Jam kayu besar berdiri kokoh di
dekat mimbar. Bandulnya berayun-ayun. Jarum pendek menunjuk angka tiga. Jarum
panjangnya ada di angka sebelas. Beberapa menit lagi waktu ashar akan tiba.
Fajar dan Sabil duduk terkulai
di dalam mesjid, di dekat jendela. Mereka lelah. Seharian penuh kedua guru
bantu itu mengajar di MA Kepuh. Tenaganya terkuras. Otaknya menguap.
Sabil tampak sedikit lebih segar
dibanding Fajar.
“Gak kerasa, Jar ya.”
“Apa?” Fajar menoleh malas pada
Sabil.
“Perasaan baru kemarin lusa saya
pindah ke sini. Juga seperti kemarin kita masuk kuliah. Eh, sekarang sudah mau
lulus lagi,” jelas Sabil dengan pandangan menerawang ke mihrab imam.
Fajar menatap Sabil. Lalu ikut
menerawang seperti Sabil. Tapi yang ditatap bukan mihrab, melainkan jam kayu
besar. “Iya, ya. Waktu terasa cepat berlalu.”
“Dua bulan lagi kita sudah mau
wisuda. Setelah itu fokus ngajar. Kemudian nabung. Lalu nikah deh,”
Sabilmelirik Fajar. Lalu kembali menerawang pada mihrab. Ia tersenyum sendiri.
Mendengar kata menikah, rasa
lelah Fajar sedikit berkurang. Terlebih kata itu keluarnya dari Sabil. Sahabat
sekaligus sang kakak dari Dian.
“Kamu ingin punya istri yang
seperti apa, Jar?” tanya Sabil dengan tidak menatap wajah orang yang ditanya.
Dia masih terbuai dengan imajinasi pikirannya sendiri.
Fajar menoleh cepat pada Sabil.
“Istri?!” Ada nada kikuk dari
pertanyaan pendek Fajar.
“Iya,” ucap Sabil tenang saja.
“Mmm..., ya standar lah. Sama
seperti keinginan laki-laki pada umumnya.”
“Standarnya seperti apa itu?”
“Solehah. Pintar. Cantik.
Pokoknya sebangsa itu lah.”
“Mmhh,” Sabil manggut-manggut.
“Kalau kamu, Bil?” Fajar
bertanya balik. Ia lebih menegakan posisi duduknya.
“Sepertinya begitu juga. Sama
dengan yang tadi kamu sebutkan.”
Bandul jam kayu besar masih
terus berayun. Jarum panjang tepat menunjuk angka dua belas. Bersamaan dengan
itu, berdentang seperti bunyi lonceng tiga kali dari jam itu. Tinggal hitungan
menit, ashar akan segera tiba.
“Oya, kalau untuk adik ipar
nanti, kamu inginnya seperti apa, Jar?”
“Adik ipar? Suami untuk adik
saya, Rani, maksudnya?”
“Iya.”
Fajar berpikir sebentar.
“Apa ya?” Fajar menerawang
menatap langit-langit mesjid. “Pada intinya saya berharap laki-laki itu baik
dan bisa membimbing Rani ke arah yang lebih baik lagi. Mungkin itu.”
Sabil manggut-manggut. Dan
kembali menerawang ke arah mihrab imam.
Fajar melirik Sabil. Dia melirik
dengan diam-diam. Ingin sekali ia bertanya balik soal kriteria adik ipar yang
diingikan oleh Sabil. Tapi apa mau dikata. Nyalinya lenyap entah kemana. Fajar
tidak berani. Atau mungkin belum berani.
“Jar,” panggil Sabil membuyarkan
lamunan Fajar yang sedang memupuk keberanian untuk bertanya.
“Iya,” Fajar kikuk. Sepanjang
sejarah hidupnya, baru kali ini Fajar grogi saat berbincang dengan Sabil.
“Kalau untuk bayangan wanita
yang nanti akan di lamar, apakah sudah ada?”
“Hah?” Fajar kaget tersebab
pertanyaan Sabil. “Bayangan?”
“Iya.”
“Mmm...,” Fajar diam sebentar. “InsyaAllah sudah ada.”
“Kalau kamu, Bil?” Fajar bertanya
balik untuk menyembunyikan sikap kikuknya.
Sabil tersenyum mendengar
pertanyaan Fajar. Sabil memang seperti yang sedang menunggu kedatangan
pertanyaan itu.
“InsyaAllah sudah.”
Hening. Fajar diam karena
canggung dengan isi perbincangan ini. Sementara Sabil lebih karena sibuk dengan
pikiran di dalam kepalanya.
“Saya do’ain atuh nanti bisa
mendapatkan bidadari impian itu ya,” Fajar mendo’akan Sabil. Ia mengakhiri
do’anya dengan tawa kecil.
Sabil menggumamkan kata
“Aamiin”. Wajahnya bertambah cerah.
“Saya do’ain juga. Semoga kamu
bisa mendapatkan seorang wanita yang jauh lebih baik dari bayanganmu,” Sabil
menatap sahabatnya. “Kamu laki-laki baik, Jar. InsyaAllah akan mendapatkan wanita yang super baik pula.”
Fajar tersenyum. Isi kepalanya
dipenuhi oleh bayangan wajah Dian.
“Aamiin Yaa Allah,” Ucap Fajar
penuh harap.
Sabil menoleh pada jam. Ia
berdiri. “Hayu, Jar. Siap-siap!” Sabil melangkah menuju stand mikrofon di dekat mimbar. Bersiap untuk mengumandangkan adzan
ashar.
Fajar melangkah keluar. Ia
hendak mengambil wudhu. Sebab saat baru tiba tadi, ia tidak langsung mengambil
air wudhu bersama Sabil.
***
Vespa warna kuning melaju dengan
kecepatan sedang di jalan raya susur pantai Anyer. Helm nyentrik khas anak muda
membekap melindungi kepala Akang. Sarung tangan hitam yang membungkus kedua
tangan Akang mencengkeram kedua ujung kemudi. Jaket kulit membungkus tubuh
Akang. Tali tas cangklong membelit pundak sang bapak guru muda itu.
Hampir sepanjang perjalanan,
pikiran Akang hanya tertuju pada sebuah kata yang akhir-akhir ini seperti
menghantuinya. Adalah “Menikah”. Tidak di pondok, tidak di sekolah, tidak di
kampung, topik yang satu ini selalu menjadi bahan perbincangannya dengan para
lawan biara. Di pondok ada Fajar. Di kampung ada para kawan satu angkatan
semasa SD dulu yang telah menyempurnakan separuh agama mereka. Bahkan, ada di
antara mereka yang sudah memiliki anak. Dan tentunya juga di sekolah. Di tempat
Akang mengabdi itu, ada satu sosok guru yang sering kali mencandai Akang
perihalpernikahan. Seperti hari ini. Sesaat sebelum kepulangan Akang. Beliau
adalah guru pelajaran agama islam. Namanya Bapak Barta.
“Pulang, Pak?” sapa Akang pada
Pak Barat yang sudah duduk di jok motor bebeknya.
Pak Barta sedang melihat
hapenya. Lalu melirik pada sang penyapa.
“Eh, Pak Akang. Iya, ini baru
mau pulang. Pak Akang pulang juga?” Pak Barta melihat layar hape lagi.
“Iya, Pak,” Akang menaiki vespa
kuningnya. “Serius amat baca SMSnya, Pak.”
“Oh iya dong. Soalnya isi SMS ini
spesial dari sang bidadari Bapak di rumah,” Pak Barta menunjukan layar hapenya
pada Akang. Tapi hanya sebentar. Sepertinya sang bapak guru senior itu memang
tidak berniat untuk menunjukan isi SMSnya. Melainkan hanya untuk mencandai
Akang saja. Pak Barta tertawa.
