Minggu, 25 Agustus 2013

JEPREET!!!! (2)

          Jam lima sore. Dua orang laki-laki muda telah kembali ke kamar kosannya. Mamat, yang lebih dulu tiba, sedang rebahan terlentang. Kedua kakinya ia tumpangkan ke atas, disandarkan pada dinding. Pada kedua telinganya tertempel sebuah earphone. Kepalanya menggeleng-geleng pelan. Sepertinya, lagu yang sedang ia dengar merupakan lagu dengan aliran lembut. Pandangannya menatap kosong ke atap kamar.

           Tidak jauh dari Mamat, Akang sedang sibuk dengan tas yang tergeletak di hadapannya. Tas itu setengah penuh oleh beberapa barang. Ada beberapa potong pakaian, laptop, buku, juga barang-barang kecil lainnya. 

          Akang menggaruk kepalanya yang tidak sedang gatal. Dahinya mengkerut. Ia sedang memikirkan apakah masih ada barang yang terlupakan. Untuk memastikan, Akang mengecek lagi isi tasnya. Sekedar meyakinkan diri bahwa memang tidak ada barang yang tertinggal.

          Akang mengangguk. Ya, sepertinya memang tidak ada barang yang terlewat.

          Akang menyunggingkan bibirnya. Ia menoleh pada rak buku di hadapannya. 

         “Ups!” Akang mengangkat kedua alisnya. “Mat, Mat.”

          Mamat tidak menyahut.

         “Mat!” Akang melirik pada Mamat.

          Mamat menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Ke kanan juga ke kiri.

         “Mat,” kali ini tangan Akang menggoyang lengan Mamat.

          Mamat menoleh pada Akang. Ia menurunkan kedua kakinya. Kemudian duduk menghadap teman sekamarnya. “Iya, kenapa, Kang?” kedua tangannya melepas earphone yang menutup lubang telinganya. 

         “Punten. Nanti kalau besok ada Asep datang kesini nanyain buku, Mamat tolong kasihkan aja ya. Bukunya saya simpan disini,” Akang menarik sebuah buku yang berdiri berjajar di rak. 

          “Oh, iya, sip Kang,” jawab Mamat. Akang memasukan lagi buku pada temapatnya semula. “Emang Akang mau kemana?”

         “Mau mudik dulu.”

         “Lho, lagi? Bukannya bulan kemarin sudah mudik kan?” kening Mamat melipat. “Berapa hari?”

         “Seminggu.”

         “Lho?!” Kedua ujung alis Mamat beradu. “Seminggu ini kan masih ada kuliah.”

         “Ambil jatah, Mat. Saya masih ada sisa dua kali jatah tidak masuk lagi. Lagian nanggung, kuliahnya hanya tinggal seminggu lagi. Setelah itu sudah masuk pekan libur persiapan UAS. Jadi, jika digabung, numayan kan liburnya jadi dua minggu. Sekalian refreshing di kampungnya, hehe...”

        “Alah, alesan aja itumah. Bilang aja kalau sudah gak tahan menahan rindu pada si kembang desa. Iya kan, iya kan?” Mamat menggoda Akang. Kedua alisnya ia gerak-gerakan. 

          Akang tersenyum karena godaan Mamat. “Eeeh, bukan begitu, Mat. Kebetulan kan hari Minggu besok ada nikahan teman akrab di kampungnya. Kemudian, setelah itu rencananya mau bantu-bantu remaja pengajian yang sebentar lagi akan mengadakan acara besar. Numayan kan, barang kali aja saya bisa menyumbang sedikit tenaga dan pikiran untuk acara itu.”

         “Ah, alesan. Lagu lama,” Mamat nyengir. “Oya, saya titip salam buat si kembang desanya Kang ya, hehe...”

          “Kembang desa yang mana?”

         “Alah, Akang mah sok kaya gitu aja tuh.”

          Akang melebarkan kedua ujung bibirnya. “Dia kan masih SD, Mat. Dia itu bekas murid saya.” Belum lepas senyuman di bibir Akang.

         “Iya, tapi itu kan empat tahun lalu. Sekarang kan dia sudah SMA. Sekolahnya di ponpes lagi. Hayoooooo...,” Mamat menunjuk wajah Akang. Ia menggerak-gerakan telunjuknya.

         Akang tertawa kecil. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaannya.

          “Do’ain aja atuh Mat ya. Kalau memang jodoh mah pasti tidak akan kemana,” ucap Akang malu-malu.

         “Jangan khawatir, Kang. Do’amah pasti saya berikan. Cuman jangan lupa aja nanti pas kesini laginya bawa oleh-oleh yang banyak ya.”

         Akang menanggapi perkataan Mamat hanya dengan sebuah senyuman saja.
***

          TREK

           Telunjuk Akang memencet sakelar listrik. Bersamaan dengan itu, listrik kamar kosan mati. Akang rebahan di kasur lipat jatahnya. Sementara Mamat telah lebih dulu memejamkan mata. 

          “Bismillahirrahmanirrahiim,” sayup-sayup Akang menggumamkan do’a sebelum tidur. Akang menarik nafas panjang, bersiap untuk memejamkan mata.

          DRRRT DRRRT DRRRRRRTT

          Hape Akang bergetar. Akang tidak jadi menutup kedua matanya. Dengan tanpa merubah posisi tidurnya, Akang menjulurkan tangannya hendak mengambil hape di atas meja kecil tempat laptop. Akang menatap layar hapenya. Sebuah pesan masuk. Dari seorang teman di kampungnya.

          Akang, lusa hadir kan di nikahan Risti?

          Jemari Akang menekan tombol-tombol hapenya. Balasan segera dikirim.

          Sip. Besok pagi segera meluncur ke kampung tercinta.

          Beberapa detik berselang, sebuah pesan datang lagi.

          Asiiiiik. Oya, ada titipan salam dari A Riri, katanya, awas aja jika Akang sampe gak hadir mah, hehe.

            Akang segera membalas lagi.

          Hehe. Sip-sip. Santai aja, InsyaAllah Akang pasti hadir. Oya, do’ain Akang ya supaya segera menyusul Risti dan Riri... :-)

          Nun jauh disana, di sebuah kampung yang namanya sudah mengiang-ngiang di telinga Akang, Risti menyunggingkan sebuah senyuman. Jemarinya menari di keypad hape.

          Tenang aja Kang, jangan khawatir, Risti pasti do’ain kok. Lagian kan Akang mah masih lama, masih sekitar tiga tahunan lagi. Si kembang desanya juga kan masih mondok, hehe.

        Dalam temaram kamar, hanya berpenerangkan cahaya layar hape saja, samar-samar Akang melebarkan kedua ujung bibirnya. Pikirannya melayang, ingin segera menginjakan kaki di tanah kelahirannya. 

          Akang tersenyum lagi. Cahaya pada layar hape meredup. Kemudian padam. Kamar kembali gelap. Malam ini, sepertinya Akang akan bermimpi indah. Sangat indah.
***

Waktu tegang telah lewat. Ijab-qabul telah diucapkan. Risti dan Riri telah resmi menjadi sepasang kekasih yang halal. 

Akang, juga beberapa orang lainnya berebut mendapat tempat terbaik untuk mengambil foto kedua mempelai.

“Baik, bapak, ibu, juga hadirin sekalian, mari kita beranjak ke acara selanjutnya, yaitu pemberian nasihat pernikahan untuk pasangan pengantin baru yang berbahagia di hadapan kita semua ini,” Samsul, yang didaulat sebagai pembawa acara mengarahkan pandangannya pada Risti dan Riri. Hadirin khusuk mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari mulut Samsul. Sementara Akang dan beberapa orang lainnya masih sedang sibuk memburu foto.

“Sebelum kita mendengarkan nasihat dari sesepuh, baik dari pihak mempelai laki-laki maupun dari pihak mempelai wanita, izinkan kami untuk memberikan penghargaan kepada sahabat kami ketika masih mondok di pesantren yang sama dulu.” Jelas sekali artikulasi setiap kata yang dikeluarkan Samsul.

Di antara beberapa orang yang mengambil foto, Akang mengernyitkan dahi. Kedua matanya menyipit. Sepertinya dia mulai menemukan sebuah kejanggalan dibalik kalimat Samsul. 

                “Penghargaan ini kami berikan kepada alumni santri yang dulu satu kamar dengan sang mempelai laki-laki.”

                Kedua mata Akang semakin menyipit. Sorot matanya menjadi lebih tajam. Hawa panas mulai meringkus tubuhnya.

                “Dengan penuh rasa hormat, kami persilahkan kepada Ananda Akang untuk memberikan nasihatnya.” Bibir Samsul menyeringai.

                DEGG

                Jantung Akang seperti berhenti berdetak untuk sesaat. Wajahnya pucat pasi. Pelan-pelan ia melirik pada Samsul. Samsul hanya tersenyum menahan tawa. 

                Akang melambai-lambaikan tangannya pertanda tidak siap. Samsul menghiraukan isyarat dari Akang. Ia malah menundukan wajahnya. Sebuah senyuman belum lepas dari bibirnya.

                “Gak papa, Kang, namanya juga belajar,” sebuah suara berat keluar di antara kerumunan sesepuh yang duduk pada jajaran kursi plastik. Akang menoleh pada sumber suara. Pandangan Akang mendarat pada para sesepuh itu. Seketika nyali Akang bertambah menciut. 

                “Sekalian latihan,” ujar sesepuh yang lain. Akang hanya menanggapi dengan senyuman dingin.  

                “Kepada yang terhormat Ananda Akang, dipersilahkan untuk memberikan nasihatnya,” Samsul mengingatkan. Ia kembali menunduk. Juga tersenyum menahan tawa. 

                Akang celingukan. Ia mengarahkan pandangannya ke sekitar. Melihat semua orang yang hadir di acara pernikahan ini. Akhirnya, meskipun dengan langkah berat dan perlahan, Akang menghampiri Samsul di sudut panggung. Samsul menyodorkan mikrofon di tangannya. Akang menerimanya.

                Akang mengangkat mikrofon. Posisinya kini sudah tepat di hadapan mulut Akang. Sekali lagi, ia mengarahkan pandangannya pada hadirin. 

                Akang membuka ucapannya dengan sebuah salam. Hadirin menjawab salam Akang. Kemudian Akang melantunkan puji syukur kepada Allah SWT, juga menghaturkan sholawat teruntuk baginda Nabi Muhammad SAW. Lalu diakhiri dengan kata amaba’du

                “Pertama, jika saya boleh berkata jujur, terus terang saya sangat-sangat merasa kaget karena hal ini. Sebab tidak ada niatan lain hadir di acara ini selain hanya untuk menghadiri saja. Sungguh, tidak ada nawaitu lain, apalagi sampai memberi nasihat pernikahan segala,” Akang menoleh pada Samsul. Orang yang dilihat malah tertawa kecil. Beberapa hadirin ikut tersenyum.

                “Kedua, sebelumnya saya memohon izin kepada semuanya untuk bercerita terlebih dahulu.” Akang menarik nafas. “Cerita ini seputar kisah kami ketika masih belajar d pondok yang sama.” Akang memberi jeda lagi. Hanya sepanjang tarikan nafas saja. 

                “Tidak banyak santri yang belajar ketika itu. Hanya ada beberapa orang saja. Tiga di antaranya yaitu sang mempelai pria kita,” Akang menunjuk Riri. Riri tersenyum. Demikian juga dengan sang istri yang duduk di sampingnya. “Saya sendiri, juga seorang santri yang paling jahil dari semua santri,” Akang menunjuk Samsul. Pandangan hadirin mengikuti kemana arah telunjuk Akang mengarah. Samsul hanya tersenyum. Hadirin juga tersenyum.

                “Bapak, ibu, semuanya yang saya hormati. Baiklah, pada kesempatan kali ini, kita tidak akan membahas bagaimana kejahilan-kejahilan yang pernah dilakukan Ananda Samsul. Karena mungkin, dengan didaulat secara mendadaknya saya untuk berbicara di depan sini, itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan jika Ananda Samsul adalah orang yang numayan jahil.”

                Hadirin tertawa renyah. Samsul menundukan wajahnya. Namun senyuman masih terlukis di bibirnya. Hanya saja, kali ini senyuman itu bernada tidak jelas. Apakah geli, malu, atau apa?

                “Baik, benar dengan apa yang tadi dijelaskan oleh Ananda Samsul, saya dan Ananda Riri dulu tidur pada kamar yang sama. Jadi, sedikit-banyaknya saya mengetahui seperti apa karakter Ananda Riri.

                “Bapak, ibu, juga hadirin semuanya. Jika ada di antara kami yang paling sering bolos mengaji, maka santri itu tidak lain adalah Ananda Riri, juga saya sendiri tentunya. Mengapa? Karena hampir setiap pengajian sore hari, kami berdua hampir selalu tidak hadir. Kami lebih memilih bermain sepak bola dengan anak-anak desa lainnya. Alhasil, hampir setiap pengajian malam harinya, kami ditegur oleh Kyai kami.” Akang tidak kuasa menahan tawa. Begitu juga dengan Riri dan Samsul. Bahkan, hadirin juga ikut tertawa renyah. Suasana menjadi lebih santai. Akang lebih leluasa dalam mengeluarkan kata.

                “Namun, sebelum kami berdua benar-benar ditegur, Kyai kami biasanya mengetest kami terlebih dahulu. Jika kami mampu menjawab pertanyaan dari Kyai, maka secara otomatis kami terbebas dari omelan beliau. Namun, jika kami tak mampu menjawab, maka Bapak, Ibu, juga hadirin semuanya pastilah tahu apa yang terjadi pada kami berdua. Bukan begitu Ananda Samsul?” Akang menoleh pada Samsul. Samsul manggut-manggut mengiyakan. Di samping Risti, mempelai laki-laki tersenyum mengenang masa lalu. Hadirin masih mengulum senyumnya.

                “Bapak, Ibu, juga hadirin semuanya. Ada satu kelebian dari Ananda Riri yang mungkin hingga detik ini belum mampu saya tandingi,” Akang melirik Riri. “Entah bagaimana caranya. Entah kelebihan apa yang beliau miliki. Hampir setiap pertanyaan dari Kyai, selalu dijawabnya dengan benar. Berbeda dengan saya yang hanya kadang-kadang saja bisa menjawab benarnya.”

                Samsul manggut-manggut mengenang masa lalu yang dibuka kembali oleh Akang. Riri menunduk menyembunyikan tawanya yang ditahan.

                “Nah, maksud dari kisah ini tidak lain hanyalah ingin menjelaskan bahwa saya pribadi tidak meragukan lagi kualitas kepala Ananad Riri dalam menyerap ilmu. InsyaAllah ilmu yang beliau miliki sudah jauh lebih dari cukup untuk bisa menuntun sang istri kepada jalan yang diridhoi Allah SWT. InsyaAllah

                “Selanjutnya. Mungkin ini adalah point inti yang ingin saya sampaikan kepada kedua mempelai di hadapan kita semua yang sedang dilanda berjuta rasa bahagia ini.” Akang memberi jeda. “Sudah barang tentu, dipilihnya Ananda Riri oleh Adinda Risti, juga dipilihnya Adinda Risti oleh Ananda Riri sebagai pendamping hidup itu pastilah karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh sang pasangan. Sejauh ini, mungkin satu-sama lain baru masih mengenal sisi baiknya saja. 

                “Kita semua pasti telah mengetahui bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Termasuk juga saya, Bapak, Ibu, hadirin, juga kedua mempelai di hadapan kita ini. Untuk itu, sudah sepatutnya konsep ini digenggam baik-baik oleh kedua mempelai. Agar kelak, saat Ananda Riri, ataupun Adinda Risti menemukan kekurangan-kekurangan sang pasangan, maka keduanya tidak merasa kaget. Dengan pemahaman ini, sudah sepatutnya setiap pasangan manapun di dunia ini, termasuk juga Ananda Riri dan Adinda Risti, saling menerima kekurangan pasangannya satu sama lain. Juga berusaha saling menambal kekurangan yang dimiliki oleh sang pasangan itu. Dengan jalan saling menasihati dalam kebaikan, juga saling mengingatkan untuk tidak melangkah pada keburukan.

                “Mmmmmm...

                Mmmmm....,” Akang mulai kebingungan untuk melanjutkan kalimat. Rasa gugup mulai meringkusnya lagi. Untuk mengurangi rasa itu, Akang mengarahkan pandangan pada sekeliling hadirin yang menatapnya.

                “Mmmm. Mungkin hanya ini yang bisa saya sampaikan. Kurang lebihnya saya memohon maaf. Namun. Kepada Bapak, Ibu, juga hadirin semuanya, satu yang perlu dikeketahui. Pokoknya, setelah resepsi ini selesai, saya harus bertemu dan mengobrol dengan Ananda Samsul atas kejahilannya terhadap saya ini.” Akang mengakhiri sambutannya dengan sedikit tawa. Hadirin tersenyum kembali. Samsul menahan tawa.
***

                “Saya duluan ya,” Akang menjabat tangan Samsul.

                “Sip. Oya, Ente masih lama kan disininya?”

                “Santai aja, saya libur dua minggu.”

                “Oke, kalo gitu kita lanjutin nanti aja ya ngobrolnya.”

                “Sip!” Akang menepuk bahu Samsul. Kemudian ia mengucapkan salam.

                Akang berjalan, bergabung dengan beberapa tamu undangan yang hendak berpamitan pada kedua mempelai di pelaminan. Akang masuk barisan. Posisinya berada di yang paling buncit.

                Beberapa orang mengikuti di belakang Akang.

                “Akang kapan pulangnya?” suara berat bertanya di belakang. 

                Akang menoleh. Mukanya terkejut saat kedua matanya terhenti pada sebuah wajah.

                “Eh, Abah,” Akang meraih tangan sang penanya. Lalu mencium punggung tangannya. “Kemarin sore, Bah.”

                Akang menggeser tatapannya hanya beberapa derajat ke samping Abah Haji.

                “Ummi,” Akang menghampiri Ummi, yang tidak lain adalah istrerinya Abah Haji. Kemudian menyalaminya juga.

                Akang menggeser lagi pandangannya sedikit. 

                SERRRRR

                Ada hawa aneh pada jiwa Akang, saat matanya mendarat pada seseorang di hadapannya.

                “Hena,” Akang nyengir. Ia salah tingkah. Hena membalas senyuman Akang.

                “Lho, katanya Na ke pondok?” Akang bertanya. Sekedar untuk menyamarkan rasa canggungnya. Kemudian Akang mengarahkan pandangannya juga kepada Abah Haji dan Ummi. Mencoba meminta jawaban atas pertanyaannya.

                “Masuk pondoknya masih tiga minggu lagi, Kang,” jawab Hena. 

                “Ooooh,” Akang manggut-manggut. 

                Akang tidak tahu, apa lagi yang akan ia tanyakan. Beruntung, orang di depannya sudah beberapa langkah meninggalkannya. Jadi ada alasan untuk dia meminta izin melangkah duluan.

                Akang menyalami kedua mempelai. Ia menyempatkan sedikit bergurau dengan Riri, kawan lamanya. Saat dirasa cukup, Akang langsung pamitan. Ia melangkah hendak meninggalkan panggung pelaminan.

                Namun apa yang terjadi setelah itu. 

                “Akang,” Ummi menahan tangan Akang.

                Akang menoleh. “Ummi. Ada apa, Mi?” Akang heran.

                “Kita foto bareng pengantin dulu,” Ummi menarik Akang kembali mendekat ke pelaminan.

                “Ekhemm,” Risti mendehem. Ia menatap Akang dan Hena bergantian. Akang menggaruk-garuk kepala. Hena tersenyum menyembunyikan pipinya yang mulai memerah.

                Ummi dan Akang berdiri di sebelah kanan mempelai, sementara Abah dan Hena di sebelah kirinya. Mendapati pemandangan langka itu, Samsul tidak mau ketinggalan. Ia melangkah cepat mengambil posisi di samping fotografer. Ia ikut mengabadikan melalui kamera hapenya. 

                JPREETT

                Beberapa kali kamera dan hape mengabadikan peristiwa langka ini.

                JPREETT

                “Maaf, Ummi. Kita menyingkir dulu sebentar ya,” Risti memohon izin. Ia menarik lengan sang suami. Riri tersenyum. Ia paham maksud sang bidadarinya. Mereka melangkah ke samping. Sekedar menghilang dari dari jangkauan tangkap kamera.

                “Akang, Hena, merapat atuh,” Risti menggoda. 

                Ummi dan Abah haji saling pandang. Ada makna dibalik pandangan orang tua Hena itu. 

                Ummi menggeser posisi berdirinya. Sekalian menuntun Akang untuk ikut bergeser ke tengah. Berdiri di depan bangku pelaminan. 

                Abah haji dan Hena juga ikut menggeser posisi mereka. 

                Akang dan Hena berdiri berdampingan. Ada sedikit jarak di antara mereka. Sebuah jarak yang cukup untuk seorang berdiri jika masuk pada jarak itu. Akang menggaruk kepala. Hena menunduk. Hanya satu yang sama. Wajah mereka sama-sama bersemu merah.

                JPREETT

                Para tamu undangan tersenyum mendapati hal ini. Di antara kerumuanan tamu yang sedang makan, orang tua Akang ikut tersenyum.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar