akang menatap ke luar jendela lagi. Tapi pikirannya menerawang entah ke negeri mana.

                “Minumnya, A?” seorang bapak setengah baya menjajakan dagangannya.

                Akang menoleh. Sambil tersenyum ia langsung memesan. “Satu, Pak.”

                Bapak pedagang memberikan satu botol minum kemasan pada Akang. Akang merogoh uang di sakunya. Lalu memberikan uang lima ribu rupiah pada bapak penjual di hadapannya. “Kembaliannya ambil aja, Pak.”

                “Makasih banyak, A.” Sang bapak penjual minuman meleos untuk menjajakan dagangannya pada penumpang lain.

                Sebuah senyuman belum hilang dari bibir Akang. 

                Akang membuka retsleting tasnya. Ia hendak menyimpan botol minum kemasan yang baru dibelinya. 

                “Lho?!” 

                Akang baru sadar lagi. Ternyata sudah ada dua botol air minum kemasan di dalam tasnya. Dan sekarang menjadi tiga. 

                Akang garuk-garuk kepala. Tersenyum geli menertawakan dirinya sendiri.

                Perlahan bis meninggalkan terminal Serang. Melaju pelan di antara kendaraan yang berukuran lebih kecil. Beberapa waktu kedepan, Akang akan meninggalkan tanah Banten, dan kembali menghirup udara Bandung.
***

Minggu, 25 Agustus 2013

JEPREET!!!! (2)

          Jam lima sore. Dua orang laki-laki muda telah kembali ke kamar kosannya. Mamat, yang lebih dulu tiba, sedang rebahan terlentang. Kedua kakinya ia tumpangkan ke atas, disandarkan pada dinding. Pada kedua telinganya tertempel sebuah earphone. Kepalanya menggeleng-geleng pelan. Sepertinya, lagu yang sedang ia dengar merupakan lagu dengan aliran lembut. Pandangannya menatap kosong ke atap kamar.

           Tidak jauh dari Mamat, Akang sedang sibuk dengan tas yang tergeletak di hadapannya. Tas itu setengah penuh oleh beberapa barang. Ada beberapa potong pakaian, laptop, buku, juga barang-barang kecil lainnya. 

          Akang menggaruk kepalanya yang tidak sedang gatal. Dahinya mengkerut. Ia sedang memikirkan apakah masih ada barang yang terlupakan. Untuk memastikan, Akang mengecek lagi isi tasnya. Sekedar meyakinkan diri bahwa memang tidak ada barang yang tertinggal.

          Akang mengangguk. Ya, sepertinya memang tidak ada barang yang terlewat.

          Akang menyunggingkan bibirnya. Ia menoleh pada rak buku di hadapannya. 

         “Ups!” Akang mengangkat kedua alisnya. “Mat, Mat.”

          Mamat tidak menyahut.

         “Mat!” Akang melirik pada Mamat.

          Mamat menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Ke kanan juga ke kiri.

         “Mat,” kali ini tangan Akang menggoyang lengan Mamat.

          Mamat menoleh pada Akang. Ia menurunkan kedua kakinya. Kemudian duduk menghadap teman sekamarnya. “Iya, kenapa, Kang?” kedua tangannya melepas earphone yang menutup lubang telinganya. 

         “Punten. Nanti kalau besok ada Asep datang kesini nanyain buku, Mamat tolong kasihkan aja ya. Bukunya saya simpan disini,” Akang menarik sebuah buku yang berdiri berjajar di rak. 

          “Oh, iya, sip Kang,” jawab Mamat. Akang memasukan lagi buku pada temapatnya semula. “Emang Akang mau kemana?”

         “Mau mudik dulu.”

         “Lho, lagi? Bukannya bulan kemarin sudah mudik kan?” kening Mamat melipat. “Berapa hari?”

         “Seminggu.”

         “Lho?!” Kedua ujung alis Mamat beradu. “Seminggu ini kan masih ada kuliah.”

         “Ambil jatah, Mat. Saya masih ada sisa dua kali jatah tidak masuk lagi. Lagian nanggung, kuliahnya hanya tinggal seminggu lagi. Setelah itu sudah masuk pekan libur persiapan UAS. Jadi, jika digabung, numayan kan liburnya jadi dua minggu. Sekalian refreshing di kampungnya, hehe...”

        “Alah, alesan aja itumah. Bilang aja kalau sudah gak tahan menahan rindu pada si kembang desa. Iya kan, iya kan?” Mamat menggoda Akang. Kedua alisnya ia gerak-gerakan. 

          Akang tersenyum karena godaan Mamat. “Eeeh, bukan begitu, Mat. Kebetulan kan hari Minggu besok ada nikahan teman akrab di kampungnya. Kemudian, setelah itu rencananya mau bantu-bantu remaja pengajian yang sebentar lagi akan mengadakan acara besar. Numayan kan, barang kali aja saya bisa menyumbang sedikit tenaga dan pikiran untuk acara itu.”

         “Ah, alesan. Lagu lama,” Mamat nyengir. “Oya, saya titip salam buat si kembang desanya Kang ya, hehe...”

          “Kembang desa yang mana?”

         “Alah, Akang mah sok kaya gitu aja tuh.”

          Akang melebarkan kedua ujung bibirnya. “Dia kan masih SD, Mat. Dia itu bekas murid saya.” Belum lepas senyuman di bibir Akang.

         “Iya, tapi itu kan empat tahun lalu. Sekarang kan dia sudah SMA. Sekolahnya di ponpes lagi. Hayoooooo...,” Mamat menunjuk wajah Akang. Ia menggerak-gerakan telunjuknya.

         Akang tertawa kecil. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaannya.

          “Do’ain aja atuh Mat ya. Kalau memang jodoh mah pasti tidak akan kemana,” ucap Akang malu-malu.

         “Jangan khawatir, Kang. Do’amah pasti saya berikan. Cuman jangan lupa aja nanti pas kesini laginya bawa oleh-oleh yang banyak ya.”

         Akang menanggapi perkataan Mamat hanya dengan sebuah senyuman saja.
***

          TREK

           Telunjuk Akang memencet sakelar listrik. Bersamaan dengan itu, listrik kamar kosan mati. Akang rebahan di kasur lipat jatahnya. Sementara Mamat telah lebih dulu memejamkan mata. 

          “Bismillahirrahmanirrahiim,” sayup-sayup Akang menggumamkan do’a sebelum tidur. Akang menarik nafas panjang, bersiap untuk memejamkan mata.

          DRRRT DRRRT DRRRRRRTT

          Hape Akang bergetar. Akang tidak jadi menutup kedua matanya. Dengan tanpa merubah posisi tidurnya, Akang menjulurkan tangannya hendak mengambil hape di atas meja kecil tempat laptop. Akang menatap layar hapenya. Sebuah pesan masuk. Dari seorang teman di kampungnya.

          Akang, lusa hadir kan di nikahan Risti?

          Jemari Akang menekan tombol-tombol hapenya. Balasan segera dikirim.

          Sip. Besok pagi segera meluncur ke kampung tercinta.

          Beberapa detik berselang, sebuah pesan datang lagi.

          Asiiiiik. Oya, ada titipan salam dari A Riri, katanya, awas aja jika Akang sampe gak hadir mah, hehe.

            Akang segera membalas lagi.

          Hehe. Sip-sip. Santai aja, InsyaAllah Akang pasti hadir. Oya, do’ain Akang ya supaya segera menyusul Risti dan Riri... :-)

          Nun jauh disana, di sebuah kampung yang namanya sudah mengiang-ngiang di telinga Akang, Risti menyunggingkan sebuah senyuman. Jemarinya menari di keypad hape.

          Tenang aja Kang, jangan khawatir, Risti pasti do’ain kok. Lagian kan Akang mah masih lama, masih sekitar tiga tahunan lagi. Si kembang desanya juga kan masih mondok, hehe.

        Dalam temaram kamar, hanya berpenerangkan cahaya layar hape saja, samar-samar Akang melebarkan kedua ujung bibirnya. Pikirannya melayang, ingin segera menginjakan kaki di tanah kelahirannya. 

          Akang tersenyum lagi. Cahaya pada layar hape meredup. Kemudian padam. Kamar kembali gelap. Malam ini, sepertinya Akang akan bermimpi indah. Sangat indah.
***

Waktu tegang telah lewat. Ijab-qabul telah diucapkan. Risti dan Riri telah resmi menjadi sepasang kekasih yang halal. 

Akang, juga beberapa orang lainnya berebut mendapat tempat terbaik untuk mengambil foto kedua mempelai.

“Baik, bapak, ibu, juga hadirin sekalian, mari kita beranjak ke acara selanjutnya, yaitu pemberian nasihat pernikahan untuk pasangan pengantin baru yang berbahagia di hadapan kita semua ini,” Samsul, yang didaulat sebagai pembawa acara mengarahkan pandangannya pada Risti dan Riri. Hadirin khusuk mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari mulut Samsul. Sementara Akang dan beberapa orang lainnya masih sedang sibuk memburu foto.

“Sebelum kita mendengarkan nasihat dari sesepuh, baik dari pihak mempelai laki-laki maupun dari pihak mempelai wanita, izinkan kami untuk memberikan penghargaan kepada sahabat kami ketika masih mondok di pesantren yang sama dulu.” Jelas sekali artikulasi setiap kata yang dikeluarkan Samsul.

Di antara beberapa orang yang mengambil foto, Akang mengernyitkan dahi. Kedua matanya menyipit. Sepertinya dia mulai menemukan sebuah kejanggalan dibalik kalimat Samsul. 

                “Penghargaan ini kami berikan kepada alumni santri yang dulu satu kamar dengan sang mempelai laki-laki.”

                Kedua mata Akang semakin menyipit. Sorot matanya menjadi lebih tajam. Hawa panas mulai meringkus tubuhnya.

                “Dengan penuh rasa hormat, kami persilahkan kepada Ananda Akang untuk memberikan nasihatnya.” Bibir Samsul menyeringai.

                DEGG

                Jantung Akang seperti berhenti berdetak untuk sesaat. Wajahnya pucat pasi. Pelan-pelan ia melirik pada Samsul. Samsul hanya tersenyum menahan tawa. 

                Akang melambai-lambaikan tangannya pertanda tidak siap. Samsul menghiraukan isyarat dari Akang. Ia malah menundukan wajahnya. Sebuah senyuman belum lepas dari bibirnya.

                “Gak papa, Kang, namanya juga belajar,” sebuah suara berat keluar di antara kerumunan sesepuh yang duduk pada jajaran kursi plastik. Akang menoleh pada sumber suara. Pandangan Akang mendarat pada para sesepuh itu. Seketika nyali Akang bertambah menciut. 

                “Sekalian latihan,” ujar sesepuh yang lain. Akang hanya menanggapi dengan senyuman dingin.  

                “Kepada yang terhormat Ananda Akang, dipersilahkan untuk memberikan nasihatnya,” Samsul mengingatkan. Ia kembali menunduk. Juga tersenyum menahan tawa. 

                Akang celingukan. Ia mengarahkan pandangannya ke sekitar. Melihat semua orang yang hadir di acara pernikahan ini. Akhirnya, meskipun dengan langkah berat dan perlahan, Akang menghampiri Samsul di sudut panggung. Samsul menyodorkan mikrofon di tangannya. Akang menerimanya.

                Akang mengangkat mikrofon. Posisinya kini sudah tepat di hadapan mulut Akang. Sekali lagi, ia mengarahkan pandangannya pada hadirin. 