“Kapan atuh Pak Akang segera
menikah? Apalagi coba yang ditunggu? Ngajar sudah. Usia mencukupi,” Pak Barta
memanas-manasi Akang. Ini adalah bukan untuk yang pertama kali. Jika dihitung,
entah untuk yang keberapa kali. Tidak terhitung.
Jika pembulian seperti ini
sedang terjadi, Akang hanya mampu tersenyum saja. Sesekali mengangguk
mengiyakan ucapan Pak Barta.
“Pak Akang, nih dengarkan,
katanya, jika ada pemuda yang umurnya sudah mencapai usia menikah,” Pak Barta
diam sejenak. Ia seperti sedang berpikir. “Mungkin seusia Pak Akang ini lah
kurang lebih. Belum menikah-menikah juga. Katanya itu mengindikasikan bahwa
pemuda itu tergolong kepada pemuda yang lemah.”
Pak Barta mengantongi hapenya.
Ia melanjutkan kalimatnya. “Ada beberapa indikasi kelemahan,” kata sang guru
pelajaran agama islam itu. “Pertama.” Pak Barta mengacungkan jari telunjuknya.
“Katanya pemuda itu lemah iman. Dia tidak percaya dengan Ke-Maha Kaya-an Allah.
Biasanya alasan mereka itu kan selalu menyoal materi.”
“Kedua.” Pak Barta mengacungkan
dua jarinya. Telunjuk dan jari tengah. “Katanya pemuda itu lemah mental.
Keberaniannya lembek seperti bubur. Alasannya belum siap-lah atau apa-lah.”
“Ketiga.” Pak Barta
memberdirikan jari manisnya untuk menemani telunjuk dan jari tengah. “Mereka
lemah komunikasi. Komunikasi dengan siapa? Tentunya dengan orang tua. Mereka
berdalih belum ada restu dari orang tua. Padahal mencoba meminta izin saja
sebenarnya belum pernah.”
“Terakhir.” Jari kelingking
sekarang ikut berdiri. “Ini yang paling menyeramkan,” Pak Barta sedikit
mencondongkan wajahnya kedepan. “Adalah lemah syahwat!” pak Bara tertawa
renyah. Entah memang ada yang lucu, atau sekedar untuk mengejek Akang.
Akang nyengir.
“Tuh, silahkan direnungkan di
rumah. Kira-kira, Pak Akang masuk kategori lemah yang mana,” Pak Barta
melanjutkan tawanya.
Pak Barta memperbaiki posisi
duduknya pada jok motor. Ia bersiap untuk menyalakan mesin tunggangannya.
Pak Barta memencet tombol
starter. Mesin motor menyala.
“Pak Akang. Sekiranya Bapak
menunggu benar-benar sudah siap, maka sampai kapanpun Pak Akang tidak akan
pernah menikah. Sama dengan saya juga. Seandainya dulu saya menikah menunggu
untuk siap seratus persen dulu, maka hingga detik ini saya tidak akan pernah
menikah,” Pak Barta menginjak gigi satu.
“Pak Akang. Nomer satunya ada
niatan saja dulu. Kemudian yakinkan pada diri. Setelah itu, dengan sendirinya
kesiapan juga akan mengikuti,” Pak Barta memberi senyum perpisahan. “Saya
duluan ya. Sudah tidak sabar nih untuk melihat bidadari di rumah,” Pak Barta menutup
dengan sebuah tawa.
Motor Pak Barta melaju pelan ke
luar gerbang sekolah. Mata Akang mengikuti kepergian sang guru yang kenyang
dengan pengalaman itu. Setelah itu Akang diam. Diam mencoba untuk merenungkan
setiap kalimat yang keluar dari mulut bertuah Pak Barta.
Sepanjang perjalanan Akang masih
memikirkan obrolan dengan Pak Barta itu.
Vespa masih melaju dengan
kecepatan sedang.
Sebelum perbincangan di tempat
parkir sekolah tadi, sesungguhnya Akang sudah mulai serius untuk memikirkan hal
sakral ini. Dan pasca perbincangan tadi, Akang menjadi lebih yakin untuk
memulai langkah.
Akang kembali teringat dengan
ucapan Pak Barta beberapa waktu lalu.
“Pokoknya bilang saja dulu pada
orang tua. Itung-itung sebagai pemanasan. Nanti, ketika Pak Akang sudah
benar-benar meminta restu untuk yang sebenarnya, maka Bapak dan Ibu tidak kaget
lagi mendengarnya.”
Akang meyakinkan diri.
Sepertinya dia akan mampir dulu ke rumah. Semoga saja nanti akan ada kesempatan
baginya untuk mengutarakan maksud hatinya pada sang bapak dan sang Ibu.
Vespa masih melaju. Akang menarik
gas lebih dalam. Si kuning berlari lebih cepat.
Akang berpikir. Mencoba mencari
kalimat pembuka apa yang akan ia gunakan dalam perbincangannya nanti dengan
orang tua. Dan, di antara itu, muncul bayangan seorang wanita yang tergambar
jelas di kepala Akang. Bayangan seorang wanita yang cantik jelita. Siapa lagi
kalau bukan Anita.
Gas semakin dalam ditarik. Vespa
kuning berlari cepat.
Siang menjelang sore ini, wajah
langit Anyer tampak cerah. Kulitnya
masih biru. Beberapa awan cirro cumullus
menghiasinya. Awan-awan itu berbentuk seperti sisik-sisik ikan. Di titik lain,
ada juga yang menyerupai sekumpulan domba yang dilihat dari atas. Awan-awan itu
putih. Terang bercahaya.
***
Jam setengah enam sore. Kaki
langit perlahan menjingga.
Bapaknya Akang sedang duduk sila
di teras samping rumah. Beliau duduk menghadap langit jingga. Tangannya
memegang sebuah buku tebal yang sedang ia baca. Sebuah kaca mata membantu sang
Bapak yang sebagian rambutnya sudah tumbuh uban itu dalam memperjelas susunan
kata yang dibaca. Teduh sekali wajah Bapaknya Akang sore ini. Berbeda dengan
wajah Akang yang sedang duduk beberapa jarak di belakang sang Bapak.
Sore ini Akang sudah mengenakan
sarung. Tapi pakaian atasnya masih kaos. Tidak berbeda dengan sang Bapak. Akang
juga memegang sebuah buku. Hanya saja, buku itu bukan untuk Akang baca.
Melainkan hanya sebuah kamuflase untuk tujuan Akang yang sebenarnya. Apa itu? Adalah
mengobrol soal masa depan yang sudah sedari siang mengiang-ngiang di kepalanya.
Namun sayang seribu kali sayang. Setengah jam sudah terlewat, belum juga Akang
berani menyuarakan maksudnya pada sang Bapak.
Akang mulai kesal. Kesal pada
dirinya sendiri. Kenapa dia tidak mampu? Apakah memang benar apa yang telah
dikatakan oleh Pak Barta tadi siang. Bahwa dirinya telah mengidap sebuah
kelemahan di antara beberapa kelemahan mengapa dirinya tidak kunjung juga
menikah. Boleh jadi dia mengidap penyakit lemah komunikasi? Atau lemah mental?
Dan tidak menutup kemungkinan juga mengidap penyakit lemah iman?Ah!
Yaa Allah.mohon berilah kemudahan. Lirih Akang dalam hati.
“A,” sang Bapak memanggil anak
laki-laki sulungnya.
“Iya, Pak,” jawab Akang lemas.
Bapaknya
Akang menutup buku tebal di tangannya. Ia melepas kacamata dari wajahnya.
“Kapan Aa mau menikah?”
Akang melotot. Ia tidak percaya.
Secepat inikah Allah mengabulkan do’a yang barusan ia panjatkan.
Separuh tubuh matahari sudah
tenggelam di garis horison. Kaki langit barat berwarna jingga.
Angin sore bertiup lembut. Dan
Akang pun tersenyum.
***