Rabu, 23 Maret 2016

Mencoba Lagi



Minggu kemarin, saya pernah mencoba masuk peneropongan bintang Bosscha, Lembang. Setelah mengayuh ribuan kali dari asrama tempat tingga saya di daerah Cihanjuang, Parongpong, menuju Bosscha, Lembang. Ternyata keinginan saya terhalangi oleh sebuah kata yang menggantung di pintu gerbang. “TUTUP”. Seperti yang sudah saya kisahkan pada tulisan sebelumnya, akhirnya saya balik dengan tidak berhasil ke tujuan. Meski sesungguhnya ada hal lain yang tetap saya peroleh selama perjalanan menuju keinginan itu. 

Sabtu pagi, selepas pengajian subuh, saya berniat menuntaskan rasa penasaran saya untuk menginjakan kaki di Bosscha. Saya kembali mengayuh sepedah. Ribuan kali kayuhan, bahkan mungkin lebih. Meluncur perlahan membelah jalan tanjakan menuju Lembang. Tubuh bermandikan keringat. Baju kuyup olehnya. Dan kemudian, lelah itu berakhir dengan sebuah senyuman. Akhirnya saya bisa tiba di keinginan yang sudah seminggu lalu saya idam-idamkan. Bosscha. Sekali lagi saya tuliskan, Bosscha. Ya, Bosscha. 

Sambil menyecap udara segar di sekitar Bosscha, terbersit sebuah perenungan. Sekiranya saya berhenti untuk mencoba lagi, mungkin tidak akan pernah ada episode kaki saya bisa menginjak tanah ini (Bosscha). Pelajaran kali ini adalah tentang mencoba. Tidak peduli berapa kali gagal, yang penting adalah terus mencoba. Lagi dan lagi. 

Teringat kisah tentang seorang wanita dengan sorang anak yang ditinggalkan suaminya. Meski keadaan seperti menghimpit kehidupannya, selama nafas masih berhembus, dia tetap harus melanjutkan hidup. Berbagai upaya dilakukan oleh wanita itu untuk menghidupi diri dan seorang anaknya. Satu dari percobaan itu adalah menulis. Dia menginvestasikan sebagian waktunya untuk menulis. Menulis cerita. Kata demi kata dia rangkai menjadi kalimat. Kalimat menjadi paragraf. Dan paragraf-paragraf itu saling mengait hingga menjadi sebuah buku. Setelah selesai, wanita itu mengirimkan bukunya ke sebuah penerbit. Lantas apa hasil dari banyak waktu, tenaga dan pikiran yang telah dia korbankan? Apakah ceritanya diterima penerbit lantas dicetak dan tersebar di toko buku? Kemudian banyak penikmat cerita yang memborong bukunya? Jawabannya adalah tidak! Naskah yang wanita itu tawarkan ditolak mentah-mentah oleh penerbit. Yang menyedihkan lagi, karyanya tidak dihargai, bahwa ceritanya dipandang sebagai kisah yang ngawur. Hanya sebuah hayalan belaka. 

Kemudian apa yang dilakukan oleh sang wanita itu dengan naskahnya? Apakah dibakar? Atau dibuang ke tong sampah? Atau hanya di simpan di pojokan sebagai penambah aksesoris rumah hingga tebal oleh debu? Tidak! Yang dia lakukan adalah kembali mengirimkan naskahnya ke penerbit lain. Meski jawabannya masih sama. Adalah penolakan. Kemudian, apakah dia menyerah? Ternyata tidak. Wanita itu kembali mengirimkan ceritanya ke penerbit lain lagi. Meski jawabannya tetap sama. Ditolak. Lalu dia kirim lagi. Dan ditolak lagi. Lagi dan lagi. 

Saat itu, dua belas kali sudah naskah ceritanya ditolak penerbit. Tapi apa yang wanita itu lakukan selanjutnya? Jawabannya sudah bisa ditebak. Adalah mencoba lagi. Usaha kerasnya berbuah hasil. Pada percobaannya yang ketiga belas. Ada satu penerbit yang menerima naskahnya. Singkat cerita, apa yang terjadi dengan naskah itu dan penulisnya? Naskah itu berubah dari buku yang ditolak berkali-kali oleh penerbit menjadi buku cerita terlaris di muka bumi. Dan si wanita penulisnya menjelma menjadi orang super kaya. Sekarang, buku itu kita kenal dengan buku “Harry Potter”. Dan wanita itu adalah “JK. Rowling”. Seorang wanita yang konon katanya, kekayaan dari royalti bukunya melebihi pundi-pundi milik Ratu Elizabeth. Ratu yang memimpin negara dimana dia tinggal, yaitu Inggris. Waw! Amazing saya pikir. 

Sering saya berandai-andai. Sekiranya JK. Rowling itu berhenti pada percobaan pertamanya, atau pada percobaan kedua, ketiga, keempat, atau bahkan pada percobaan kedua belasnya. Mungkin tidak akan pernah ada yang namanya buku Harry Potter. Serta tidak akan pernah kekayaannya melampaui kekayaan sang Ratunya. Mungkin hari ini dia masih bergelut dengan kehidupan sulitnya. 

Sekali lagi saya tuliskan. Pelajaran kali ini adalah tentang mencoba. Tidak peduli berapa kali kita menemui kegagalan. Tetap terus mencoba. Sebab kita tidak tahu, pada percobaan keberapa kita akan menemui keberhasilan. Boleh jadi saat kita menyerah pada percobaan kesekian, padahal keberhasilan sedang duduk manis menunggu kita di percobaan selanjutnya. Sayang sekali jika memang seperti itu. Kita berhenti hanya pada jarak satu langkah saja dari impian kita. satu langkah saja. 

Terus mencoba. Mencoba lagi. Lagi dan lagi. Bergerak menuju impian kita. Dia sedang duduk manis menunggu kita. Apakah akan kita sia-siakan dia? Tentu tidak kan?! Untuk itu. mari mencoba lagi. Lagi dan lagi.
***

Minggu, 13 Maret 2016

Tentang Perjalanan

                Selepas pengajian ba’da subuh, saya kirim pesan ke Pak Dandi. Beliau adalah atasan saya di kantor. Walau sebenarnya Pak Dandi tidak ingin disebut atasan.

                “Tidak usah lah panggil saya atasan. Kita kan rekan kerja. Kamu bukan bekerja di saya, tapi bekerja dengan saya. Panggil saja saya bapak, atau kakak,” ucap Pak Dandi ketika itu.

                (Pak, mau pinjem kunci kantor. Mau pinjem sepedah) isi pesan yang saya kirim.

                Sembari menunggu balasan, saya bersiap-siap untuk perjalanan ini. Tujuannya adalah observatorium Bosscha, Lembang.

                Balasan Pak Dandi tidak kunjung tiba. Setengah jam sudah saya menunggu. Supaya waktu menunggu ini tidak percuma, saya melakukan pemanasan. Untuk mempersiapkan tubuh supaya prima.

                Selepas pemanasan, saya mengecek hape. Balasan datang.

                (Saya simpan kuncinya di pot yang kosong. Nanti simpan lagi di tempat semula. Saya juga sedang sepedahan ini) Balasan pesan pak Dandi.

                Senyum di bibir saya merekah. Sebab yang ditinggu-tunggu telah tiba. Sepertinya balasan datang telat karena tadi pak Dandi masih sedang menggowes. Dan baru sempat membalas saat sedang istirahat.

                Tanpa ba-bi-bu lagi, saya langsung meluncur ke kantor. Lalu mulai mengayuh sepedah.

                Jam delapan saya memulai kayuhan pertama. Garis start tepat di depan mesjid daarul haliim. Dalam perjalanan, saya bertemu dengan banyak pesepedah. Tidak jarang sapaan kami berikan, atau setidaknya sekedar senyuman kami berikan satu sama lain.

                Menuju Lembang, lebih dari sembilan puluh persen jalanan menanjak. Paha serasa terbakar saat kaki mengayuh pedal. Setiap kayuhan berikutnya, seperti ada kobaran api baru yang bermunculan di otot paha. Terlintas keinginan untuk berhenti di tengah jalan, lalu balik lagi. Tapi semuanya pudar saat bayangan gedung teropong bintang menari-nari di tempurung kepala. Jelas sekali. Meski lelah, saya paksakan kaki untuk terus mengayuh. Terus dan terus lagi.

                Ada rasa bahagian saat pintu gerbang observatorium Bosscha terlihat di kejauhan. Rasa lelah ini terbayarkan sudah. Semakin dekat ke pintu gerbang, pelan-pelan senyum saya menguap. Terpampang jelas pada plang yang menggantung tepat di gerbang. Tertulis sebuah kata saja. Adalah “TUTUP”. Saya berhenti mengayuh. Hanya mematung di atas sepedah. Tatapanku tidak lepas dari kata “TUTUP”. Untuk meyakinkan, saya melangkah menghampiri pos satpam.

                “Buka, Pak?”

                “Tutup, A. Kalau Minggu tutup. Paling kalau Aa ingin masuk, hari Sabtu,” jawab pak satpam ramah. Tidak lupa dia memberikan senyum.

                “Waddduh, jadi gak bisa masuk nih Pak?”

                “Iya, A.”

                “Walau hanya sebentar, Pak.”

                “Iya, A. Gak bisa. Paling Sabtu depan kalau Aa mau.”

                “Bukanya Sabtu saja, Pak? Senin sampai Jum’at gimana?”

                “Iya, Senin sampai Jum’at juga buka, A. Kecuali Minggu.”

                Saya hanya manggut-manggut menatap bapak satpam. Kemudian berbincang ngalor-ngidul sekedar untuk mengakrabkan diri. Untuk menambah teman. Teringat ucapan seorang bapak alumni ITB tahun ’75 yang saya temui di Ciwidey, saat supervisi kebun di sana.

                “Beberapa faktor yang menunjang kesuksesan kita adalah: kecerdasan, rekam jejak dan jaringan,” ucap si bapak kala itu. Masih terngiang jelas kalimat itu. Sampai sekarang. Untuk itu saya memutuskan untuk menunda pulang, dan memulihkan tenaga sambil berbincang dengan bapak satpam.

                Point yang saya peroleh hari ini adalah: Ada banyak alasan bagi saya untuk kecewa pagi ini. Tapi, ada lebih banyak lagi alasan yang bisa membuat saya bahagia. Kuncinya adalah bersyukur atas apa yang telah kita lalui. Terlebih jika hasil itu diawali dengan usaha yang maksimal. Hari ini bukan tentang tiba di keinginan. Tapi tentang sebuah perjalanan. Saya memang tidak bisa melangkah memasuki gedung peneropongan bintang Bosscha. Tapi ada banyak hal menakjubkan yang saya temui dalam perjalanan menuju Bosccha. Dan saya bahagia.

***

Jumat, 05 Februari 2016

Kredibilitas, Keberanian dan Dakwah



Menuntut llmu adalah wajib bagi setiap muslim. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits nabi. Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan”. Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa definisi wajib adalah mendapat pahala jika dilaksanakan dan berdosa jika tidak. Artinya, siapapun yang mencari ilmu, insyaAllah akan mendapat pahala. Sebaliknya, kita akan mendapat dosa jika tidak belajar (menuntut ilmu). Apakah kita ingin mendapat pahala? Atau dosa? Itu bergantung pada pilihan kita. Mau belajar atau tidak.

                Setelah kita belajar, konsekuensinya kita akan tahu atau mengerti atau paham. Jika sudah demikian, maka kita termasuk pada golongan orang yang berilmu. Pertanyaannya, apakah tugas kita sudah cukup hanya sampai disitu saja? Tentu tidak. Imam Ghozali pernah mengatakan bahwa, semua orang celaka, kecuali yang berilmu. Yang berilmu celaka, kecuali yang mengamalkan ilmunya. Yang mengamalkan ilmunya celaka, kecuali dengan ikhlas. Kalimat indah dari ulama besar ini menjelaskan kepada kita bahwa tugas kita belum selesai hanya dengan tahu ilmu saja. Tapi masih ada tahapan selanjutnya yang harus kita lalui. Yaitu mengamalkan ilmu yang telah kita peroleh. Apa yang akan terjadi jika kita tidak mengamalkan ilmu yang telah dititipkan kepada kita? Sebuah hadits ini mungkin dapat menjawabnya. Orang yang paling keras siksanya adalah seorang berilmu dan tidak diberi manfaat oleh Allah dengan sebab ilmunya. Orang semacam ini adalah satu dari tiga orang yang menjadi bahan bakar neraka.

                Ilmu itu ibarat pohon, dan pengamalan adalah buahnya. Jika ilmu tanpa amal, itu seperti pohon yang tak berbuah. Hambar. Dalam sebuah syair disebutkan bahwa, orang alim yang tidak mau mengamalkan ilmunya, mereka akan disiksa sebelum disiksanya para penyembah berhala. Naudzubillah

                Katakanlah kita adalah seorang yang memiliki ilmu dan sudah mengamalkan ilmu kita. Kemudian kita menjadi orang yang alim. Apakah juga sudah cukup sampai disitu saja? Tentu tidak. Pengamalan ilmu kita belum selesai disana. Masih ada orang-orang yang harus kita ajak untuk menjadi orang baik. Mereka adalah orang-orang di sekitar kita. Terlebih keluarga kita. Sebagaimana termaktub dalam surat At-Tahrim ayat 6, Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Apakah kita ingin orang-orang yang kita cintai masuk ke dalam tempat menakutkan seperti itu? Jawabannya tentu tidak. 

                Kita butuh alat untuk menyampaikan ilmu kita kepada orang lain. Alat itu adalah komunikasi. Komunikasi merupakan jembatan tersampaikannya ilmu yang kita miliki kepada sasaran. Kita semua telah tahu, bahwa tugas kita hanya menyampaikan saja. Mereka ikut atau tidak dengan ajakan kita, itu mutlak hak Allah. Kita tidak bisa masuk pada ranah yang satu ini. Hanya saja, ada beberapa faktor yang patut kita beri perhatian lebih demi mendapatkan hasil maksimal dengan usaha penyampaian kita pada masyarakat. Agar lebih banyak orang yang mendapatkan hidayah Allah melalui jembatan yang kita buat. 

                Pertama, adalah kepercayaan orang lain kepada kita, atau yang lebih keren disebut dengan istilah kredibilitas kita. Jika kepercayaan terhadap kita baik, maka akan lebih terbuka bagi mereka dalam mendengarkan setiap kalimat yang kita keluarkan. Dan muaranya akan berpengaruh pada hasil yang kita inginkan. Yaitu mereka mengikuti apa yang kita dakwahkan. Sebaliknya, ketika kredibilitas kita kurang baik, atau bahkan tidak baik, maka orang-orang akan berpikir seribu kali untuk mengikuti apa yang kita sampaikan. Lebih mengkhawatirkan lagi, sekedar untuk mendengar kalimat-kalimat kita pun mereka enggan.
 
                Hal yang menentukan kredibilitas kita di mata orang lain adalah sikap atau akhlak. Saat akhlak keseharian kita baik, maka itu akan membangun kepercayaan orang-orang terhadap kita. Sebagaimana telah dicontohkan oleh sang teladan terbaik kita, yakni manusia yang paling agung, Nabi Muhammad SAW. Semua tindak tanduk dan laku lampah beliau, menjadikannya orang yang paling dipercaya di lingkungannya. Tidak hanya kawan, lawanpun mengakuinya. Semua kepercayaan itu tidak datang dengan sendirinya. Tapi dibangun dengan akhlak yang beliau tampakkan dalam sikapnya sehari-hari. Tentunya, ucapan sejarah agung ini patut menjadi contoh bagi kita untuk kehidupan kita. 

                Kedua, adalah kepercayaan diri terhadap diri kita sendiri. Dalam konteks keberanian untuk berbicara, atau menyampaikan isi dakwah. Terkadang kita grogi dalam berbicara. Terlebih berbicara di depan umum. Pendalaman pemahaman kita terhadap materi yang akan kita sampaikan sepertinya bisa membantu menambah percaya diri kita untuk memulai pembicaraan. Selebihnya, jam terbang adalah guru terbaik bagi kemampuan berbicara kita di hadapan banyak orang. Untuk itu, buang jauh-jauh rasa malu. Jangan pernah takut dengan kesalahan yang mungkin kita lakukan. Seperti sebuah kalimat sederhana yang keluar dari lidah bersih seorang ustadz, “Jangan malu, atau takut salah. Jika seperti itu terus, lalu kapan kita akan bisanya?!”. Demikian.
***

Rabu, 03 Februari 2016

Aku Ingin Seperti Al-Qur’an Bersampul Merah Itu



Aku ingin seperti Al-Qur’an bersampul merah itu, yang selalu kamu bawa kemana-mana, disimpan di dalam tas hitam kecil, dan dibaca setiap kali kamu menemukan waktu luang

Aku ingin seperti Al-Qur’an bersampul merah itu, yang selalu kamu buka selepas solat, dipandang dengan tatapan lembut, lalu kamu peluk dan cium mesra setiap menyudahinya