                Akang membuka ucapannya dengan sebuah salam. Hadirin menjawab salam Akang. Kemudian Akang melantunkan puji syukur kepada Allah SWT, juga menghaturkan sholawat teruntuk baginda Nabi Muhammad SAW. Lalu diakhiri dengan kata amaba’du

                “Pertama, jika saya boleh berkata jujur, terus terang saya sangat-sangat merasa kaget karena hal ini. Sebab tidak ada niatan lain hadir di acara ini selain hanya untuk menghadiri saja. Sungguh, tidak ada nawaitu lain, apalagi sampai memberi nasihat pernikahan segala,” Akang menoleh pada Samsul. Orang yang dilihat malah tertawa kecil. Beberapa hadirin ikut tersenyum.

                “Kedua, sebelumnya saya memohon izin kepada semuanya untuk bercerita terlebih dahulu.” Akang menarik nafas. “Cerita ini seputar kisah kami ketika masih belajar d pondok yang sama.” Akang memberi jeda lagi. Hanya sepanjang tarikan nafas saja. 

                “Tidak banyak santri yang belajar ketika itu. Hanya ada beberapa orang saja. Tiga di antaranya yaitu sang mempelai pria kita,” Akang menunjuk Riri. Riri tersenyum. Demikian juga dengan sang istri yang duduk di sampingnya. “Saya sendiri, juga seorang santri yang paling jahil dari semua santri,” Akang menunjuk Samsul. Pandangan hadirin mengikuti kemana arah telunjuk Akang mengarah. Samsul hanya tersenyum. Hadirin juga tersenyum.

                “Bapak, ibu, semuanya yang saya hormati. Baiklah, pada kesempatan kali ini, kita tidak akan membahas bagaimana kejahilan-kejahilan yang pernah dilakukan Ananda Samsul. Karena mungkin, dengan didaulat secara mendadaknya saya untuk berbicara di depan sini, itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan jika Ananda Samsul adalah orang yang numayan jahil.”

                Hadirin tertawa renyah. Samsul menundukan wajahnya. Namun senyuman masih terlukis di bibirnya. Hanya saja, kali ini senyuman itu bernada tidak jelas. Apakah geli, malu, atau apa?

                “Baik, benar dengan apa yang tadi dijelaskan oleh Ananda Samsul, saya dan Ananda Riri dulu tidur pada kamar yang sama. Jadi, sedikit-banyaknya saya mengetahui seperti apa karakter Ananda Riri.

                “Bapak, ibu, juga hadirin semuanya. Jika ada di antara kami yang paling sering bolos mengaji, maka santri itu tidak lain adalah Ananda Riri, juga saya sendiri tentunya. Mengapa? Karena hampir setiap pengajian sore hari, kami berdua hampir selalu tidak hadir. Kami lebih memilih bermain sepak bola dengan anak-anak desa lainnya. Alhasil, hampir setiap pengajian malam harinya, kami ditegur oleh Kyai kami.” Akang tidak kuasa menahan tawa. Begitu juga dengan Riri dan Samsul. Bahkan, hadirin juga ikut tertawa renyah. Suasana menjadi lebih santai. Akang lebih leluasa dalam mengeluarkan kata.

                “Namun, sebelum kami berdua benar-benar ditegur, Kyai kami biasanya mengetest kami terlebih dahulu. Jika kami mampu menjawab pertanyaan dari Kyai, maka secara otomatis kami terbebas dari omelan beliau. Namun, jika kami tak mampu menjawab, maka Bapak, Ibu, juga hadirin semuanya pastilah tahu apa yang terjadi pada kami berdua. Bukan begitu Ananda Samsul?” Akang menoleh pada Samsul. Samsul manggut-manggut mengiyakan. Di samping Risti, mempelai laki-laki tersenyum mengenang masa lalu. Hadirin masih mengulum senyumnya.

                “Bapak, Ibu, juga hadirin semuanya. Ada satu kelebian dari Ananda Riri yang mungkin hingga detik ini belum mampu saya tandingi,” Akang melirik Riri. “Entah bagaimana caranya. Entah kelebihan apa yang beliau miliki. Hampir setiap pertanyaan dari Kyai, selalu dijawabnya dengan benar. Berbeda dengan saya yang hanya kadang-kadang saja bisa menjawab benarnya.”

                Samsul manggut-manggut mengenang masa lalu yang dibuka kembali oleh Akang. Riri menunduk menyembunyikan tawanya yang ditahan.

                “Nah, maksud dari kisah ini tidak lain hanyalah ingin menjelaskan bahwa saya pribadi tidak meragukan lagi kualitas kepala Ananad Riri dalam menyerap ilmu. InsyaAllah ilmu yang beliau miliki sudah jauh lebih dari cukup untuk bisa menuntun sang istri kepada jalan yang diridhoi Allah SWT. InsyaAllah

                “Selanjutnya. Mungkin ini adalah point inti yang ingin saya sampaikan kepada kedua mempelai di hadapan kita semua yang sedang dilanda berjuta rasa bahagia ini.” Akang memberi jeda. “Sudah barang tentu, dipilihnya Ananda Riri oleh Adinda Risti, juga dipilihnya Adinda Risti oleh Ananda Riri sebagai pendamping hidup itu pastilah karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh sang pasangan. Sejauh ini, mungkin satu-sama lain baru masih mengenal sisi baiknya saja. 

                “Kita semua pasti telah mengetahui bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Termasuk juga saya, Bapak, Ibu, hadirin, juga kedua mempelai di hadapan kita ini. Untuk itu, sudah sepatutnya konsep ini digenggam baik-baik oleh kedua mempelai. Agar kelak, saat Ananda Riri, ataupun Adinda Risti menemukan kekurangan-kekurangan sang pasangan, maka keduanya tidak merasa kaget. Dengan pemahaman ini, sudah sepatutnya setiap pasangan manapun di dunia ini, termasuk juga Ananda Riri dan Adinda Risti, saling menerima kekurangan pasangannya satu sama lain. Juga berusaha saling menambal kekurangan yang dimiliki oleh sang pasangan itu. Dengan jalan saling menasihati dalam kebaikan, juga saling mengingatkan untuk tidak melangkah pada keburukan.

                “Mmmmmm...

                Mmmmm....,” Akang mulai kebingungan untuk melanjutkan kalimat. Rasa gugup mulai meringkusnya lagi. Untuk mengurangi rasa itu, Akang mengarahkan pandangan pada sekeliling hadirin yang menatapnya.

                “Mmmm. Mungkin hanya ini yang bisa saya sampaikan. Kurang lebihnya saya memohon maaf. Namun. Kepada Bapak, Ibu, juga hadirin semuanya, satu yang perlu dikeketahui. Pokoknya, setelah resepsi ini selesai, saya harus bertemu dan mengobrol dengan Ananda Samsul atas kejahilannya terhadap saya ini.” Akang mengakhiri sambutannya dengan sedikit tawa. Hadirin tersenyum kembali. Samsul menahan tawa.
***

                “Saya duluan ya,” Akang menjabat tangan Samsul.

                “Sip. Oya, Ente masih lama kan disininya?”

                “Santai aja, saya libur dua minggu.”

                “Oke, kalo gitu kita lanjutin nanti aja ya ngobrolnya.”

                “Sip!” Akang menepuk bahu Samsul. Kemudian ia mengucapkan salam.

                Akang berjalan, bergabung dengan beberapa tamu undangan yang hendak berpamitan pada kedua mempelai di pelaminan. Akang masuk barisan. Posisinya berada di yang paling buncit.

                Beberapa orang mengikuti di belakang Akang.

                “Akang kapan pulangnya?” suara berat bertanya di belakang. 

                Akang menoleh. Mukanya terkejut saat kedua matanya terhenti pada sebuah wajah.

                “Eh, Abah,” Akang meraih tangan sang penanya. Lalu mencium punggung tangannya. “Kemarin sore, Bah.”

                Akang menggeser tatapannya hanya beberapa derajat ke samping Abah Haji.

                “Ummi,” Akang menghampiri Ummi, yang tidak lain adalah istrerinya Abah Haji. Kemudian menyalaminya juga.

                Akang menggeser lagi pandangannya sedikit. 

                SERRRRR

                Ada hawa aneh pada jiwa Akang, saat matanya mendarat pada seseorang di hadapannya.

                “Hena,” Akang nyengir. Ia salah tingkah. Hena membalas senyuman Akang.

                “Lho, katanya Na ke pondok?” Akang bertanya. Sekedar untuk menyamarkan rasa canggungnya. Kemudian Akang mengarahkan pandangannya juga kepada Abah Haji dan Ummi. Mencoba meminta jawaban atas pertanyaannya.

                “Masuk pondoknya masih tiga minggu lagi, Kang,” jawab Hena. 

                “Ooooh,” Akang manggut-manggut. 

                Akang tidak tahu, apa lagi yang akan ia tanyakan. Beruntung, orang di depannya sudah beberapa langkah meninggalkannya. Jadi ada alasan untuk dia meminta izin melangkah duluan.

                Akang menyalami kedua mempelai. Ia menyempatkan sedikit bergurau dengan Riri, kawan lamanya. Saat dirasa cukup, Akang langsung pamitan. Ia melangkah hendak meninggalkan panggung pelaminan.

                Namun apa yang terjadi setelah itu. 

                “Akang,” Ummi menahan tangan Akang.

                Akang menoleh. “Ummi. Ada apa, Mi?” Akang heran.

                “Kita foto bareng pengantin dulu,” Ummi menarik Akang kembali mendekat ke pelaminan.

                “Ekhemm,” Risti mendehem. Ia menatap Akang dan Hena bergantian. Akang menggaruk-garuk kepala. Hena tersenyum menyembunyikan pipinya yang mulai memerah.

                Ummi dan Akang berdiri di sebelah kanan mempelai, sementara Abah dan Hena di sebelah kirinya. Mendapati pemandangan langka itu, Samsul tidak mau ketinggalan. Ia melangkah cepat mengambil posisi di samping fotografer. Ia ikut mengabadikan melalui kamera hapenya. 

                JPREETT

                Beberapa kali kamera dan hape mengabadikan peristiwa langka ini.

                JPREETT

                “Maaf, Ummi. Kita menyingkir dulu sebentar ya,” Risti memohon izin. Ia menarik lengan sang suami. Riri tersenyum. Ia paham maksud sang bidadarinya. Mereka melangkah ke samping. Sekedar menghilang dari dari jangkauan tangkap kamera.

                “Akang, Hena, merapat atuh,” Risti menggoda. 

                Ummi dan Abah haji saling pandang. Ada makna dibalik pandangan orang tua Hena itu. 

                Ummi menggeser posisi berdirinya. Sekalian menuntun Akang untuk ikut bergeser ke tengah. Berdiri di depan bangku pelaminan. 

                Abah haji dan Hena juga ikut menggeser posisi mereka. 

                Akang dan Hena berdiri berdampingan. Ada sedikit jarak di antara mereka. Sebuah jarak yang cukup untuk seorang berdiri jika masuk pada jarak itu. Akang menggaruk kepala. Hena menunduk. Hanya satu yang sama. Wajah mereka sama-sama bersemu merah.

                JPREETT

                Para tamu undangan tersenyum mendapati hal ini. Di antara kerumuanan tamu yang sedang makan, orang tua Akang ikut tersenyum.
***