Mentari condong ke sebelah barat.
Langit mulai meredup.
Geliat
puluhan ikan mas menyebabkan suara gemericik air di kolam depan rumah. Pintunya
terbuka. Putri, sedang duduk di ruang tamu. Menunggu kedatangan Adam, sang
suami tercintanya. Untuk mengisi kekosongan waktu, Putri membaca buku.
Deru
mesin motor menenggelamkan gemericik air, lalu masuk melalui pintu. Putri
menyunggingkan senyuman. Segera ia menutup buku di tangannya. Kemudian beranjak
menghampiri pintu.
Adam
memarkirkan si putih (motor pespa kesayangan) di halaman depan. Bagai
permaisuri yang menyambut rajanya, Putri berdiri di depan pintu. Senyumnya
melebar. Wajahnya berseri. Sebuah perayaan selamat datang yang mampu membuat
gunungan rasa lelah di dada Adam menguap seketika. Adam membalas senyuman sang
istrinya.
Adam
melangkah menghampiri sang bidadarinya. Tak lepas senyum di bibir Adam.
Putri
menyondongkan tubuhnya. Ia cium punggung tangan suaminya. Sejurus kemudian,
Adam membalas dengan sebuah kecupan lembut pada kening Putri. Ia mengelus
lembut kepala sang istri.
Putri
meraih tas di tangan sang suami. Sambil berpegang tangan, sepasang pengantin
baru itu melangkah masuk rumah.
Adam
merebahkan tubuhnya pada sofa empuk. Sementara Putri melangkah ke dapur, hendak
mengambilkan air minum.
Adam
menarik nafas panjang. Oksigen menelusup membelai paru-paru. Kesegarannya
bagaikan siraman hujan pada tanah gersang. Adam menarik nafas lagi.
Pandangannya ia arahkan pada tas yang tergeletak di sampingnya. Tanpa pikir
panjang, Adam membuka tas itu. Ia mengambil sebuah tongkat kecil yang pada
ujungnya tertempel sebuah pernak-pernik berbentuk hati. Menatap tongkat kecil
itu, Adam kembali tersenyum. Tapi senyum itu segera menghilang saat Adam mendengar
derap langkah mendekat. Segera ia menyembunyikan tongkat mini di balik
badannya. Diapit oleh sandaran sofa dan punggunnya. Adam pura-pura bertingkah
seperti sedia kala.
“Minum
dulu, A,” Putri memberikan gelas pada sang suami. Adam menerimanya, dan langsung
meneguk hampir setengah gelas air.
Putri
duduk di samping Adam. Ia mengelus dahi sang suami, mencoba menghapus debu
jalanan yang masih menempel. Kemudian merapihkan tatanan rambut sang jagoannya
itu.
“Neng,”
ucap Adam lirih.
“Iya,
A,” jawab Putri sesaat setelah merapihkan rambut sang suami.
“Aa
punya hadiah untuk, Neng,” Adam tak memulai obrolan dengan basa-basi.
“Hadiah
apa A?” tatap Putri teduh.
Adam
mengambil tongkat kecil di balik punggungnya. Ia serahkan tongkat berujung
simbol hati itu pada bidadarinya.
Putri
menatap tongkat aneh di hadapannya dengan heran. Keningnya melipat. “Apa ini
A?”
“Tongkat
impian,” jawab Adam pendek.
“Tongkat
impian?” Putri membolak-balik tongkat mini di tangannya.
“Iya,”
Adam membumbui jawabannya dengan senyuman. Putri melihat sang suami dengan
tatapan bertanya.
“Katanya,
siapapun yang memiliki tongkat impian ini, dia bisa mewujudkan apapun mimpinya.
Kening
Putri masih melipat. “Ini punya Aa?”
“Iya,”
Adam mengangguk lembut, “Dan sekarang ini jadi milik Neng.”
“Kenapa
dikasihkan ke Neng?”
Adam
merubah posisi duduknya. Ia lebih mendekat pada wanita cantik di hadapannya.
“Karena Aa gak butuh tongkat mimpi ini. Sebab Aa sudah bisa mewujudkan mimpi
terbesar Aa,” jawab Adam lembut. Lembut sekali. Ia mengusap mesra kepala Putri.
“Neng
tahu apa mimpi terbesar Aa itu?”
Putri
menggeleng pelan.
“Mimpi
terbesar Aa itu adalah menjadi suami dari seorang wanita yang paling Aa
sayangi. Dia adalah wanita paling cantik di jagat raya ini. Wanita paling baik
di seantero dunia. Seorang wanita yang sekarang sedang duduk manis di hadapan
Aa,” Adam mendekatkan wajahnya pada wajah Putri. Ia kembali mengelus kepala
sang istri.
Putri
tersenyum malu-malu. Hatinya meleleh. Lipatan di keningnya telah sirna.
“Kalo
gitu Neng gak mau terima hadian ini,” Putri menatap Adam.
“Kenapa?”
giliran kening Adam sekarang yang melipat.
“Karena
Neng juga sudah mewujudkan impian terbesar Neng. Jadi Neng gak membutuhkan
tongkat ini lagi,” Putri menyeringai manja.
Adam
melihat bidadarinya dengan tatapan bertanya.
“Mimpi
tertinggi Neng itu adalah menjadi istri dari seorang laki-laki yang sangat Neng
cintai. Seorang laki-laki gagah yang baik hati. Tapi, meskipun dia gagah dan
baik, dia itu orangnya gombal,” Putri tersenyum meledek. “Gombal banget malah,”
Putri mengacak-acak rambut Adam yang beberapa menit lalu telah ia rapihkan.
Adam
tersenyum menyeringai. Kedua tangannya memegang pundak wanita cantik di
depannya. Ia mendekatkan wajahnya pada muka sang istri.
“Aa
mau ngapain?” Putri mencoba menjauh. Tapi sayang tak bisa, sebab kedua tangan
kokoh Adam sudah mengunci tubuhnya.
“Mau
mencium Neng.”
“Gak
mau! Aa belum mandi. Bau...”
Gemericik
air kolam terdengar lagi. Mentari sore tampak malu-malu. Ia sedang bersembunyi
di balik awan putih.
***