Tidak
jauh dari Mamat, Akang sedang sibuk dengan tas yang tergeletak di hadapannya.
Tas itu setengah penuh oleh beberapa barang. Ada beberapa potong pakaian,
laptop, buku, juga barang-barang kecil lainnya.
Akang
menggaruk kepalanya yang tidak sedang gatal. Dahinya mengkerut. Ia sedang
memikirkan apakah masih ada barang yang terlupakan. Untuk memastikan, Akang
mengecek lagi isi tasnya. Sekedar meyakinkan diri bahwa memang tidak ada barang
yang tertinggal.
Akang
mengangguk. Ya, sepertinya memang tidak ada barang yang terlewat.
Akang
menyunggingkan bibirnya. Ia menoleh pada rak buku di hadapannya.
“Ups!”
Akang mengangkat kedua alisnya. “Mat, Mat.”
Mamat
tidak menyahut.
“Mat!”
Akang melirik pada Mamat.
Mamat
menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Ke kanan juga ke kiri.
“Mat,”
kali ini tangan Akang menggoyang lengan Mamat.
Mamat
menoleh pada Akang. Ia menurunkan kedua kakinya. Kemudian duduk menghadap teman
sekamarnya. “Iya, kenapa, Kang?” kedua tangannya melepas earphone yang menutup lubang telinganya.
“Punten.
Nanti kalau besok ada Asep datang kesini nanyain buku, Mamat tolong kasihkan
aja ya. Bukunya saya simpan disini,” Akang menarik sebuah buku yang berdiri
berjajar di rak.
“Oh,
iya, sip Kang,” jawab Mamat. Akang memasukan lagi buku pada temapatnya semula. “Emang
Akang mau kemana?”
“Mau
mudik dulu.”
“Lho,
lagi? Bukannya bulan kemarin sudah mudik kan?” kening Mamat melipat. “Berapa
hari?”
“Seminggu.”
“Lho?!”
Kedua ujung alis Mamat beradu. “Seminggu ini kan masih ada kuliah.”
“Ambil
jatah, Mat. Saya masih ada sisa dua kali jatah tidak masuk lagi. Lagian
nanggung, kuliahnya hanya tinggal seminggu lagi. Setelah itu sudah masuk pekan
libur persiapan UAS. Jadi, jika digabung, numayan kan liburnya jadi dua minggu.
Sekalian refreshing di kampungnya,
hehe...”
“Alah,
alesan aja itumah. Bilang aja kalau sudah gak tahan menahan rindu pada si
kembang desa. Iya kan, iya kan?” Mamat menggoda Akang. Kedua alisnya ia
gerak-gerakan.
Akang
tersenyum karena godaan Mamat. “Eeeh, bukan begitu, Mat. Kebetulan kan hari
Minggu besok ada nikahan teman akrab di kampungnya. Kemudian, setelah itu
rencananya mau bantu-bantu remaja pengajian yang sebentar lagi akan mengadakan
acara besar. Numayan kan, barang kali aja saya bisa menyumbang sedikit tenaga
dan pikiran untuk acara itu.”
“Ah,
alesan. Lagu lama,” Mamat nyengir. “Oya, saya titip salam buat si kembang
desanya Kang ya, hehe...”
“Kembang
desa yang mana?”
“Alah,
Akang mah sok kaya gitu aja tuh.”
Akang
melebarkan kedua ujung bibirnya. “Dia kan masih SD, Mat. Dia itu bekas murid
saya.” Belum lepas senyuman di bibir Akang.
“Iya,
tapi itu kan empat tahun lalu. Sekarang kan dia sudah SMA. Sekolahnya di ponpes
lagi. Hayoooooo...,” Mamat menunjuk wajah Akang. Ia menggerak-gerakan
telunjuknya.
Akang
tertawa kecil. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaannya.
“Do’ain
aja atuh Mat ya. Kalau memang jodoh mah pasti tidak akan kemana,” ucap Akang
malu-malu.
“Jangan
khawatir, Kang. Do’amah pasti saya berikan. Cuman jangan lupa aja nanti pas
kesini laginya bawa oleh-oleh yang banyak ya.”
Akang
menanggapi perkataan Mamat hanya dengan sebuah senyuman saja.
***
TREK
Telunjuk
Akang memencet sakelar listrik. Bersamaan dengan itu, listrik kamar kosan mati.
Akang rebahan di kasur lipat jatahnya. Sementara Mamat telah lebih dulu
memejamkan mata.
“Bismillahirrahmanirrahiim,” sayup-sayup
Akang menggumamkan do’a sebelum tidur. Akang menarik nafas panjang, bersiap
untuk memejamkan mata.
DRRRT
DRRRT DRRRRRRTT
Hape
Akang bergetar. Akang tidak jadi menutup kedua matanya. Dengan tanpa merubah
posisi tidurnya, Akang menjulurkan tangannya hendak mengambil hape di atas meja
kecil tempat laptop. Akang menatap layar hapenya. Sebuah pesan masuk. Dari
seorang teman di kampungnya.
Akang, lusa hadir kan di nikahan Risti?
Jemari
Akang menekan tombol-tombol hapenya. Balasan segera dikirim.
Sip. Besok pagi segera meluncur ke kampung
tercinta.
Beberapa
detik berselang, sebuah pesan datang lagi.
Asiiiiik. Oya, ada titipan salam dari A
Riri, katanya, awas aja jika Akang sampe gak hadir mah, hehe.
Akang
segera membalas lagi.
Hehe. Sip-sip. Santai aja, InsyaAllah Akang
pasti hadir. Oya, do’ain Akang ya supaya segera menyusul Risti dan Riri... :-)
Nun jauh
disana, di sebuah kampung yang namanya sudah mengiang-ngiang di telinga Akang,
Risti menyunggingkan sebuah senyuman. Jemarinya menari di keypad hape.
Tenang aja Kang, jangan khawatir, Risti
pasti do’ain kok. Lagian kan Akang mah masih lama, masih sekitar tiga tahunan
lagi. Si kembang desanya juga kan masih mondok, hehe.
Dalam
temaram kamar, hanya berpenerangkan cahaya layar hape saja, samar-samar Akang
melebarkan kedua ujung bibirnya. Pikirannya melayang, ingin segera menginjakan
kaki di tanah kelahirannya.
Akang tersenyum lagi. Cahaya pada layar hape meredup. Kemudian padam. Kamar kembali gelap. Malam ini, sepertinya Akang akan bermimpi indah. Sangat indah.
***
Waktu
tegang telah lewat. Ijab-qabul telah diucapkan. Risti dan Riri telah resmi
menjadi sepasang kekasih yang halal.
Akang, juga beberapa orang lainnya berebut mendapat tempat terbaik untuk mengambil foto kedua mempelai.
“Baik,
bapak, ibu, juga hadirin sekalian, mari kita beranjak ke acara selanjutnya,
yaitu pemberian nasihat pernikahan untuk pasangan pengantin baru yang
berbahagia di hadapan kita semua ini,” Samsul, yang didaulat sebagai pembawa
acara mengarahkan pandangannya pada Risti dan Riri. Hadirin khusuk mendengarkan
setiap kalimat yang keluar dari mulut Samsul. Sementara Akang dan beberapa
orang lainnya masih sedang sibuk memburu foto.
“Sebelum
kita mendengarkan nasihat dari sesepuh, baik dari pihak mempelai laki-laki
maupun dari pihak mempelai wanita, izinkan kami untuk memberikan penghargaan
kepada sahabat kami ketika masih mondok di pesantren yang sama dulu.” Jelas
sekali artikulasi setiap kata yang dikeluarkan Samsul.
Di antara
beberapa orang yang mengambil foto, Akang mengernyitkan dahi. Kedua matanya
menyipit. Sepertinya dia mulai menemukan sebuah kejanggalan dibalik kalimat
Samsul.
“Penghargaan
ini kami berikan kepada alumni santri yang dulu satu kamar dengan sang mempelai
laki-laki.”
Kedua
mata Akang semakin menyipit. Sorot matanya menjadi lebih tajam. Hawa panas
mulai meringkus tubuhnya.
“Dengan
penuh rasa hormat, kami persilahkan kepada Ananda Akang untuk memberikan
nasihatnya.” Bibir Samsul menyeringai.
DEGG
Jantung
Akang seperti berhenti berdetak untuk sesaat. Wajahnya pucat pasi. Pelan-pelan
ia melirik pada Samsul. Samsul hanya tersenyum menahan tawa.
Akang
melambai-lambaikan tangannya pertanda tidak siap. Samsul menghiraukan isyarat
dari Akang. Ia malah menundukan wajahnya. Sebuah senyuman belum lepas dari
bibirnya.
“Gak
papa, Kang, namanya juga belajar,” sebuah suara berat keluar di antara
kerumunan sesepuh yang duduk pada jajaran kursi plastik. Akang menoleh pada
sumber suara. Pandangan Akang mendarat pada para sesepuh itu. Seketika nyali
Akang bertambah menciut.
“Sekalian
latihan,” ujar sesepuh yang lain. Akang hanya menanggapi dengan senyuman
dingin.
“Kepada
yang terhormat Ananda Akang, dipersilahkan untuk memberikan nasihatnya,” Samsul
mengingatkan. Ia kembali menunduk. Juga tersenyum menahan tawa.
Akang
celingukan. Ia mengarahkan pandangannya ke sekitar. Melihat semua orang yang hadir
di acara pernikahan ini. Akhirnya, meskipun dengan langkah berat dan perlahan,
Akang menghampiri Samsul di sudut panggung. Samsul menyodorkan mikrofon di
tangannya. Akang menerimanya.
Akang
mengangkat mikrofon. Posisinya kini sudah tepat di hadapan mulut Akang. Sekali
lagi, ia mengarahkan pandangannya pada hadirin.
Akang
membuka ucapannya dengan sebuah salam. Hadirin menjawab salam Akang. Kemudian
Akang melantunkan puji syukur kepada Allah SWT, juga menghaturkan sholawat
teruntuk baginda Nabi Muhammad SAW. Lalu diakhiri dengan kata amaba’du.
“Pertama,
jika saya boleh berkata jujur, terus terang saya sangat-sangat merasa kaget
karena hal ini. Sebab tidak ada niatan lain hadir di acara ini selain hanya
untuk menghadiri saja. Sungguh, tidak ada nawaitu
lain, apalagi sampai memberi nasihat pernikahan segala,” Akang menoleh pada
Samsul. Orang yang dilihat malah tertawa kecil. Beberapa hadirin ikut
tersenyum.
“Kedua,
sebelumnya saya memohon izin kepada semuanya untuk bercerita terlebih dahulu.”
Akang menarik nafas. “Cerita ini seputar kisah kami ketika masih belajar d pondok
yang sama.” Akang memberi jeda lagi. Hanya sepanjang tarikan nafas saja.
“Tidak
banyak santri yang belajar ketika itu. Hanya ada beberapa orang saja. Tiga di
antaranya yaitu sang mempelai pria kita,” Akang menunjuk Riri. Riri tersenyum.
Demikian juga dengan sang istri yang duduk di sampingnya. “Saya sendiri, juga
seorang santri yang paling jahil dari semua santri,” Akang menunjuk Samsul.
Pandangan hadirin mengikuti kemana arah telunjuk Akang mengarah. Samsul hanya
tersenyum. Hadirin juga tersenyum.
“Bapak,
ibu, semuanya yang saya hormati. Baiklah, pada kesempatan kali ini, kita tidak
akan membahas bagaimana kejahilan-kejahilan yang pernah dilakukan Ananda
Samsul. Karena mungkin, dengan didaulat secara mendadaknya saya untuk berbicara
di depan sini, itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan jika Ananda Samsul
adalah orang yang numayan jahil.”
Hadirin
tertawa renyah. Samsul menundukan wajahnya. Namun senyuman masih terlukis di
bibirnya. Hanya saja, kali ini senyuman itu bernada tidak jelas. Apakah geli,
malu, atau apa?
“Baik,
benar dengan apa yang tadi dijelaskan oleh Ananda Samsul, saya dan Ananda Riri
dulu tidur pada kamar yang sama. Jadi, sedikit-banyaknya saya mengetahui
seperti apa karakter Ananda Riri.
“Bapak,
ibu, juga hadirin semuanya. Jika ada di antara kami yang paling sering bolos
mengaji, maka santri itu tidak lain adalah Ananda Riri, juga saya sendiri
tentunya. Mengapa? Karena hampir setiap pengajian sore hari, kami berdua hampir
selalu tidak hadir. Kami lebih memilih bermain sepak bola dengan anak-anak desa
lainnya. Alhasil, hampir setiap pengajian malam harinya, kami ditegur oleh Kyai
kami.” Akang tidak kuasa menahan tawa. Begitu juga dengan Riri dan Samsul.
Bahkan, hadirin juga ikut tertawa renyah. Suasana menjadi lebih santai. Akang
lebih leluasa dalam mengeluarkan kata.
“Namun,
sebelum kami berdua benar-benar ditegur, Kyai kami biasanya mengetest kami
terlebih dahulu. Jika kami mampu menjawab pertanyaan dari Kyai, maka secara
otomatis kami terbebas dari omelan beliau. Namun, jika kami tak mampu menjawab,
maka Bapak, Ibu, juga hadirin semuanya pastilah tahu apa yang terjadi pada kami
berdua. Bukan begitu Ananda Samsul?” Akang menoleh pada Samsul. Samsul
manggut-manggut mengiyakan. Di samping Risti, mempelai laki-laki tersenyum
mengenang masa lalu. Hadirin masih mengulum senyumnya.
“Bapak,
Ibu, juga hadirin semuanya. Ada satu kelebian dari Ananda Riri yang mungkin
hingga detik ini belum mampu saya tandingi,” Akang melirik Riri. “Entah
bagaimana caranya. Entah kelebihan apa yang beliau miliki. Hampir setiap
pertanyaan dari Kyai, selalu dijawabnya dengan benar. Berbeda dengan saya yang
hanya kadang-kadang saja bisa menjawab benarnya.”
Samsul
manggut-manggut mengenang masa lalu yang dibuka kembali oleh Akang. Riri
menunduk menyembunyikan tawanya yang ditahan.
“Nah,
maksud dari kisah ini tidak lain hanyalah ingin menjelaskan bahwa saya pribadi
tidak meragukan lagi kualitas kepala Ananad Riri dalam menyerap ilmu. InsyaAllah ilmu yang beliau miliki sudah
jauh lebih dari cukup untuk bisa menuntun sang istri kepada jalan yang diridhoi
Allah SWT. InsyaAllah.
“Selanjutnya.
Mungkin ini adalah point inti yang ingin saya sampaikan kepada kedua mempelai
di hadapan kita semua yang sedang dilanda berjuta rasa bahagia ini.” Akang
memberi jeda. “Sudah barang tentu, dipilihnya Ananda Riri oleh Adinda Risti,
juga dipilihnya Adinda Risti oleh Ananda Riri sebagai pendamping hidup itu
pastilah karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh sang pasangan. Sejauh
ini, mungkin satu-sama lain baru masih mengenal sisi baiknya saja.
“Kita
semua pasti telah mengetahui bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia
ini. Setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Termasuk juga saya, Bapak, Ibu, hadirin, juga kedua mempelai di hadapan kita ini.
Untuk itu, sudah sepatutnya konsep ini digenggam baik-baik oleh kedua mempelai.
Agar kelak, saat Ananda Riri, ataupun Adinda Risti menemukan kekurangan-kekurangan
sang pasangan, maka keduanya tidak merasa kaget. Dengan pemahaman ini, sudah
sepatutnya setiap pasangan manapun di dunia ini, termasuk juga Ananda Riri dan
Adinda Risti, saling menerima kekurangan pasangannya satu sama lain. Juga
berusaha saling menambal kekurangan yang dimiliki oleh sang pasangan itu.
Dengan jalan saling menasihati dalam kebaikan, juga saling mengingatkan untuk
tidak melangkah pada keburukan.
“Mmmmmm...
Mmmmm....,”
Akang mulai kebingungan untuk melanjutkan kalimat. Rasa gugup mulai
meringkusnya lagi. Untuk mengurangi rasa itu, Akang mengarahkan pandangan pada
sekeliling hadirin yang menatapnya.
“Mmmm.
Mungkin hanya ini yang bisa saya sampaikan. Kurang lebihnya saya memohon maaf.
Namun. Kepada Bapak, Ibu, juga hadirin semuanya, satu yang perlu dikeketahui.
Pokoknya, setelah resepsi ini selesai, saya harus bertemu dan mengobrol dengan
Ananda Samsul atas kejahilannya terhadap saya ini.” Akang mengakhiri
sambutannya dengan sedikit tawa. Hadirin tersenyum kembali. Samsul menahan
tawa.
***
“Saya
duluan ya,” Akang menjabat tangan Samsul.
“Sip.
Oya, Ente masih lama kan disininya?”
“Santai
aja, saya libur dua minggu.”
“Oke,
kalo gitu kita lanjutin nanti aja ya ngobrolnya.”
“Sip!”
Akang menepuk bahu Samsul. Kemudian ia mengucapkan salam.
Akang
berjalan, bergabung dengan beberapa tamu undangan yang hendak berpamitan pada
kedua mempelai di pelaminan. Akang masuk barisan. Posisinya berada di yang
paling buncit.
Beberapa
orang mengikuti di belakang Akang.
“Akang
kapan pulangnya?” suara berat bertanya di belakang.
Akang
menoleh. Mukanya terkejut saat kedua matanya terhenti pada sebuah wajah.
“Eh,
Abah,” Akang meraih tangan sang penanya. Lalu mencium punggung tangannya.
“Kemarin sore, Bah.”
Akang
menggeser tatapannya hanya beberapa derajat ke samping Abah Haji.
“Ummi,”
Akang menghampiri Ummi, yang tidak lain adalah istrerinya Abah Haji. Kemudian menyalaminya
juga.
Akang
menggeser lagi pandangannya sedikit.
SERRRRR
Ada
hawa aneh pada jiwa Akang, saat matanya mendarat pada seseorang di hadapannya.
“Hena,”
Akang nyengir. Ia salah tingkah. Hena membalas senyuman Akang.
“Lho,
katanya Na ke pondok?” Akang bertanya. Sekedar untuk menyamarkan rasa
canggungnya. Kemudian Akang mengarahkan pandangannya juga kepada Abah Haji dan
Ummi. Mencoba meminta jawaban atas pertanyaannya.
“Masuk
pondoknya masih tiga minggu lagi, Kang,” jawab Hena.
“Ooooh,”
Akang manggut-manggut.
Akang
tidak tahu, apa lagi yang akan ia tanyakan. Beruntung, orang di depannya sudah
beberapa langkah meninggalkannya. Jadi ada alasan untuk dia meminta izin
melangkah duluan.
Akang
menyalami kedua mempelai. Ia menyempatkan sedikit bergurau dengan Riri, kawan
lamanya. Saat dirasa cukup, Akang langsung pamitan. Ia melangkah hendak
meninggalkan panggung pelaminan.
Namun
apa yang terjadi setelah itu.
“Akang,”
Ummi menahan tangan Akang.
Akang
menoleh. “Ummi. Ada apa, Mi?” Akang heran.
“Kita
foto bareng pengantin dulu,” Ummi menarik Akang kembali mendekat ke pelaminan.
“Ekhemm,”
Risti mendehem. Ia menatap Akang dan Hena bergantian. Akang menggaruk-garuk
kepala. Hena tersenyum menyembunyikan pipinya yang mulai memerah.
Ummi
dan Akang berdiri di sebelah kanan mempelai, sementara Abah dan Hena di sebelah
kirinya. Mendapati pemandangan langka itu, Samsul tidak mau ketinggalan. Ia
melangkah cepat mengambil posisi di samping fotografer. Ia ikut mengabadikan
melalui kamera hapenya.
JPREETT
Beberapa
kali kamera dan hape mengabadikan peristiwa langka ini.
JPREETT
“Maaf,
Ummi. Kita menyingkir dulu sebentar ya,” Risti memohon izin. Ia menarik lengan
sang suami. Riri tersenyum. Ia paham maksud sang bidadarinya. Mereka melangkah
ke samping. Sekedar menghilang dari dari jangkauan tangkap kamera.
“Akang,
Hena, merapat atuh,” Risti menggoda.
Ummi
dan Abah haji saling pandang. Ada makna dibalik pandangan orang tua Hena itu.
Ummi
menggeser posisi berdirinya. Sekalian menuntun Akang untuk ikut bergeser ke
tengah. Berdiri di depan bangku pelaminan.
Abah
haji dan Hena juga ikut menggeser posisi mereka.
Akang
dan Hena berdiri berdampingan. Ada sedikit jarak di antara mereka. Sebuah jarak
yang cukup untuk seorang berdiri jika masuk pada jarak itu. Akang menggaruk
kepala. Hena menunduk. Hanya satu yang sama. Wajah mereka sama-sama bersemu
merah.
JPREETT
Para
tamu undangan tersenyum mendapati hal ini. Di antara kerumuanan tamu yang
sedang makan, orang tua Akang ikut tersenyum.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar