Jam
sembilan malam. Suara jangkrik-jangkrik yang sedang berlomba nyanyi di
kebun-kebun sekitaran majelis, ikut meramaikan sesi diskusi yang sedang
dijalankan oleh para remaja pengajian. Saling lempar argumen dilakukan. Dan di
ujung, sang pemateri mencoba menyempurnakan hasil diskusi dengan dalil-dalil
Al-Qur’an dan hadits-hadits yang beliau pahami. Wajah-wajah puas tergambar pada
wajah para remaja itu kala persoalan yang mereka diskusikan telah menemui
muaranya. Mereka tersenyum.
Jam
setengah sepuluh. Semua sepakat jika setengah jam sisa waktu pengajian akan
diisi untuk membicarakan laporan perkembangan acara yang sebentar lagi akan
mereka gelar. Kebetulan, beberapa pembina, ketua pengajian, serta ketua
pelaksana acara sedang hadir semua.
Sang
ketua pelaksana acara mengambil alih pimpinan diskusi. Dia memulai dengan
menanyakan laporan perkembangan setiap divisi. Satu demi satu sang koordinator
setiap divisi melaporkan pekerjaan divisinya. Setelah semua divisi telah
melapor, sang ketua pelaksana memberikan kesempatan kepada para pembina untuk
memberikan masukan ataupun kalimat-kalimat yang sekiranya bisa menambah
semangat para panitia dalam menjalankan tugas mereka. Ketua mulai
mempersilahkan salah-satu pembina untuk berbicara. Tidak begitu lama, sang
ketua mempersilahkan pembina lain untuk berbicara. Tidak berbeda dengan yang
pertama, pembina kedua juga berbicara hanya sebentar saja.
“Baik.
Selanjutnya, dipersilahkan kepada Akang untuk memberikan sepatah atau dua patah
kata untuk kami, para panitia,” ujar ketua pelaksana mempersilahkan Akang.
Akang
memperbaiki posisi duduknya. Bersiap untuk berbicara.
Akang
mengucapkan salam. Semua orang yang ada di mejelis menjawab salam Akang. Akang
mulai berbicara.
“Pada
intinya mungkin apa yang akan Akang bicarakan hampir sama dengan yang lain,”
Akang membuka tangan dan mengarahkannya kepada dua orang pembina yang lebih
dulu berbicara. “Intinya, teman-teman tetap jaga kekompakan dalam menjalankan
amanah ini. Tambahannya hanya sedikit saja. Pertama, beberapa hari kedepan, saat
hari pelaksanaan acara hanya tinggal menghitung hari saja, kesibukan
teman-teman mungkin akan lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. Dan, berdasarkan
pengalaman Akang selama menjadi panitia beberapa acara, biasanya, pada
saat-saat seperti itu, jalan-jalan menuju terjadinya konflik di antara sesama
panitia akan sangat banyak. Untuk itu, teman-teman harus menyiapkan hati seluas
lautan, khawatir seandainya nanti kemungkinan-kemungkinan semacam ini akan
benar-benar terjadi.
“Kedua,
teman-teman mungkin telah paham maksud dari diadakannya acara besar ini. Acara
ini adalah hanya sebagai media, atau pemancing untuk para remaja-remaja kampung
lainnya yang belum bergabung, supaya mereka tertarik untuk bergabung ikut pengajian
bersama kita. Atau, dengan kata lain, kita menyelipkan syiar disela-sela acara
ini. Oleh karenanya, jangan sampai pada prosesnya nanti, teman-teman menaburkan
noda-noda hitam pada kain putih niat baik kita semua ini. Jadi, dimohon kepada
semuanya, sebisa mungkin untuk menjaga
interaksi dengan lawan jenis. Soalnya nanti khawatir akan menimbulkan fitnah.
“Selanjutnya,
atas nama diri Akang sendiri. Intinya, sebelumnya Akang memohon maaf
sebesar-besarnya kepada semuanya, karena besok Akang harus sudah ada di Bandung
lagi. Sebab hari Seninnya sudah mulai minggu ujian. Jadi, InsyaAllah, besok pagi Akang akan berangkat. Sekali lagi, Akang
memohon maaf karena tidak bisa membantu lebih banyak lagi. Tapi, meskipun
seminggu kedepan Akang di Bandung, insyaAllah
Akang akan tetap terbuka seandainya nanti teman-teman membutuhkan
masukan-masukan, ataupun sumbangan-sumbangan yang berupa ide ataupaun yang
sejenisnya.”
“Berarti
Akang nanti gak ada dong pas hari H nya? Acaranya kan tinggal seminggu lagi.”
Celetuk seorang remaja perempuan yang memiliki karakter lebih rame dibanding
dengan yang lainnya. Beberapa orang sedikit menyorakinya.
Akang
tersenyum menanggapi pertanyaan itu.
“Sabtu
dan Minggu akang tidak ada kuliah. Otomatis tidak ada ujian pada dua hari itu. InsyaAllah, jika ada kesempatan Akang
akan menyempatkan untuk pulang kesini lagi hari Sabtu pagi. Mudah-mudahan malam
harinya Akang diberi kesempatan untuk menghadiri acara kita ini. Aamiin.”
Para
remaja ikut meng-amin-i ucapan Akang.
“Aamiin.
Aamiin. Aamiiiin,” celetuk remaja perempuan yang tadi bertanya. Ia mengucapkan
kata Aamiin berkali-kali. Saat ia sadar bahwa ucapannya mengundang perhatian,
ia membekap mulutnya sendiri, kemudian kepalanya celingukan. Namun wajahnya
tetap berseri.
Akang
mengakhiri ucapannya. Ia memberikan kembali kendali diskusi kepada sang ketua
pelaksana.
Jam
sepuluh kurang beberapa menit. Ketua pelaksana menutup sesi pembicaraan tentang
acara. Ia menyerahkan kendali pada pembawa acara pengajian. Saat kendali
kembali kepadanya, ia segera menutup pengajian malam ini.
***
Jam
sepuluh siang. Matahari meninggi. Bisa sengatan sinarnya mulai terasa lebih
panas.
Akang
sudah duduk pada kursi baris kelima di bagian sebelah kiri. Ia duduk di dekat jendela.
Sambil menunggu bis jurusan Merak-Bandung berjalan, Akang mengarahkan
pandangannya ke luar jendela. Mencoba mengamati hiruk-pikuk terminal siang ini.
Beberapa
penjual menjajakan barangnya kepada penumpang, termasuk juga Akang. Akang hanya
memberikan seutas senyuman kepada para pedagang itu. Sekedar untuk menghargai
usaha mereka.
Akang
menatap ke luar jendela. Kembali mengamati kehidupan di terminal.
DRRRT
DRRRT DRRRT
Akang
merasakan ada getaran di paha kanannya. Getaran itu bersumber dari hape di saku
samping celana panjangnya. Akang merogoh saku. Mengeluarkan hapenya.
Sebuah
susunan angka terpampang di layar hapenya. Ada pesan masuk dari nomer baru.
Mata Akang menyipit. Pesan dari siapa ini? Hati Akang bertanya. Ingin segera
mengetahui jawaban atas pertanyaannya, Akang segera membuka pesan itu.
Assalamualaikum. Akang, ini Hena.
Sebelumnya punten karena telah mengganggu waktu Akang. Hena cuman ingin meminta
bantuan Akang saja. Begini Kang, Hena kan ditunjuk menjadi koordinator untuk
kosidahan. Nah, tim kosidahan kan belum sempat meminjam rebananya. Hena malu untuk
minjamnya Kang. Akang bisa bantuin untuk itu? Untuk meminjamkan rebana ke
ibu-ibu pengajian?
Akang
menelan ludah. Ia perhatikan lagi sebuah nama yang mengirimkan pesan kepadanya.
Apakah dia telah salah lihat? Pelan-pelan kedua matanya menelusuri setiap kata
yang tertulis. Tidak! Akang tidak salah lihat! Ini nyata! Pesan ini datangnya memang
dari Hena!
GLEK!
Akang
menelan ludah lagi. Matanya belum terpejam, dan masih melotot menatap layar
hape. Sepertinya Akang masih belum percaya dengan hal ini. Sudah dari dulu
memang dia ingin tahu nomer hape perempuan yang satu ini. Sudah dari dulu juga
dia ingin mencoba merasakan bagimana rasanya berkomunikasi dengan Hena melalui
hape. Meskipun itu hanya dengan saling mengirim pesan saja. Akang salah
tingkah. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Perlahan
Akang bisa menguasai keadaan dirinya. Pelan-pelan jemarinya mengetik pesan
balasan untuk Hena.
Walaikumussalam. Oh iya, InsyaAllah Akang
coba hubungi ketua pelaksana dulu ya. Akang coba minta bantuan dia untuk
meminjamkan rebana. Nanti kalo udah ada kabar, Akang akan segera hubungi Hena
lagi.
Belum satu
menit, ada balasan lagi dari Hena.
Syukron Kang ya. Punten karena telah
merepotkan Akang :-)
Kedua
ujung bibir Akang melebar. Ia kembali mengetik keypad hapenya.
Gakpapa Hena, santai aja. Ini kan demi
kebaikan semuanya, demi kelancaran acara kita... :-)
Akang
kembali mengetik pesan. Tapi kali ini bukan untuk Hena. Akang hendak meminta
bantuan ketua pelaksana untuk meminjamkan rebana pada majelis taklim pengajian
ibu-ibu.
Baik Kang. Segera laksanakan. Eh, tapi
kenapa Hena tidak langsung meminta bantuan pada saya aja ya? Sepertinya ada
sesuatu nih, hehe. (becanda kok Kang. Jangan dibawa serius ya, hehe)
Akang
tersenyum membaca balasan pesan dari ketua pelaksana. Akang mengetik lagi.
Mungkin dia malu kali kalau sama Antum,
hehe. Oya, makasih atas bantuannya ya. Semoga Allah membalas dengan yang lebih
baik. Aamiin.
Sang ketua
pelaksana membalas lagi.
Aamiin. Eh, tapi, kenapa kalau sama Akang
gak malu ya? Hehe. (Piiiis. Becanda Kang. Sudah racawan saya jangan ditanggapi
lagi, nanti tidak ada ujungnya, hehe)
Akang
tersenyum lagi. Lama sekali senyum itu terlukis di bibir Akang. Jika tidak
ingat untuk segera mengabari Hena, mungkin sampai adzan dzuhur Akang akan tetap
tersenyum.
Akang
mengetik sebuah pesan untuk Hena.
Hena. Akang tadi sudah minta bantuan ketua
pelaksana. Nanti kalau rebananya sudah ada, Akang akan hubungi Hena lagi. Nanti
Hena tinggal langsung hubungi ketua pelaksananya aja ya. Tetap jaga semangat
untuk acara kita. Semangaaaaaaat!
Ada balasan
dari Hena.
Iya Kang. Makasih Kang untuk bantuannya.
:-)
Akang
membalas lagi.
Sama-sama Hena... :-)
Hena
membalas lagi.
:-)
Akang
kembali tersenyum. Detak jantungnya bergemuruh. Suaranya menyerupai tabuhan
rebana ibu-ibu pengajian majelis taklim.
“Minumannya,
A?” Seorang pria penjual minuman menawari dagangannya pada Akang. Bersamaan
dengan itu, senyuman di bibir Akang pudar. Seperi tulisan di atas pasir yang
tergerus ombak.
“Oh
iya? Bagaimana?” Akang masih setengah sadar.
“Minumnya,
A?”
Mata
Akang mengarah pada air minum kemasan di tangan pedagang. Sebentar ia
terbengong. Seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Oh
iya. Satu, Pak,” akhirnya Akang membeli juga.
Wajah
sang penjual minuman sumringah. Segera ia memberikan air minum kemasan yang
dipinta pembelinya. Akang memberikan uang kertas nominal lima ribu.
“Ada
uang pas, A?” tanya sang penjual sambil tersenyum.
“Gak
papa, Pak. Ambil aja kembaliannya.”
“Oh.
Makasih banyak, A,” sang penjual sumringah lagi. “Mari, A,” ia pamit untuk
kembali menjajakan dagangannya. Akang membalas dengan sebuah senyuman.
Akang
genggam erat botol minum kemasan dengan kedua tangannya. Ia kembali mengarahkan
pandangannya ke luar jendela. Sebuah senyuman belum juga hilang dari bibirnya.
Beberapa saat menerawang entah ke alam mana, Akang hendak menyimpan botol minum
kemasan ke tas yang tergeletak pada kursi kosong di sampingnya.
“Lho?!”
alisnya bertaut saat Akang hendak meletakan botol minuman di tangannya.
Penyebabnya adalah sebuah botol minuman kemasan lain yang sudah tersimpan rapih
di dalam tas. Akang menggaruk kepalanya. Ia tersenyum geli. Akang baru sadar,
ternyata sebelumnya ia sudah membeli air minum kemasan dengan merek dagang yang
sama. Akang tersenyum lagi. Menertawakan dirinya sendiri.
Akang
kembali melihat ke luar jendela.
DRRRT
DRRRT DRRRT
Hape
di saku Akang bergetar lagi. Sebuah pesan masuk.
Akang
merogoh saku celananya. Sebuah gambar amplop kecil warna kuning terpampang pada
layar hapenya. Di bawah gambar amplop itu tertera sebuah nama yang membuat
bibir Akang otomatis tersenyum. Beberapa menit lalu Akang memang sudah
menyimpan nomer baru ini di memori hapenya.
Akang sudah berangkat ke Bandungnya?
JENGJEREEET!
Beberapa
menit lalu, Akang merasakan kaget saat pertama kali mendapatkan sebuah pesan
dari Hena. Dan sekarang, kaget yang Akang rasakan berlipat dari yang
sebelumnya. Sebenarnya, penyebabnya adalah bersumber pada hal yang serupa. Akan
tetapi kali ini isi pesannya sedikit berbeda. jika dilihat dari redaksi
kalimatnya, pesan kali ini terasa sedikit lebih privasi. Dan sayangnya, justru
itulah yang membuat dada Akang bergemuruh tidak karuan.
Akang masih di terminal Serang, Na. Bisnya
belum berangkat. Na do’ain supaya Akang selamat sampe Bandung ya... :-)
Ada
balasan dari Hena.
Iya, Kang. Nanti pas hari H Akang hadir
kan?
Akang
segera membalas.
InsyaAllah, Na. Semoga ada takdirNya Akang
bisa hadir. Aamiin. Oya, Gimana pesantrennya udah masuk?
Hena
membalas.
Belum. Nanti masuknya minggu depan. Sehari
setelah acara selesai. Akang do’ain atuh ya supaya Hena betah disananya, hehe.
Akang
membalas.
Pasti, Na. Pasti Akang do’ain. Semoga di
sana Na betah, juga banyak ilmu yang didapatkan, yang nantinya untuk diamalkan
guna memajukan kampung tercinta. Aamiin... :-)
Hena
membalas lagi.
Aamiin. Makasih do’anya. Semoga demikian
juga dengan Akang di kuliahannya. Aamiin Yaa Allah. :-)
Akang
mengetik lagi. Kali ini pendek sekali isi pesannya.
:-)
Hena
membalas lagi.
:-)
Siang ini,
di dalam bis ini, adalah satu dari sekian banyak peristiwa spesial yang akan
selalu tersimpan rapih di rak memori terindah pada hati Akang.
Akang
menatap ke luar jendela lagi. Tapi pikirannya menerawang entah ke negeri mana.
“Minumnya,
A?” seorang bapak setengah baya menjajakan dagangannya.
Akang
menoleh. Sambil tersenyum ia langsung memesan. “Satu, Pak.”
Bapak
pedagang memberikan satu botol minum kemasan pada Akang. Akang merogoh uang di
sakunya. Lalu memberikan uang lima ribu rupiah pada bapak penjual di
hadapannya. “Kembaliannya ambil aja, Pak.”
“Makasih
banyak, A.” Sang bapak penjual minuman meleos untuk menjajakan dagangannya pada
penumpang lain.
Sebuah
senyuman belum hilang dari bibir Akang.
Akang
membuka retsleting tasnya. Ia hendak menyimpan botol minum kemasan yang baru
dibelinya.
“Lho?!”
Akang
baru sadar lagi. Ternyata sudah ada dua botol air minum kemasan di dalam
tasnya. Dan sekarang menjadi tiga.
Akang
garuk-garuk kepala. Tersenyum geli menertawakan dirinya sendiri.
Perlahan
bis meninggalkan terminal Serang. Melaju pelan di antara kendaraan yang
berukuran lebih kecil. Beberapa waktu kedepan, Akang akan meninggalkan tanah
Banten, dan kembali menghirup udara Bandung.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar