Rabu, 22 Februari 2012

Komunitas Bismillah


Sebenarnya, aku ingin mencoba untuk tidak pulang terlebih dahulu ke kampung halaman. Sejauh ini aku berhasil dalam mewujudkan angan-anganku itu. Ini terbukti dengan tidak pulangnya diriku pada lebaran idul adha kemarin. Sebagai catatan, seumur hidup, baru kali pertama itu aku lebaran tidak di rumah.

Tapi, entah mengapa, tiba-tiba saja muncul keinginan untuk pulang kampung. Rindu itu. Rindu pada semua yang ada disana datang menghampiri diriku. Saat itu, hanya satu yang ada di benakku, yaitu aku harus pulang. Apapun yang terjadi, pokoknya aku harus pulang. Beruntung, kuliah sedang ada libur pasca ujian semester. Namun, masih ada dua pintu gerbang lagi yang harus aku dapatkan kuncinya agar aku bisa pulang, yaitu belajar di PPM dan kerja freelance di SMM. Tapi Alhamdulillah, Sang Maha Pengatur memudahkan segalanya. Tanpa banyak usaha yang rumit, akhirnya aku mengantongi dua perizinan itu sekaligus. Saat itu juga, aku putuskan, hari Minggu besok aku akan pulang. Titik.

Saat di kampung nanti, aku tidak ingin liburan ini tidak mendapatkan manfa’at. Aku ingin episode liburku yang ini berbeda dengan libur-libur yang terdahulu, yang terlalu banyak santai dan berleha-lehanya. Untuk itu, segera kubuat daftar prioritas kegiatan yang harus aku lakukan di kampung. Prioritas utama pada liburan ini adalah silaturahim. Selain silaturahim kepada keluarga tercinta, aku juga harus silaturahim kepada semua saudara, baik itu saudara dari pihak bapak maupun dari pihak ibu. Aku harus sambangi semuanya, tanpa terkecuali. InsyAlloh. Juga tidak lupa kepada teman-teman sintingku. Meskipun mereka sinting, tapi aku tetap merindukan mereka. Terlalu banyak kenangan masa kecilku dengan mereka. Dan semua itu, tidak akan pernah aku dapat melupakannya.

Prioritas selanjutnya adalah: aku harus menyuarakan isi hatiku pada para tokoh masyarakat kampungku, yaitu kampung Cipacung. Sudah cukup lama aku memendam unek-unek ini di dalam hatiku. Rasa-rasanya, ingin segera aku menumpahkan semuanya, agar sedikit bisa tenang perasaanku.

Semuanya bermula saat aku mendengar kabar kalau Komunitas Bismillah (nama kelompok pengajian remaja di kampungku) fakum. Komunitas Bismillah tidak aktif lagi. Dengan kata lain, tidak ada lagi pengajian dan pembinaan untuk kaum muda di kampungku. Aku tersentak ketika mendengar berita itu. Bagaimana tidak!? Ini merupakan sebuah masalah. Masalah besar yang akan menimbulkan dampak yang luar biasa berbahayanya. Dan, jika permasalahan ini tidak segera dicarikan solusinya, maka kehancuran kampungku hanya akan tingga menunggu waktu saja. Ini ibarat sebuah bom waktu untuk kehancuran kampungku tercinta. Bahkan tidak hanya itu. Lambat laun, virus ini akan merambat pada kehancuran sebuah bangsa. Lebih mengkhawatirkan lagi, akan merambat pula pada kehancuran satu-satunya agama yang diridhoi Allah SWT, yaitu islam tercinta. Yaa Allah, semoga terhindar dari yang demikian.
***

Sebelum Komunitas Bismillah fakum. Di kampungku ada empat kali pengajian dalam satu minggunya. Pertama adalah pengajian As-syifa. Pengajian ini untuk bapak-bapak. Pelaksanaannya adalah setiap Senin malam. Dimulai dari setelah isya dan selesai jam sepuluh malam. Kedua adalah pengajian Ar-rohmah. Pengajian ini khusus untuk kaum ibu. Dilaksanakan setiap hari Rabu pagi. Dari jam tujuh hingga jam sembilan. Pengajian ketiga adalah pengajian untuk remaja, baik itu kaum Adam ataupun kaum Hawa. Pelaksanaannya setiap malam Sabtu. Dari setelah isya hingga kurang lebih sampai jam sepuluh malam. Nama dari pengajian ini tidak lain dan tidak bukan adalah “ Komunitas Bismillah”. Kemudian pengajian keempat adalah pengajian umum. Siapapun boleh hadir di pengajian ini. pelaksanaannya setiap malam Minggu, setelah isya. Yang menyelenggarakan pengajian umum ini adalah Pondok Pesantren Nurul Hidayah. Sebuah ponpes yang ada di kampung halamanku.

Namun, karena Komunitas Bismillah tidak aktif lagi, otomatis, saat ini hanya tinggal tiga saja majelis ilmu yang ada di kampungku. Boleh jadi, lambat laun, ketiga pengajian tersisa akan hilang juga satu persatu. Ketika kaum remaja sekarang telah tumbuh menjadi kaum bapak dan kaum ibu. Naudzubillahimindzalik.
***

Terhitung, sudah dua hari aku berada di kampung tercinta. Hal ini berarti bahwa, hanya tinggal dua hari tersisa jatahku disini. Karena Kamis besok, aku harus sudah kembali ke Bandung lagi. Namun sayangnya, hingga detik ini, belum juga aku temukan cara untuk mengkomunikasikan kegundah gulanaan yang bersemayam di sudut hatiku. Yaa Allah, segeralah beri jalan itu. Sebuah jalan terang yang bisa memperbaiki semuanya. Mohon Duhai Allah.
***

Langit malam ini sangat cerah. Meskipun jumlahnya tidak banyak, bintang-bintang dilangit tetap berkerlipan dengan genit. Saat ini aku meniti langkah menuju rumah. Aku berjalan sendiri. Lantunan sholawat yang dikumandangkan di mesjid menjadi lagu pengantar perjalananku. Sengaja aku pulang, karena hendak mengambil peci yang tertinggal di kamar. Sebab, malam ini aku hendak mengahdiri pengajian As-syifa.

Sesampainya di kamar yang bercatkan warna biru langit, aku langsung mengenakan peci putih dan bercermin merapihkan diri. Tiba-tiba, terdengar ucapan salam dari luar. Segera kujawab salam itu, lalu keluar kamar hendak membuka pintu.

“ Ko,” ujar sang tamu sambil menyodorkan tangan kanannya padaku. Aku salami dia sambil menundukan badanku. Ternyata, sang tamu itu adalah salah satu pengurus pengajian As-syifa.

“ Ko, jadi MC untuk pengajian malam ini ya!” pinta pengurus pengajian. Untuk sesaat aku terkejut, karena permintaan ini datangnya sangat tiba-tiba sekali. Bagaimana tidak?! Pengajian akan dimulai hanya tinggal hitungan menit saja. Aku bingung saat itu. Apakah aku terima atau tolak saja tawaran ini? Ketika dipertimbangkan lagi, aku teringat dengan salah satu tugas yang harus aku kerjakan disini, dikampung tercinta ini. Yaa Allah, inikah jalan yang kupinta itu? Terima kasih Duhai Allah. InsyAllah, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Engkau berikan ini.

Aku tatap wajah pengurus pengajian yang usianya mungkin sama dengan usia bapakku. Tanpa ragu sedikitpun, aku jawab permintaannya,” InsyAllah, saya siap, Pak.”

Kami berjalan bareng menuju mesjid. Untuk mengusir keheningan selama perjalanan, kami mengobrol ringan. Setibanya di mesjid, aku disambut oleh puluhan pasang mata jamaah yang sudah dulu tiba. Aku seperti diteror oleh mata-mata itu. Tidak bisa kupungkiri, nyaliku menciut saat itu. Detak jantungku mendadak semakin cepat. Keringat dingin keluar perlahan di keningku. Guna mengurangi rasa gugup ini, sebisa mungkin aku tersenyum selebar-lebarnya yang aku bisa. Kemudian aku bagikan senyum itu pada jamaah As-syifa.

Aku hampiri bagian acara pengajian dan duduk di samping kanannya. Aku bertanya tentang konten acara, susunan acara dan ustad siapa saja yang mengisi. Setelah semuanya dirasa siap, pengajian segera dimulai.

Pengajian diawali dengan membacakan basmallah bersama. Aku buka pengajian dengan memberikan sedikit pengantar. Setelah itu sambutan dari tokoh masyarakat. Kemudian langsung pada acara inti, yaitu materi dari ustad yang pertama. Sedikit pemberitahuan untuk sidang pembaca. Di As-syifa, setiap pertemuannya ada dua materi dari ustad yang berbeda. Biasanya, masing-masing ustad diberikan jatah sekitar satu jam.

Ustad pertama membawakan materi tentang ilmu. Disela-sela ceramahnya, beliau berbicara tentang kehawatirannya terhadap para remaja wanita masa kini. Kebanyakan dari mereka mengenakan pakaian yang tidak menutup aurat. Saat mendengar ucapan itu, aku langsung sumringah. Mungkin, jika adegan yang sedang aku alami saat ini adalah sebuah film animasi. Saat ini ada sebuah lampu bohlam yang menyala terang di atas kepalaku. Yakin.

Ustad pertama menutup materinya. Aku langsung berdiri dan memberikan penghargaan pada sang ustad. Setelah itu, menyengaja aku diam sejenak. Dalam hitungan detik, suasana mesjid menjadi hening. Hening sekali. Setelah dirasa situasi dan kondisinya pas, dengan terlebih dahulu menghujamkan bismillah dalam hati, aku langsung angkat bicara.

“ Beberapa waktu yang lalu, saat menghadiri majelis pengajian, saya mendengar sang ustadnya bercerita. Beliau bertutur kurang lebih seperti ini. ‘ Dulu, saat saya masih remaja, mungkin sekitar dua puluh tahun yang lalu, saya pernah mengisi pengajian di sebuah kampung yang cukup jauh dari keramaian. Saat tiba di kampung itu, saya sangat terpesona dengan pemandangan yang ada. Bukan pemandangan alamnya yang membuat hati saya tiba-tiba menjadi sejuk itu. Melainkan pemandangan para remajanya. Mereka hilir mudik keluar masuk mesjid. Tangan-tangan indah mereka memeluk mushaf Al-Qur’an. Mereka semua mengenakan pakaian yang menutup aurat.

Saat magrib berlalu dan langit mulai menampakan hitamnya, lantunan ayat-ayat suci berkumandang di setiap rumah yang ada. Maha Suci Allah, sebuah pemandangan yang sangat luar biasa menurut saya.’ Setelah bertutur seperti itu, sang ustad diam sejenak, kemudian melanjutkan ucapannya.’ Beberapa saat lalu, takdir Allah menggariskan saya untuk mengisi pengajian di kampung ini lagi. Saat saya menginjakan kaki di kampung itu, rasanya sangat berbeda dengan ketika saya tiba dua puluh tahun lalu. Pemandangannya sangat jauh berbeda. Tidak ada lagi celotehan anak-anak yang sedang membaca Al-Qur’an saat malam tiba. Suara indah itu kini berubah menjadi suara tivi. Tidak saya temui lagi pakaian remaja yang sesuai syariat. Mereka berpakaian tapi seperti tidak berpakaian,’ ucap sang ustad dengan suara yang meninggi.

Fenomena ini merupakan sebuah masalah besar yang harus segera kita selesaikan bersama. Karena boleh jadi, kejadian serupa terjadi juga di tempat-tempat lain. Boleh jadi juga terjadi di kampung tempat kita dilahirkan dan dibesarkan. Dan, salah satu upaya yang harus kita lakukan untuk pencegahan agar masalah ini tidak bertambah parah adalah dengan melakukan pembinaan terhadap kaum muda kita semuanya. Mari kita lakukan andil semampu kita. Mari kita melakukan itu dimanapun kita bisa. Mampunya hanya di lingkungan kita, hayu! Mampunya hanya di kampung kita, hayu! Mampunya hanya di desa kita, hayu!

Mengapa kaum muda!? Jawabannya tidak lain karena yang akan menjadi penerus tokoh masyarakat, penerus pimpinan kampung, penerus pimpinan desa dan seterusnya dan seterusnya mau tidak mau pastilah kaum mudanya. Bisa kita bayangkan bagaimana keadaan masa depan suatu daerah jika kondisi kaum mudanya tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Dengan mengucap bismillah, mari kita berjuang bersama-sama!
” tutup sang ustad.

“ Tidak menutup kemungkinan, permasalahan serupa juga sedang terjadi di kampung kita tercinta ini. Jika benar demikian, sesuai dengan solusi yang diucapkan sang ustad dari cerita tadi, kita harus segera melakukan pembinaan kembali para remaja di kampung kita ini,” aku memberanikan diri untuk berucap seperti ini. sebagian jamaah manggut-manggut pertanda sepakat dengan apa yang aku ucapkan. Namun, aku juga mendapati beberapa jamaah lain yang menegakan badannya dan memasang wajah heran. Pandangan itu seakan berbicara padaku “ Tahu apa kamu tentang hal ini? Kamu masih kecil! Masih bau kencur! Kamu belum pantas untuk membicarakah permasalahan ini! Sudah, kamu belajar lagi saja sana! Persoalan ini biar kami yang urus!

“ Dan tidak bisa tidak. Langkah awal yang harus segera ditempuh adalah menghidupkan kembali pengajian remaja, yaitu Komunitas Bismillah, yang sedang mati suri. Ini merupakan tanggung jawab kita bersama,” aku kembali memberanikan diri untuk angkat bicara.

Setelah dirasa keluar semua apa yang ada dibenakku, segera aku persilahkan ustad kedua untuk membawakan materinya. Sang ustad beranjak, lalu duduk di mimbar. Beliau memuai ceramahnya. Semua mata jamaah tertuju padanya. Begitupun dengan diriku.

Yaa Allah, mohon kembalikan lagi Komunitas Bismillah. Mohon Yaa Allah.

Jumat, 27 Januari 2012

Laki-Laki Panggilan


Pada ruangan seukuran setengah lapangan bulu tangkis ini kami berkumpul. Kami duduk melingkar saling berhadapan. Laki-laki dan perempuan duduk terpisah. Jika diibaratkan sebuah lingkaran, belahan setengah lingkaran pertama adalah para kaum Adam, dan belahan sisanya adalah kaum Hawa. Di depan masing-masing dari kami terdapat sebuah meja kecil dengan tinggi hanya seukuran betis orang dewasa. Jadi kami duduk lesehan begitu saja.

Di atas meja-meja kecil itu masih terdapat tumpukan beberapa piring, bekas tadi kami makan. Juga ada banyak gelas berisikan es teh manis. Es teh manis itu ada yang masih penuh dan ada juga yang sudah kosong karena telah disedot oleh pemiliknya yang rakus karena kehausan sebab rasa pedas dari makanan. Ada juga lembaran kertas menu yang ditumpuk jadi satu.

Malam ini, kami, para pekerja part time, sedang ada rapat koordinasi dengan atasan kami di Super Mini Market, Da’aruut Tauhiid (SMM-DT). Ia, hampir satu bulan sudah diriku menjadi keluarga bahagia SMM-DT ini. Menurut pemaparan sang moderator, yang tidak lain adalah manajer SMM-DT itu sendiri, selain untuk memberitahukan seluk-beluk SMM-DT lebih jauh lagi, pertemuan ini dimaksudkan untuk mempererat tali persaudaraan diantara kami semua. Menurutnya juga, di SMM-DT itu tidak ada atasan ataupun bawahan. Disini kita semua sama, yang membedakan hanyalah amanah masing-masing yang berbeda, yang harus dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Kami manggut-manggut memperhatikan untaian demi untaian kalimat dari manajer kami, yaitu bapak Adam. Disela-sela itu, para supervisor yang juga hadir menyelipkan candaan mereka yang renyah namun tetap sopan. Candaan itu layaknya bumbu penyedap untuk pertemuan ini. Suasana terasa hangat. Hangat sekali. Kami benar-benar seperti keluarga saja.

Namun sebelum itu, kami dipersilahkan untuk memperkenalkan diri kami masing-masing. Mengingat karena di SMM-DT ini ada dua shift kerja, jadi masih ada beberapa orang yang belum saling mengenal sebab belum sempat bertemu dalam satu shift yang sama. Pun dengan diriku. Sejauh ini, untuk para lak-laki aku sudah hafal semua, tapi tidak untuk perempuannya. Hanya sebagian saja yang aku tahu.

Perkenalan dimulai dari kaum laki-laki dan diawali oleh orang yang paling dekat dengan pak Adam. Karena pekerja part time ini didominasi oleh mahasiswa, maka, selain menyebutkan nama dan motivasi masuk SMM-DT. Kami juga diharuskan memberitahukan asal kami dan konsentrasi studi yang diambil. Beberapa orang sudah memperkenalkan diri mereka. Sampai tiba giliran diriku.

Mangga Kang Niko, untuk memperkenalkan diri pada yang lain. Siapa tahu saja ada yang tertarik,” canda pak Adam mempersilahkan diriku. Teman-teman yang lain tertawa renyah karena candaan pak Adam.

Ehem, ehem,” dehem salah-satu supervisor. Saat ia mendehem, kudapati pandangannya melirik pada para perempuan.

Ehem, ehem. Perasaan suhunya tambah panas aja ya?” gumam sang supervisor lagi. Ia seperti sedang bertanya, tapi tidak jelas hendak bertanya pada siapa. Tangannya ia kibas-kibaskan untuk mengipasi wajahnya. Pak Adam hanya bisa tersenyum simpul memandangi rekan kerjanya itu.

Tanpa banyak ambil tempo lagi, dikhawatirkan akan muncul pemikiran-pemikiran aneh lain dari sang penggoda, dalam hal ini adalah sang supervisor, aku langsung angkat bicara.

“ Baik, sebelumnya saya ucapkan terima kasih pada Pak Adam yang telah memberikan kesempatan pada saya. Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamu’alaikum waraahmatullahii wabaraakaatuuh,” aku membuka perkenalan. Rekan-rekan membalas salam saya dengan berbarengan. Terdengar ada beberapa suara yang lebih keras dari yang lainnya. Jika aku perhatikan, nampaknya pemilik salah-satu suara itu adalah sang supervisor, alias sang penggoda.

“ Perkenalkan, nama saya Niko, lengkapnya Niko Cahya Pratama. Saya berasal dari Banten, lebih tepatnya dari Serang, lebih tepatnya lagi dari Anyer, lebih tepatnya lagi dari kampung Cipacung, RT dua puluh satu, RW nol tujuh. Rumah saya letaknya tepat di seberang lapangan sepak bola.”

“ Wah, wah, wah, wah. Omong-omong sebelah mana kuburan tuh?” celetuk pak supervisor. Tawa kembali pecah.

“ Wah, kebetulan di seberang rumah saya terdapat pemakaman umum, Pak,” jawab saya apa adanya. Mendengar jawaban ini, senyum pak supervisor berhenti seketika. Nampaknya ia tidak menyangka, pertanyaan isengnya memiliki jawaban. Sambil duduk mematung, mata pak supervisor melirik memandangi orang yang ada di ruangan. Kepalanya tetap diam, hanya bola matanya saja yang melirik kesana-kemari. Sayup-sayup terdengar suara tawa yang tertahan. Pak Adam ikut tersenyum.

Aku melanjutkan perkenalan. “ Saya kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia, mengambil jurusan pendidikan Geografi.”

“ Angkatan berapa?” tanya salah-satu rekan kerja perempuan reflek.

“ Saya angkatan dua ribu sembilan, Teh.”

“ Oh....” perempuan itu manggut-manggut.

Seperti biasa, sang penggoda melancarkan lagi serangannya. Aku tidak mau terbawa oleh arusnya . Aku tetap berusaha untuk melaju di arus tenangku. Namun, rekan-rekan yang lain kembali melepas tawa. Tidak terkecuali juga dengan pak Adam.

“ Motivasi saya masuk SMM ada banyak: pertama, ingin menambah tali silaturahim. Dengan bergabungnya saya dengan SMM ini, insyAllah, bertambah lagi orang-orang yang saya kenal. Kedua, memang tidak bisa dipungkiri, motif ekonomi juga ikut mendorong. Saya ingin mencoba membantu orang tua dalam membiayai kuliah saya. Ketiga, saya sangat suka menulis. Suatu hari nanti, saya ingin menulis cerita yang ber-setting-kan mini market. Nah, sambil bekerja di SMM, saya juga sekalian melakukan riset untuk bakal tulisan saya nanti. Yang terakhir, setahu saya, tim sepak bola yang terkuat di DT itu kan, SMM. Ini dibuktikan dengan juara satunya SMM di cabang futsal, pada event PPM championship tahun lalu. Ketika itu SMM mengalahkan tim saya, yaitu tim PPM di final. Dengan masuknya saya ke SMM, secara otomatis kan, saya menjadi bagian dari skuad tim sepak bola SMM juga,” ujarku panjang-lebar. Mendengar penuturan poin yang terakhir, yang tentang futsal, semua orang sorak gembira. Namun masih dalam batas kewajaran. Pak Adam, selaku kapten skuad tim futsal SMM tersenyum lebar padaku. Senyumnya itu seakan-akan berbicara padaku. Selamat bergabung di tim futsal SMM. Itulah makna dari senyum pak Adam.

Ia, memang seperti itulah ceritanya. Pada ajang tahunan PPM Championship. Sebuah perhelatan yang digelar setahun sekali oleh para santri PPM (program pesantren mahasiswa). Sebuah event yang melombakan beberapa cabang olah raga, dan diikuti semua lembaga yang ada di ponpes DT ini. Untuk perhelatan tahun lalu, juara umumnya memang diraih oleh tim PPM sendiri, namun semua itu terasa kurang lengkap, karena pada cabang futsal, PPM dikalahkan oleh tim SMM di partai puncak.

Kontan, mendengar penuturan point terakhir, sang supervisor beraksi. Ia bertingkah layaknya seorang pahlawan. Ia kibas-kibaskan kerah bajunya. Akulah pahlawan tim skuad SMM saat mengalahkan PPM di final. Akulah pemain terbaiknya. Ia, hanya aku. Bukan yang lain dan tiada yang lain. Itulah makna dari tingkahnya itu. Dari kejauhan, aku mendapati kedua lubang hidungnya bertambah besar saja. Rekan-rekan yang lain juga sepertinya sadar akan lubang hidung sang supervisor yang bertambah lebar saja itu. Hal ini terlihat dari tingkah mereka yang menertawakan sang pahlawan kesiangan itu.
***

Ada dua jenis pekerja di SMM. Pertama adalah karyawan, dan yang kedua adalah freelance. Bagi karyawan, mereka kebagian kerja setiap hari. Dalam satu minggunya, mereka hanya memiliki waktu libur satu hari. Ini berbeda dengan freelance. Untuk freelance, setiap orang memiliki jadwal yang berbeda. Ada yang dalam satu minggunya memiliki jadwal masuk empat hari, ada yang tiga hari, dan ada juga yang hanya dua hari saja. Ini bergantung pada waktu kosong yang mereka miliki di sela-sela waktu kulaiahnya. Aku, karena pada semester ini memiliki banyak waktu luang, SMM memberikanku jadwal masuknya empat hari dalam satu minggu. Tiga hari masuk shif pagi dan sisanya masuk siang.

Awal-awal bekerja aku sedikit kaget. Kaget karena sedikit kelabakan dalam mengatur waktu. Bagaimana tidak!? Pernah, aku dihadapkan pada posisi sulit. Kuliah, kerja di SMM dan belajar di PPM dalam satu hari yang sama. Pagi kuliah, siangnya masuk kerja dan malamnya ada materi. Aku kelabakan saat itu. jika ditanya apakah aku lelah? Jawabannya hanya satu kata. Benar. Tapi memang seperti itulah hidup. Bukan hidup namanya jika tidak begitu. Dan satu yang perlu di-ingat! Semuanya tidak akan pernah ada yang sia-sia. Suatu hari nanti. Entah itu esok, lusa, atau kapanpun itu, pasti ada manfa’at yang bisa diambil. Dan yang terpenting dari semua ini adalah: apapun yang dilakukan, niatkan semuanya untuk beribadah kepada Allah dan mengharap ridhoNya. Di jagat raya ini, tiada yang lebih menarik dari mendapatkan ridhoNya.
***

Seperti yang sudah dijelaskan di muka. Masing-masing pekerja freelance memiliki jadwal berbeda-beda. Jadwal itu merupakan jadwal wajib masuk. Namun, karena sebagian besar pekerja freelance itu mahasiswa, tidak jarang jadwal masuk mereka bentrok dengan waktu kuliah tambahan, atau tugas yang menumpuk atau kegiatan sejenis lainnya, yang berhubungan dengan dunia kampus tentunya. Jika sudah seperti itu, maka jalan keluarnya adalah meminta izin pada SMM untuk tidak masuk.

Untuk proses perizinan, tidak semudah meminta izin begitu saja. Tapi ada tahap-tahap yang harus ditempuh terlebih dahulu hingga bisa mengantongi karcis izin itu. Aturan pertama adalah, sang peminta izin harus memberitahukan pada yang mengatur jadwal, dalam hal ini adalah supervisor bagian jadwal kerja. Pemberitahuan itu diberikan minimal sehari sebelum hari H. Aturan kedua, setelah mengantongi karcis izin itu, kita diharuskan mencari pengganti yang bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan itu. dengan kata lain, sang pemohon izin harus mengeluarkan segenap rayuan gombal kepada rekan sesama freelancenya agar bisa menggantikan dirinya itu. jika sudah dapat pengganti, selesai sudah ritual perizinan. Tapi jika tidak dapat, sang pemohon izin tetap diberikan izin, hanya saja, kasihan sang supervisor. Ia harus memutar-mutar otak, membanting-banting tulang, memeras-meras keringat, membolak-balik ribuan buku referensi dan melihat peta kota Bandung dengan menggunakan kaca pembesar guna mendapatkan orang untuk mengisi kekosongan jadwal itu. Na’asnya, saat sang supervisor menghubungi diriku untuk mengisi kekosongan jadwal, ketika itu aku sedang ada waktu kosong. Dengan langkah yang berat, seakan tiba-tiba kekuatan gravitasi bumi semakin membesar, aku meniti kaki menuju toko kesayangan.
***

Waktu menunjukan pukul sebelas siang. Beberapa menit kedepan toko akan tutup untuk sementara. Beginilah salah-satu aturan di SMM. Sekitar lima belas menit sebelum adzan berkumandang, toko akan tutup guna melaksanakan kewajiban solat terlebih dahulu. Toko akan buka kembali setelah solat.

Pada waktu-waktu seperti ini, satu demi satu pengunjung mulai berkurang, karena mereka tahu SMM akan segera tutup. Ini ditandai dengan ditutupnya sebagian pintu toko. Saat itu aku sedang merapihkan pajangan barang di bagian non-food. Sedang asyik-asyiknya merapihkan tumpukan popok bayi dan pembalut untuk wanita, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku.

“ Ko,” panggil seorang laki-laki dari belakang. Aku menoleh pada sumber suara. Ternyata dia adalah rekan kerjaku. Tugasnya di bagian gudang.

“ Antum semangat amat majangnya?” tanyanya sambil mengarahkan telunjuknya padaku. Bibirnya tersenyum, hingga gigi-giginya terlihat dengan jelas. Warnanya sedikit kekuningan. Persis dengan warna baju yang ia kenakan. Serasi sekali. Aku tahu maksud pertanyaan itu. Nampaknya dia hendak menggodaiku karena tanganku sedang menggenggam perlengkapan khusus wanita. Semua itu diperjelas lagi dengan raut wajahnya yang tiba-tiba menyerupai se-ekor simpanse yang diberikan pisang setelah satu minggu tidak makan apapun.

“ Antum semangat amat majangnya. Hayu atuh istirahat dulu,” ujarnya dengan sedikit bersahabat kali ini.

“ Ia, bentar lagi, nanggung sedikit lagi nih,” jawabku sembari tetap merapihkan pajangan.

“ Jika Ane perhatikan, perasaan Antum hampir tiap hari masuknya, Ko. Antum jadwalnya banyak hari ya?”

“ Jadwal saya cuman empat hari aja, Kang. Tapi, beberapa hari ini saya dapat panggilan mendadak terus,” jawabku sekenanya.

“ Dapat panggilan?” tanyanya seakan ingin lebih yakin.

“ Iya.”

“ Wah-wah, berarti Antum laki-laki panggilan ya?!”

“ Iya,” jawabku reflek. Setelah menjawab, aku merapihkan pajangan lagi. Namun, seperti ada sesuatu yang janggal kurasa. Tapi apa? Aku berdiri mematung. Mencoba berpikir lagi mencari penyebab kejanggalan dalam hati yang kurasa. Tiba-tiba munculah tiga buah kata yang tergambar jelas di otakku. Tiga kata itu adalah: LAKI-LAKI PANGGILAN. Iya, laki-laki panggilan. APA!!?? Laki-laki panggilan. Segera aku menoleh pada rekan kerjaku yang tadi bertanya. Aku hendak meluruskan duduk perkara ini. Tapi sayangnya, rekan kerjaku itu sudah lenyap entah kemana. Mungkin dia sudah disihir menjadi sebungkus pembalut oleh nenek-nenek tukang sihir. Karena tepat pada posisi dia tadi berdiri ketika mengobrol denganku. Tergeletak sebungkus pembalut di lantai.
***

Rabu, 23 November 2011

Garuda di Dadaku


Dulu, aku pernah mesantren. Al-Hidayah nama ponpesnya. Ponpes ini letaknya tidak jauh dari rumahku, hanya diselingi lima buah kampung saja. Ponpes ini dibangun di atas sebuah bukit, tepatnya di halaman belakang rumah kyainya. Di bawah bukit tempat berdirinya Al-Hidayah ini, terhampar luas persawahan hijau. Agak jauh ke sebelah barat, laut selat sunda terlihat jelas dan indah. Menakjubkan. Aku sering memandangi lembayung senja di teras depan kobong (kamar santri) sambil merenung di sore hari. Nyaman sekali. Ingin rasanya sekarang aku melakukan hal itu lagi. Ingin sekali.

Tidak banyak santri yang menuntut ilmu di ponpes ini. Jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Namun, konon, para santri jebolan Al-Hidayah selalu jadi orang. Sejarah membuktikan. Sudah banyak santri asuhannya kyai Onan Zein, yaitu pimpinan ponpes ini, yang telah menjadi orang. Sejauh yang ku ketahui sekarang ini, ada yang menjadi ustad dan sudah mendirikan ponpes, ada yang menjadi anggota dewan, ada yang menjadi kepala desa, ada yang menjadi pengusaha, ada yang menjadi tokoh penting di masyarakat dan ada juga yang mengambil jalur keamanan daerah, tiada lain adalah jawara. Jawara Banten.

Banyak kenangan yang hingga kini masih melekat erat di kepalaku. Semua bayangan itu tidak pernah mampu membuat bibir ini menahan senyuman saat aku mengingatnya kembali. kenangan dan otakku sudah seperti pasangan pengantin baru. Inginnya selalu berdekatan. Mereka tidak ingin berpisah. Menempel terus. Satu diantaranya adalah cerita tentang bolos mengaji.

Di Al-Hidayah, jadwal mengaji dalam seharinya adalah tiga kali, yaitu: ba’da subuh sampai Mentari terbit, setelah ashar hingga menjelang waktu magrib dan sehabis isya sampai sekitar pukul sepuluh malam. Ada satu diantara waktu belajar itu yang sering aku tidak masuki, yaitu belajar sore. Mengapa demikian? Alasannya tidak lain dan tidak bukan adalah sepak bola.

Bermain sepak bola memang hobiku. Bahkan lebih dari sekedar itu. Aku merasa sepak bola sudah menyatu dengan jiwaku. Ia sudah menjelma menjadi belahan jiwaku. Jika tiba-tiba ada sebuah pesawat melintas di sekitar lapangan dimana ada diriku sedang bermain bola, dan secara mengejutkan pilot pesawat itu menebarkan gepokan uang yang trilyunan jumlahnya, aku tidak akan pernah tertarik untuk bergabung dengan para penonton yang sedang berlomba-lomba untuk mengambil uang yang berjatuhan itu. Dengan senang hati, aku akan tetap melanjutkan bermain bola.

Segala sesuatu itu pasti ada balasannya. Ada sebab, pasti ada akibat. Itu sebuah keniscayaan. Itu merupakan sunnatulloh, yang pasti adanya. Pun, dengan apa yang sering kulakukan ini, yakni bolos mengaji sore demi bermain sepak bola. Apa akibatnya? Apa yang kudapatkan dari prilaku itu? Adalah sindiran dari pak kyai saat pengajian malam atau paginya. Untungnya, tersangka dalam kasus ini tidak hanya diriku saja. Ada satu lagi santri yang dengan suka rela menguntit diriku dibelakang jika aku hendak bermain sepak bola. Seorang santri saraf itu berperawakan kurus dan memiliki tinggi hanya beberapa senti saja dibawahku. Namanya sangat bagus, yaitu Muhamad Firli Firdaus. Namun sayangnya, nama indah itu tidak sesuai dengan prilakunya selama ini. Satu dari kebiasaan jeleknya adalah ia sangat doyan telanjang bulat. Jika dia hendak mandi, mandi pagi ataupun sore, dengan tanpa ada sedikitpun rasa malu, ia keluar kobong dengan tidak sehelai benangpun yang menutupi tubuhnya. Ia berjalan tegap dan santai menuju kamar mandi. Hanya gayung kecil saja di genggaman tangan kanannya yang berisikan alat mandi miliknya. Ia melangkah tegap macam ultraman yang baru mengalahkan monster sebesar pohon jengkol yang sudah seratus tahun tidak ditebang-tebang. Pusaka miliknya bergoyang-goyang seiring dia melangkah, sudah serupa dodol garut yang sudah lembek karena kepanasan. Kami, para penonton pertunjukan spektakuler itu, hanya bisa menggelengkan kepala atas prilaku aneh santri tengik itu.

Pernah suatu ketika, santri tengik itu hendak mandi sore, hanya beberapa menit menjelang adzan magrib. Ia meluncur keluar kobong dengan tujuan kamar mandi. beberapa meter dari pintu kobong, tiba-tiba saja ia berdiri mematung. Ia tidak bergerak sedikitpun. Wajahnya mirip pemuda yang sinting karena tidak jadi menikah dengan sang wanita pujaannya. Tidak jauh di hadapannya, hanya sekitar tujuh meteran, berdiri sesosok pria tua bersorban dan berjenggot lebat. Ia adalah kyai kami. Dengan begonya santri tengik itu bersembunyi di balik tiang berukuran setengah besar badannya. Ia hanya menyembunyikan titit dan wajahnya saja dari pandangan pak kyai. Sebelah matanya dia sembunyikan, sebelah mata satunya dia gunakan untuk mengintip pak kyai. Pak kyai hanya diam memandangi santri tengik itu. Namun, diamnya itu mengandung sebuah arti. Tunggu tanggal mainnya!. Itulah arti dari diam beliau. Sejak saat itu, sang santri tengik tidak lagi berani telanjang bulat di muka umum (para santri). Santri tengik itu kini sudah waras. Semoga penyakit sintingnya itu tidak akan pernah kambuh lagi.

Balik lagi pada persoalan singgungan dari pak kyai untukku saat pengajian malam atau pagi tiba. Saat itu, kami, para santri, yang jumlahnya hanya lima orang saja, duduk menghadap pak kyai yang sedang membacakan dan menerangkan sebuah kitab kuning. Dihadapan kami terdapat sebuah meja kecil yang diatasnya kami mencoretkan tinta pada kitab yang dikaji. Masing-masing santri satu meja. Mejaku paling besar dan meja sang santri tengik paling mungil. Ia harus menundukkan badannya terlebih dahulu saat hendak mencoretkan tinta pada kitabnya. Meja mungil itu merupakan warisan dari santri yang sudah keluar. Tidak dinyana, betapa bahagianya santri tengik ketika ia mendapatkan warisan meja itu. Ia menciumi tangan sang juru selamat layaknya seorang tahanan yang menciumi tangan orang yang membebaskannya setelah berabad-abad lamanya mendiami rumah tahanan. Ia gembira sekali, seperti orang melarat yang tiba-tiba mejadi kaya raya.

Yang membuatku terheran-heran hingga sekarang adalah kemampuan pak kyai yang selalu mendapatkan bahan sindiran untuk para santrinya yang telah membuat suatu kesalahan. Menakjubkannya lagi, bahan sindirian itu selalu berhubungan dengan bab pelajaran yang sedang dibahas di pengajian saat itu juga. Bagi santri yang meras tersinggung, mereka hanya bisa diam menundukan wajahnya pada meja dihadapannya. Tapi tidak untukku dan santri tengik yang duduk tepat di samping kiriku ini. Barusan, kami disindir oleh pak kyai karena lagi-lagi, sore tadi kami tidak mengikuti pengajian. Saat menyadari pembicaraan pak kyai mengarah pada kesalahan kami tadi sore, santri lain mengarahkan padangannya pada kami, para tersangka. Ketika itu, aku menunduk sejenak, kemudian mengarahkan pandangan pada sesama terdakwa. Kami satu pemikiran. Saat aku menatap santri tengik itu, ia pun mengarahkan wajahnya padaku. Kami saling memberikan senyuman, lalu tertawa kecil yang ditahan-tahan. Kami menunduk lagi dan melanjutkan tawa yang tertahan. Dasar, para santri tengik, dimarahin malah tertawa. Kewalat tahu rasa kalian. Tapi mudah-mudahan tidak. Aamiin.

Untuk Abah Haji Onan (kyaiku yang SubhanAllah banyak ilmunya). Untuk yang kesekian kalinya, muridmu ini hendak memohon ma’af karena dulu sering membolos pada pengajian sore. InsyAllah, jika masih ada umur, lebaran nanti santrimu yang kurang ajar ini akan bersilaturahim lagi ke rumah Abah. InsyAllah. Sedikit gambaran saja untuk sidang pembaca, kyaiku itu memiliki rupa hampir sama dengan imam Khardawi yang terkenal itu. Jika tidak percaya, silahkan datang ke ponpes Al-Hidayah ke daerahku di Banten sana.
***

Selidik punya selidik, ternyata, membolos pengajian sore itu tidak berdampak buruk semua. Karena terlampau seringnya aku berlatih bola, kemampuan bermain bolaku semakin bertambah baik saja. Aku merasakan hal itu. Buahnya, keberanianku untuk mengikuti seleksi pada sebuah tim sepak bola dalam mengikuti berbagai kompetisi semakin baik saja. Kini aku tidak lagi merasa minder dengan kempuanku bermain sepak bola. Aku berani bersaing dengan para pendahuluku dalam dunia sepak bola.

Mendengar kabar ada seleksi tim sekolah untuk kompetisi antar SMA se-Banten, tidak banyak pikir lagi aku langsung mengikutinya. Alhamdulillah, aku diterima masuk skuad tim sekolah. Saat kompetisinya bergulir, sekolah kami menyabet medali perunggu. Lumayan. Saat ada seleksi tim kecamatan untuk pekan olahraga kabupaten (PORKAB), aku ambil bagian. Kerja kerasku membuahkan hasil lagi. Lagi-lagi, timku menyabet medali perunggu. Saat di semifinal, timku kalah dalam drama adu penalti melawan kecamatan yang kemudian menjadi juara pertama. Keberuntunganku dalam dunia sepak bola belum berhenti sampai disana. Aku bersama satu rekan setimku saat mengikuti PORKAB, terpilih untuk mengikuti seleksi masuk klub PERSERANG, salah-satu klub terbesar yang ada di Banten. Saat kabar yang membuat jantungku seakan melayang-layang diudara itu aku dengar, aku semakin giat saja dalam berlatih. Namun, disisi lain, semakin sering juga aku membolos pengajian sore. Alhasil, setelah beberapa bulan mengikuti alur seleksi yang ketat dan bersaing dengan para pemain sepak bola hebat lainnya, akhirnya aku dan rekanku terpilih menjadi skuad klub PERSERANG untuk mengikuti piala suratin atau kompetisi tingkat nasional dibawah usia delapan belas tahun. SubhanAllah, betapa bahagianya hatiku saat itu. Bahagia sekali.

Saat piala suratin bergulir, kami tinggal di sebuah hotel yang cukup nyaman untuk ditempati. Selain mendapatkan kebahagiaan karena menjadi bagian dalam sebuah kompetisi tingkat nasional, kami juga mendapatkan bayaran yang lumayan besar. Selian itu juga, setiap harinya kami mendapatkan makan gratis dengan menu yang super nikmat. Hidup kami ditanggung oleh klub. Enak sekali.
MasyaAllah, saat kompetisi bergulir, kutemui para pemain muda yang tidak jarang kujumpai di tv. Sungguh, aku sangat bangga bisa berkompetisi dengan para pemain muda Indonesia itu. Aku dan klubku masuk koran lokal. Meskipun timku terhenti langkahnya oleh PERSITA, namun aku tetap bangga karena telah ambil bagian dalam kompetisi ini. Akhirnya, klub yang mengalahkan timku menjadi juara pertamanya. PERSITA yang telah mengalahkan PERSERANG, menjadi jawara dan menggondol tropi suratin cup.

Tidak usah ditanya bagaimana tanggapan keluarga, teman, dan orang-orang yang mengenalku lainnya tentang prestasiku dalam sepak bola. Mereka semua membanggakanku. Aku gembira. Hanya saja, kegembiraanku belum sempurna, karena pak kyai terlihat datar saja atas prestasiku ini. Ada dua kemungkinan mengapa pak kyai seperti itu. Pertama karena kesalahanku yang menurut beliau aku lebih mementingkan sepak bola ketimbang mengaji sore. Dan kedua adalah karena beliau tidak hobi serta tidak suka bermain dan menonton sepak bola. Memang, pernah sekali saja beliau bertanya tentang hal itu. Namun, nampaknya beliau hanya sekedar ingin tahu saja. Hanya sebatas itu.

Aku berani memastikan, semua anak laki-laki yang bercita-cita menjadi pemain sepak bola profesional, mereka mendambakan untuk mengikuti kompetisi piala suratin. Mengapa demikian? Karena suratin cup ini ibarat jembatan penghubung antara pemain muda dengan dunia sepak bola profesional. Biasanya, ketika kompetisi ini bergulir, ada banyak para pemandu bakat yang memata-matai bibit pemain muda. Tidak sedikit dari para tunas muda itu, resmi dikontrak oleh klub saat kompetisi itu selesai. Mereka mendapatkan gaji yang cukup besar. Minimal, kalaupun ada para pemian yang kurang beruntung, biasanya mereka mendapatkan kesempatan untuk magang di sebuah klub profesional. Meskipun mereka tidak mendapatkan gaji. Hanya uang transport saja yang diberikan klub. Setidaknya mereka mendapatkan ilmu bermain sepak bola dari klub itu dan kemungkinan untuk masuk klub pada tahun depannya akan semakin besar, karena permainan mereka akan bertambah baik serta menejemen klub sudah mengenal mereka.

Pasca kompetisi piala suratin, aku mulai bimbang. Aku galau. Jalan mana kira-kira yang akan kutempuh untuk menuju masa depanku. Pepatah yang mengatakan jika hidup itu adalah sebuah pilihan, terasa kebenarannya olehku saat itu. Kerasa sekali. Hingga tiba pada satu titik dalam hidupku untuk menentukan trek mana yang akan ku pilih. Akhirnya, dengan berat hati, aku harus rela meninggalkan dunia persepak bolaan. Hati menuntunku untuk memilih jalan yang satunya. Jalan yang cukup hanya Allah dan diriku saja yang tahu. Berat terasa. Jika saja aku tidak ingat kalau diriku adalah seorang laki-laki, ingin rasanya aku lelehkan air mataku satu atau dua tetes saja. ingin rasanya. Namun aku tak bisa.

Tidak sedikit teman seperjuanganku di dunia sepak bola, menyayangkan keputusan yang aku ambil. Tidak hanya mereka, petinggi klub juga demikian. Mereka membujukku agar tetap menggeluti bidang sepak bola. Tapi, meskipun memang terasa berat, namun, keputusanku ini sudah bulat. Aku adalah seorang laki-laki. Aku harus berani mengambil keputusan dan siap untuk menanggung semua kemungkinan resiko yang datang. Pro dan kontra dalam hidup itu sudah biasa. Itu merupakan bumbu dalam kehidupan ini. Aku harus genggam erat pilihanku.
***

Sekarang, statusku adalah seorang mahasiswa yang merangkap sebagai santri. Jika digabungkan, menjadi santri mahasiswa. Ya, itulah diriku saat ini. Sebagai seorang santri dan juga mahasiswa, tugas dan kegiatan menumpuk itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Tidak jarang satu atau dua kegiatan berjalan pada waktu yang sama. Jika saja tidak pandai-pandai dalam mengatur waktu, habis sudah.

Pagi hingga siang, atau terkadang sampai sore, aku kuliah. Malamnya mengikuti materi di PPM. Semua rutinitas itu terasa membosankan. Tapi, memang seperti itulah hidup. Terasa pahit memang, tapi pahitnya itu pahit obat, yang nantinya akan menyembuhkan. Aku meyakini, pahit dan sakit dalam perjuangan itu sifatnya hanya sementara. Bisa jadi, pahit dan sakit yang dirasakan itu hanya dalam waktu semenit, sejam, sehari, seminggu, sebulan atau setahun saja. Namun, jika kita menyerah kepada rasa pahit dan sakit itu, maka pahit dan sakit yang sebenarnya akan kita rasakan pada esok hari. Rasa pahit itu akan terasa selamanya dalam sisa hidup kita. Mengerikan sekali.

Untuk mensiasati rasa bosan ini, aku sering menulis. Menulis apapun itu. Saat hati ini sedang sedih ataupun senang, maka aku segera menulis. Karena dengan menulis, aku seperti memiliki sesuatu tak nampak dalam jiwa ini yang mampu menetralisir emosi yang kurasakan. Saat sedih, jiwaku terangkat agar tidak larut dalam kesedihan itu. Ketika gembira, jiwaku teredam supaya tidak berlebihan dalam menyikapi kegembiraan itu. Seperti itulah peran menulis dalam hidupku.

Tapi terkadang, ada hiburan lain yang selalu membuat otak mumetku fresh lagi. Hiburan ini munculnya secara periodik. Bergantung pada even yang sedang dilaksanakan. Tapi, setidaknya setiap tahun pasti adanya. Apa itu? Adalah kompetisi sepak bola yang diikuti Indonesia, seperti: piala AFF, sea games, asian games, pra piala dunia serta kompetisi yang lainnya. Dan satu lagi, saat PERSIB bermain.

Beberapa hari terakhir ini, Indonesia digemparkan oleh ajang sea games pada cabang sepak bola. Bagaimana tidak? Persepak bolaan Indonesia kini mulai merangkak lagi. Permainan para garuda muda nampak memukau untuk ditonton. Ditambah lagi, langkah pasukan garuda muda kini telah menapaki babak semi final. Seluruh penduduk Indonesia menyambut gembira prestasi ini. Tapi tidak bagi sekelompok laki-laki kere yang menghuni asrama Darussalam. Terlebih-lebih bagiku. Mengapa? Karena jadwal pertandingan semi final itu bentrok dengan jadwal muhadoroh untuk santri ikhwan. Bimbang menyapa kami. Galau memeluk diriku. Mana yang akan kami pilih? Mengikuti kewajiban sebagai santrikah? Atau mendukung para garuda muda? Bingung! Namun, kebimbangan itu menguap saat muncul ide brilian dari tempurung kepala salah satu santri ikhwan.

“ Gimana kalau muhadorohnya kita minta dipindah ke malam Senin? Malam itu kan kita gak ada jadwal!” celetuk salah-satu santri. Ide itu layaknya angin segar bagi kami. Segera, kami menyusun strategi paling jitu agar kang Halim, selaku mudabir kami, menyetujui permohonan kami. Sialnya, para santri mendaulat diriku sebagai juru bicaranya. Aku dipaksa mereka untuk berbicara empat mata dengan kang Halim. Aku dimintai untuk mengeluarkan segenap kemampuanku untuk melobi kang Halim. Memang benar-benar sialan mereka semua. Jika saja aku tidak menyukai sepak bola, akan aku jitak kepala mereka satu persatu. Aku tidak akan berhenti menjitak hingga benjolan di kepala mereka sampai sebesar biji duren.

Prosesi perayuan dimulai. Selepas materi malam, aku menghampiri kang Halim. aku duduk sila di hadapan kang Halim. Dengan dada berdebar, aku sampaikan maksudku padanya. Kang Halim mengernyitkan dahi selepas mendengar pembicaraanku. Masya Allah, mendapati wajah itu, nampaknya upaya kami akan gagal. Satu detik berselang, wajah kang Halim berubah tersenyum.

“ Jika kesepakatan semua santri seperti itu, silahkan saja. Tapi awas, konsekuensinya adalah: Antum semua harus hadir ketika muhadoroh malam Senin!” ujar kang Halim. mendengar ujaran itu, aku gembira. Acara nonton bareng di kontrakan alumni santri PPM yang tidak jauh dari asrama akan benar-benar terlaksana.

“ Kalau sampai ada satu saja santri yang tidak hadir, maka yang bertanggung jawab untuk semua ini adalah Antum selaku Ro’isnya!” tutup kang Halim. Bujubune, aku menjadi tumbal untuk semua ini. Secara otomatis pikiranku tertuju pada semua santri ikhwan. Aku bisa melihat jelas wajah mereka satu persatu. aku juga bisa melihat jelas tempurung kepala mereka yang bentuknya mirip buah melon yang gagal panen. Awas saja kalau sampai mereka tidak hadir pada jadwal muhadoroh yang dipindah. Akan aku jitak melon gagal panen itu hingga benjolannya sebesar bola bilyard. Yakin.
***


Semi final usai. Garuda muda mencengkeram pasukan Vietnam. Keperkasaan pasukan Vietnam yang mewarisi semangat para pahlawannya saat memukul mundur pasukan Amerika, sirna sudah. Jiwa semangat itu hancur lebur dicabik-cabik oleh kuku-kuku tajam para garuda muda. Permainan garuda muda sangat memukau. Hebat sekali. Aku bangga pada kalian wahai pasukan garuda muda. Kami bangga pada kalian. Sungguh.

Saat melihat beberapa anak muda kebanggaan Indonesia itu sedang bermain, pikiranku kembali melayang pada zaman ketika aku masih menggeluti dunia sepak bola. Aku ingat betapa nikmatnya bermain diatas rumput hijau nan mulus. Aku ingat gemuruh penonton di tribun. Aku ingat teriakan sang pelatih yang mencoba memberikan intruksi. Aku ingat semuanya. aku ingat semua itu. Wahai kawan semuanya! Tahukah kalian! Beberapa dari pasukan garuda muda yang sedang bahu membahu berusaha membawa kejayaan kembali persepak bolaan Indonesia itu adalah lawan mainku saat mengikuti ajang piala suratin! Satu diantaranya adalah sang kapten kesebelasan. Siapa lagi kalau bukan Egi Melgiansyah!

Saat itu, takdir mempertemukan timku, yaitu Perserang, dengan timnya Egi, yakni Persita. Kami saling mengerahkan kemampuan demi kemenangan tim kami masing-masing. Hasilnya, Perserang kalah. Permainan Persita memang hebat. Langkah Perserang kandas di kaki pasukan Persita. Pada akhir kompetisi, bersama Persita, Egi dan kawan-kawannya menggondol tropi suratin cup itu.

Jika saja dulu aku mengambil jalan sepak bola, tidak menutup kemungkinan, sekarang aku sedang berada di tengah-tengah pasukan garuda muda itu. Aku menjadi bagian dari mereka. Aku mengenakan kaos kebanggaan merah-putih. Lambang burung garuda menempel di bagian dada. Berama Egi cs, aku berjuang memajukan persepak bolaan bangsa. Tapi, hatiku menuntunku memilih jalan lain. Jalan yang sekarang aku syukuri ini.

Wahai garuda muda, kami bangga pada kalian. Terus berjuang untuk kejayaan sepak bola Indonesia kedepannya. Wahai pasukan garuda muda. Meskipun jalan kita kini berbeda, tapi tujuan kita tetap sama, yaitu mengharumkan nama bangsa kita. Engkau berjuang dengan sepak bola, sementara aku dan para pejuang muda lainnya berjuang dengan keahlian kami masing-masing. Bismillah.
***

Pasukan garuda muda menuju partai puncak. Kami pasukan Darussalam muda mempersiapkan tempat sebaik dan senyaman mungkin untuk acara menonton final bareng. Lokasi yang dipilih adalah tempat seperti biasa, yaitu kontrakannya alumni santri PPM. Saat semuanya beres dan sesuai dengan harapan, kami baru menyadari, jika pertandingan final itu waktunya berbarengan dengan materi hadits yang diajarkan langsung oleh sang penanggung jawab PPM, yakni ustad Mardais Al-Hilali. Sadar akan hal itu, kami, para santri PPM aktif berembuk kembali. Mencari cara bagaimana agar kami tetap bisa menonton partai final itu. Akhirnya, melalui musyawarah santri ikhwan, keputusan yang diambil adalah mencoba memohon kepada ustad Mardais untuk mengundurkan atau mempercepat jadwal materinya. Lagi-lagi, para pemuda sinting itu mendaulat diriku yang harus menghubungi ustad Mardais. Aku yang harus melobi ustad. Dasar para santri tengik. Untuk urusan seperti ini saja, aku yang jadi sasaran. Lain lagi kalau urusannya menyoal makanan. Semuanya pasti mengajukan diri untuk menjadi yang terdepan. Yakin.

Jumat, 18 November 2011

Semangkuk Baso Panas


Sore ini bumi sedang basah. Baru saja hujan lebat reda. Tidak biasanya, hujan tadi sangat menyeramkan. Gemuruh petir menggelegar berulang kali. Layaknya bunyi klakson mobil yang saling bersahutan kala lampu merah berganti dengan hijau, namun mobil paling depan tidak juga maju karena pengendaranya tidak sadar kalau lampu sudah berganti warna. Angin bertiup sangat kencang, sampai-sampai gorden warna cokelat yang menutupi jendela ghurfahku berkibar-kibar macam sangsaka merah putih saat upacara peringatan kemerdekaan di kecamatan-kecamatan pada tujuh belas Agustus. Keadaan luar menulari suhu dinginnya pada suasana kamar. Ghurfahku kini menjadi dingin. Air raksa warna biru yang ada di dalam termometer putih drastis menurun.

Saking kerasnya petir menyambar, Mamat terbangun dari tidurnya. Ia membuka mata, lalu berkedip berulang kali. Nampaknya ia sedang berpikir, apa yang sedang terjadi sekarang ini? Kenapa ada suara keras berulang-ulang? Apakah Amerika sedang menyerang Indonesia? Atau Gunung Api Tangkuban Perahu sedang erupsi? Mamat masih tampak kebingungan. Sepertinya, nyawanya belum sepenuhnya kumpul semua. Dengan balutan selimut tebal kusam miliknya itu, ia serupa karung goni yang berisi jengkol seberat satu ton. Jika bukan karena kedipan matanya, semua orang yang melihat tidak akan tahu jika seonggok benda aneh itu adalah makhluk hidup. Petir kembali menggelegar. Mamat semakin cepat mengedipkan mata.

Beneran, ini tidak bohong. Selama lebih dari dua tahun tinggal di kota kembang, baru kali ini aku menjumpai hujan selebat dan seseram ini. Salah-satu temanku mengabariku lewat SMS. Katanya, di kos-kosannya, dia mendapati hujannya bercampur dengan butiran-butiran es kecil. Aku penasaran dengan berita itu, karenanya aku mengintip ke luar lewat jendela. Benar! Sesekali kujumpai butiran kecil es berjatuhan dari langit! Ini adalah untuk yang kedua kalinya aku melihat langsung dengan mataku sendiri hujan es. Menakjubkan!

Suhu semakin dingin saja. Langsung kukenakan jaket hitam tebalku. Aku duduk dipojokan kamar sembari menikmati suasana sore ini. Perlahan gemuruh hujan melemah. Sepertinya sebentar lagi hujan akan reda. Benar saja. tidak berselang lama, hujan lebat mereda. Hanya buih-buihnya saja yang masih melayang dan menari-nari di udara. Namun, suhu dingin masih enggan untuk pergi. Ia masih menetap disini, di ghurfahku.

Saat-saat dingin seperti ini, tiada kegiatan lain yang lebih nikmat selain makan yang hangat-hangat. Pikiranku melayang pada baso yang ada di pasar gerlong. Ingin rasanya aku segera menghangatkan tubuhku dengan baso itu. Betapa nikmatnya seandainya saja ada semangkuk baso panas dihadapan. Kuahnya masih panas, terlihat dari uap yang mengepul-ngepul diatas mangkuk. Saat dihirup uap yang mengepul itu, wanginya sangat pekat sekali. Air liur membanjir di mulut karena tidak tahan ingin segera menyantapnya. Dimasukan saos sambal sekitar lima sendok makan. Lalu dicampurkan pula setengan sendok makan air cuku. Kemudian sedikit kecap, dan disempurnakan dengan dua sendok kecil cabai ulek. Setelah diaduk, kuah basonya berubah menjadi warna merah kecoklatan. Air kuahnya semakin kental. Beberapa butiran baso kecil, satu buah baso besar, toge, sledri, sesin, dan bihun bercampur menjadi satu. Segera diciduk sedikit kuahnya. Setelah dicicipi, lidah ini langsung bergetar macam seorang bujang yang sedang melihat wanita cantik berjalan dihadapannya. Aroma hangat kuah itu menjalar keseluruh tubuh. Hangat sekali.

Baso yang paling besar di potong empat dengan menggunakan sendol dan garpu. Pada perut baso besar itu, terdapat daging cincang yang warnanya sudah menjadi cokelat. Salah-satu potongan baso besar itu diciduk lagi bersama toge yang layu karena kuah panas. Potongan baso dan toge itu bercampur dengan sedikit kuah. Saat cidukan itu masuk mulut. MasyAllah, nikmat sekali. Panas dan pedas bergumul menjadi satu. Semuanya disempurnakan oleh hembusan angin dingin sore hari. Luar biasa nikmatnya.

Aku tidak ingin kenikmatan yang luar biasa ini hanya kurasakan dalam hayalan saja. aku akan sesegera mungkin mewujudkan lamunan itu menjadi nyata. InsyAllah, sebentar lagi aku akan meluncur menuju pasar gerlong. Duhai mas baso pasar gerlong, tunggulah aku. Aku akan segera tiba.
***

Aku berjalan sendiri di jalanan geger kalong menuju pasar. Buih-buih air masih enggan untuk menghentikan tariannya. Buih-buih itu terombang ambing oleh angin lembut yang bertiup. Angin lembut itu menyapa wajahku yang tidak ditutupi. Buih air itu menempel pada mukaku. Aku usap buih itu. Segar dan dingin berbaur menjadi satu.

Beberapa motor berjalan pelan di jalanan. Pengendaranya mengenakan jas hujan, ada juga yang menggunakan jaket hujan. Sesekali, ada satu atau dua pengendara yang melajukan motornya dengan kencang. Jika diperhatikan, pengendara kencang itu tubuhnya tidak sedang terlindungi jaket atau jas hujan. Baju mereka basah kuyup. Aku bisa merasakan betapa dingin yang mereka rasa.

Aku tiba di pasar gerlong. Pada tempat parkir kendaraan, di salah-satu sudutnya, terdapat warung tenda yang beratapkan terpal biru. Kudapati ada beberapa pembeli disana. Empat orang laki-laki dan seorang perempuan. Kalau boleh menebak, jika dilihat dari penampilannya, sepertinya mereka semua adalah mahasiswa.

Tiga dari empat laki-laki itu duduk pada bangku panjang menghadap meja. Mereka sedang menambahkan saus dan kecap pada kuah basonya. Laki-laki tersisa masih mengobrol dengan mas baso. Sepertinya dia sedang mengeluarkan rayuan maut agar mas baso memberikan sedikit tambahan baso pada mangkuknya. Seorang perempuan duduk pada bangku panjang lain yang masih kosong. Sementara aku duduk di bangku panjang yang berhadapan dengan para pemuda yang sedang menikmati basonya. Bangku kami hanya dipisahkan oleh meja yang diatasnya terdapat beberapa botol saus.

Tiga pemuda di hadapanku saling berbisik. Sayup-sayup kudengar bisikan mereka. Jangan dianggurin tuh. Bisik salah-satu dari ketiga pemuda itu. Beberapa detik berselang, mereka bertanya sesuatu pada perempuan berbaju pink yang sedang menunggu giliran memesan. Perempuan itu menjawab. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak pertanyaan yang dilayangkan para pemuda itu padanya. Tidak hanya itu, rayuan-rayuan keluar dari mulut pemuda itu. Tidak heran kenapa mereka mengeluarkan jurus maut, karena perempuan berbaju pink itu memang cantik, imut lebih tepatnya. Tapi sayangnya, karena terlampau berlebihan, tampaknya perempuan imut itu merasa terganggu dengan godaan-godaan para lelaki hidung belang itu. Jangankan dia yang tergolong sebagai manusia perasa, dirikupun, yang ditakdirkan Allah sebagai seorang lelaki, merasa illfeel mendengar rayuan gombal mereka. Enek aku mengupingnya. Kalau saja hidup ini merupakan permainan video game, dan aku adalah yang memainkannya. Akan aku gerakan tangan mas baso untuk memukulkan periuk basonya pada tempurung kepala pemuda hidung belang itu. Biar tahu rasa mereka. Namun sayangnya, aku tidak bisa melakukan itu.

Tiba saatnya giliran perempuan berbaju pink memesan. Dia memesan baso dengan komposisi yang ia inginkan. Perempuan imut itu masih berdiri di samping kiri mas baso. Sepertinya dia mencoba untuk menghindar dari godaan para hidung belang yang mengganggunya. Mas baso membuat baso pesanan perempuan yang bediri disamping kirinya.

“ Campur Mas?” tanya mas baso padaku. Ia memutar kepalanya padaku. Mendengar pertanyaan itu, terbersit sebuah pemikiran dalam kepala. Rasa-rasanya, inilah saat yang tepat. Ia, benar, inilah waktu yang tepat untuk melakukan itu. Yaitu memberikan pelajaran berharga pada para lelaki hidung belang yang sedang rakus menyantap baso mereka.

Untuk sesaat aku terdiam di atas bangku panjang. Aku pura-pura berpikir menentukan komposisi baso yang hendak kupesan. Sesaat kemudian aku beranjak menuju mas baso. Aku berdiri disamping kanannya. Aku berdiri mematung sambil pura-pura mengamati tumpukan baso, mie kuning, bihun, dan beberapa sayuran di gerobak baso. Alarm dikepalaku berbunyi. Sekaranglah waktunya!

“ Campur Mas?” tanya mas baso sekali lagi.

“ Emmmm, komposisinya samain dengan Teteh yang ini aja, Mas,” ujarku pada mas baso. Ia melayani permintaanku. Sepintas, kudapati seorang perempuan berbaju pink yang berdiri di samping kiri mas baso melebarkan bibirnya. Perempuan imut itu tersenyum. Nampaknya ia memalingkan wajahnya padaku. Ia menatap diriku. Namun aku pura-pura tidak melihatnya.

Tiba-tiba saja, sesuai dengan harapanku, para pemuda gombal itu berhenti berceloteh. Mereka serupa burung pipit yang tidak sengaja menelan biji mangga. Mereka terdiam sejuta bahasa. Mereka membisu. Alhamdulillah, caraku berhasil. Aku senang.

Aku kembali duduk pada bangku panjang yang tadi kududuki. Namun kini, aku mengambil posisi agak mendekat pada para lelaki yang membisu dihadapanku. Aku santap baso bagianku dengan santai. Sambil melahap baso, dalam hati aku berbicara. Cara yang kalian tempuh tadi itu sudah kuno kawan. Sekarang sudah tidak berlaku lagi. Wanita itu lembut hatinya. Gunakanlah cara-cara yang lembut pula. Aku menyiduk lagi kuah basoku yang kental. Aku lahap lagi. Nikmat sekali.

Perempuan berbaju pink berjalan menuju bangku panjang sambil membawa semangkuk baso. Ia duduk pada bangku yang tadi ia duduki. Sepintas kudapati wajah perempuan itu berubah warna. Warna mukanya kini menjadi pink, persis dengan warna baju yang ia kenakan. Pink merona.

Untuk kalian para lelaki yang hanya bisa menunduk memandangi mangkuk baso yang kalian santap, gunakanlah cara-cara yang baik jika hendak menarik perhatian seoang wanita. Wanita itu lembut hatinya. Belailah hati mereka dengan cara yang lembut pula. Tapi, jika diriku boleh memberikan saran. Sebelum itu, lihat dulu kedalam diri kalian. Liat dulu niat kalian. Jika niatnya memang baik, maka berikanlah kelembutan itu. Tapi jika niat kalian salah, jangan sekali-kali untuk mengamalkan hal ini.

Dan untuk engkau wahai perempuan imut berbaju pink. Semoga Allah tidak mempertemukan kita kembali. Demi kebaikan kita bersama.
***