Empat hari yang terlewat, interaksi Akang dengan buku-buku kuliah semakin intens saja. Tidak sedikit buku yang ia lahap habis demi kemudahannya dalam mengisi setiap soal yang diberikan para dosen. Dengan kesibukan itu, Akang sendiri tidak begitu sadar jika hari ini adalah hari Kamis. Empat hari sudah Akang bergelut dengan soal ujian. Besok, tidak ada jadwal ujian. Ada jadwal lagi nanti hari Rabu dan Kamis depan.
Hari
Jum’at besok memang tidak ada jadwal ujian. Tapi anehnya, beban pikiran yang
dirasakan Akang malah lebih besar ketimbang empat hari lalu, saat ia bergelut
dengan soal ujian. Penyebabnya hanya satu. Yaitu nasib kepulangannya untuk
menghadiri acara remaja di kampungnya. Acara itu akan berlangsung Sabtu malam.
Tepatnya setelah isya. Jadi, jika dihitung-hitung, acaranya hanya tinggal dua
biji hari lagi. Sedangkan sampai sekarang. Hingga detik ini. Kondisi dompet
Akang sedang sekarat. Itulah aktor utama yang sekarang membuat kepala Akang
muter-muter seperti seekor kucing yang sedang ingin mencabut plastik yang
tersangkut di kepalanya.
“Kenapa,
Kang? Mukanya kusut gitu? Pusing mikirin soal ujian ya?” Mamat menoleh pada
Akang yang sedang duduk menghempaskan punggungnya pada dinding kamar. Mamat
kembali melihat buku di hadapannya.
“Gak
kenapa-kenapa, Mat,” jawab Akang lemas sekali.
“Mmmh,”
gumam Mamat sambil tetap menatap buku.
Jika
melihat keadaan dompet yang seperti ini. Satu-satunya jalan agar Akang tetap
bisa pulang kampung mungkin bergantung kepada orang yang sedang membaca buku di
hadapan Akang, yaitu Mamat. Ya, satu-satunya jalan kini hanya tinggal itu.
Akang meminjam uang untuk ongkos, kemudian dibayarnya nanti pas tanggal muda. Tapi,
itupun jika Mamatnya sedang ada uang. Jika tidak!
Baiklah.
Biar perkaranya menjadi jelas, Akang segera mencoba peruntungannya. Sedikit
demi sedikit Akang mulai mengumpulkan nyali. Pelan-pelan ia melepaskan
sandarannya dari dinding. Akang menegakan duduknya, agak sedikit mendekat pada
Mamat.
“Mat,”
panggil Akang ragu-ragu.
“Mmmh.”
Mamat masih membaca buku.
“Mat,”
panggil Akang lagi.
“Hhhm.
Iya,” Mamat menoleh pada Akang.
Akang
nyengir. Seperti sengaja ingin menunjukan susunan giginya.
“Ada
apa, Kang?”
Akang
nyengir lagi. “Anu, Mat. Saya mau minta tolong. Boleh?”
“Apa?”
“Mau
pinjam uang seratus ribu.”
“Ooooh.
Kirain teh apa. Bisa-bisa,” jawab Mamat pendek.
Eh.
Hanya segini sajakah perjuangan yang Akang lakukan? Segampang ini sajakah
transaksi peminjaman itu? Akang numayan sedikit heran. Tadinya dia pikir akan
sulit. Tapi ternyata tidak. Akang tersenyum. Dengan semua kemudahan ini,
sepertinya takdir memang mengharuskan Akang untuk pulang kampung.
“Uang
itu buat apa Kang ya?” Mamat bertanya. Pertanyaan itu membuyarkan lamunan
Akang.
“Buat
ongkos pulang, Mat.”
“What!
Mudik lagi?!”
Akang
sedikit terkejut tersebab ucapan Mamat yang sedikit meninggi.
“Iya.”
Mamat
menutup buku yang sedang dibaca. Ia menggeser posisi duduknya. Kini Mamat
menghadap pada Akang. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian diakhiri dengan
sebuah senyuman menyelidik. “Hayoooo, pasti karena Si Kembang Desa itu ya?
Ngakuuuu!”
“Bukan,
Mat. Ini karena acara remaja yang kemarin-kemarin saya ceritakan itu. acaranya
kan malam Sabtu nanti,” Akang mencoba meluruskan.
“Alaaaah.
Alesan aja itumah. Saya yakin kok, pasti ada penyebab lainya juga kan? Apalagi
jika bukan karena rindu ingin segera berjumpa lagi dengan Si Kembang Desa,
hehe...,” Mamat menunjuk wajah Akang. Akang hanya menanggapi dengan sebuah
cengiran.
DRRRT
DRRRT DRRRT
Getaran
hape Akang menghentikan perdebatan Akang dengan Mamat. Akang mengambil hapenya
yang tergeletak di meja laptop.
Ada
sebuah pesan masuk. Akang langsung membacanya. Serius sekali Akang membaca
pesan itu.
“Hah!”
Akang sumringah. Lalu menatap Mamat.
“Kenapa,
Kang?” Mamat bertanya penasaran.
“Sepertinya
saya gak jadi pinjem uangnya, Mat.”
“Lho,
kenapa? Pulangnya gak jadi?” Mamat melipat keningnya.
“Bukan,
Mat.”
Akang
nyengir. Ia memperlihatkan layar hape ke hadapan Mamat. Ia sengaja melakukan
itu, supaya teman sekosannya itu bisa dengan mudah membaca pesan yang barusan
datang.
Mamat
menyipitkan kedua matanya. Agar kalimat yang ada di layar hape Akang dapat
dengan mudah terbaca.
Coba cek rekening ya. Barusan saya kirim
honor cerpen yang minggu kemaren dimuat. Selamat bersenang-senang, Bro. Kami
tunggu cerpen berikutnya.
Mamat
melotot. Kemudian ikut nyengir. Pesan itu datangnya dari seorang redaktur
majalah remaja tempat cerpen-cerpen Akang biasa dimuat.
“Asiiiiik.
Malam ini kita makan dimana nih, Kang?” Mamat merayu Akang.
“Maunya
dimanaaaa?” Akang meladeni tantangan Mamat.
“Weisss.
Beneran nih, Kang?”
“Hmm.”
Akang mengangguk.
“Kita
makan ramen aja di restoran jepang ya,” usul Mamat.
“Baik.
Malam ini kita makan ya.”
“Weisss.
Mantaaaap!” Mamat manggut-manggut.
“Malam
ini kita makan di warteg samping mesjid langganan kita,” Akang melanjutkan
kalimatnya yang tadi belum beres.
“Eh????”
raut wajah Mamat berubah seratus delapan puluh derajat.
Akang
nyengir menatap muka Mamat.
***
Mata
Akang berbinar. Penyebabnya adalah deretan angka yang tertera pada layar mesin
ATM.
“Wuiiih!”
Akang terperanjat mendapati saldo di ATMnya kini ada setengah juta. Satu saja
yang terpikir saat ini. Eh bukan, tapi dua. Bukan, bukan, tapi tiga! Pertama, adalah
menyisihkan sedikit rezeki untuk membayar shodaqoh. Kedua, setelah ashar nanti
Akang akan mentraktir Mamat makan ramen. Ucapan Akang pada Mamat tadi itu hanya
untuk menjahili Mamat saja. Lalu yang ketiga adalah, setelah magrib nanti,
Akang akan langsung meluncur ke toko buku. Selain membeli beberapa buku yang
dibutuhkan, Akang juga ingin membeli sebuah buku bersampul warna ungu yang
sudah beberapa waktu lalu memang telah diincar olehnya. Buku itu bukan untuk
dia baca. Tapi untuk diberikan kepada seseorang di kampung sana. Semoga saja,
saat di kampung nanti, akan ada kesempatan bagi Akang untuk memberikan buku ini
kepada seseorang itu. Semoga saja. Semoga!
***
Jam
empat sore. Bis yang akang tumpangi masih melaju di tol Jakarta-Merak. Mobil besar
itu meluncur membelah udara Serang yang panas menyengat. Akang duduk sambil
memeluk tasnya. Pandangannya ia arahkan ke luar jendela. Pada deretan
perbukitan yang memanjang mengikuti jalan. Bapak setengah baya yang duduk di
samping Akang, sedang tenang di alam tidurnya.
Jam
setengah lima sore. Bis keluar pintu tol. Beberapa menit lagi akan segera tiba
di terminal Pakupatan, Serang.
Hape
Akang bergetar. Ada sebuah pesan masuk.
Akang
merogoh saku celana. Belum juga pesan itu di baca, bibir Akang sudah tersenyum.
Akang jadi pulang? Sudah sore kok belum
datang. Acaranya tinggal beberapa jam lagi.
Akang
langsung membalas pesan Hena.
Alhamdulillah Akang sudah ada di Serang,
Na. Jika lancar, mungkin setengah enam tiba di kampungnya. Na do’ain atuh
supaya jalannya lancar ya... :-)
Hena
membalas lagi.
:-)
***
Puji
syukur kepada Sang Maha Baik. Acara yang barusan digelar berjalan sesuai
harapan. Dari sisi hiburan, jika dilihat dari antusias warga, mereka semua
terhibur. Semoga saja demikian juga dengan sisi syi’arnya. Semoga setelah acara
ini, akan ada banyak lagi para remaja kampung yang ingin bergabung dengan
pengajian remaja ini. Aamiin Yaa Allah.
Selepas
evaluasi, semua panitia melakukan bersih-bersih berjamaah. Setelah semuanya
dirasa beres, akhirnya tiba juga waktu untuk istirahat. Istirahat di rumah
masing-masing.
Akang
pulang bareng dengan beberapa remaja pengajian. Mereka jalan bergerombol. Satu demi
satu remaja itu izin duluan karena mereka berbeda jalan.
Saat
ini gerombolan itu hanya tinggal empat orang saja. Seorang laki-laki dan tiga
orang perempuan. Laki-laki itu adalah Akang. Dan satu dari tiga orang sisanya
adalah Hena. Mereka berempat pulang ke arah yang sama. Akang berjalan di sisi
jalan sebelah kanan, dan ketiga perempuan berjalan berdekatan di sisi jalan
sebelah kirinya. Sesekali mereka mengobrol. Sekedar mengisi keheningan.
“Akang,
Hena, kami duluan ya,” ujar dua orang remaja perempuan.
“Iya.
Hati-hati ya,” jawab Akang. Hena hanya memberi sebuah senyuman. Kedua remaja
itu berpisah. Mereka masuk pada gang kecil meninggalkan Akang dan Hena berdua
saja. Memang, di antara gerombolan tadi, rumah Akang dan Hena adalah yang
paling jauh.
Akang
dan Hena melanjutkan langkah. Keheningan malam kini mulai terasa. Akang mulai
salah tingkah dan tak mampu mengisi perjalanan dengan obrolan. Beberapa langkah
yang sudah terlewat hanya diisi dengan kebungkaman. Akang tak berkata. Hena tak
bersuara. Hanya derap langkah mereka saja yang terdengar.
“Na,”
akhirnya Akang membuka kata.
“Iya,”
Hena menoleh pada Akang yang berjalan agak jauh di sampingnya.
“Na
suka baca buku?”
Hena
tersenyum. Pandangannya kembali mengarah pada jalanan. “Numayan. Tapi masih
jarang-jarang sih. Cuman kalo pas lagi pengen aja baca bukunya,” Hena tersenyum
lagi.
“Ooooh,”
Akang mengangguk pelan. Mereka masih tetap melangkah. Rumah Hena hanya tinggal
sekitar lima puluh meter lagi. Sedangkan rumah Akang sekitar sepanjang lapangan
sepak bola lagi.
“Oya,
Na kapan masuk pondoknya?”
“Senin
besok, Kang.”
“Mmmh,”
Akang mengangguk pelan.
“Kalo
Akang kapan ke Bandung laginya?” Hena bertanya balik.
“Mungkin
besok siang.”
“Hah?
Besok? Cepet amat?” Hena menoleh pada Akang.
“Iya,
Na. Akang masih ada ujian hari Rabu dan Kamisnya.”
“Ooooh.
Yang semangat ya ujiannya,” Hena tersenyum.
Akang
juga tersenyum. Tapi tidak pada Hena. Akang hanya tersenyum kepada jalan di
hadapannya. “Na juga yang semangat di pondoknya ya.”
Kedua
remaja itu masih tetap melangkah pelan.
“Mmm,
Na.” Panggil Akang.
“Iya,
Kang.”
Akang
melepas tas di punggungnya. Sambil tetap berjalan, Akang mengambil sebuah buku
bersampul warna ungu. “Ini Akang ada buku bagus buat Na,” Akang menyodorkan
buku di tangannya pada Hena.
Hena
menatap buku di tangan Akang, lalu mengalihkan pandangannya pada wajah Akang. “Buku?
Buat Hena?” Hena memasang wajah tidak percaya.
“Iya,”
Akang mengangguk. “Semoga buku ini bermanfaat untuk Na.”
“Aduh,”
Hena merasa tidak enak.
“Ini,”
Akang masih menyodorkan buku. Meskipun malu-malu, akhirnya Hena terima juga
buku bersampul warna ungu itu.
“Maksaih,
Kang ya,” ucap Hena sambil melihat-lihat sampul bukunya. “Lho? Ini beneran buku
punya Akang?”
“Iya.
Kenapa?”
“Ini
kan buku khusus untuk akhwat.”
“Memang
laki-laki gak boleh ya baca buku perempuan?”
Hena
mesem. “Boleh sih,” ia menahan tawa kecilnya. “Memang Akang sudah baca semua
buku ini?”
“Belum,
Na, hehe.”
“Lho.
Lalu kenapa?” Hena mengangkat buku di tangannya. Bermaksud mengsisyaratkan
kenapa bukunya diberikan sedangkan yang punyanya belum membaca.
Akang
tersenyum. Ia tahu maksud isyarat Hena.
“Akang
beli buku itu memang bukan untuk Akang baca.”
Hena
menatap wajah Akang. Meminta penjelasan dari perkataan Akang barusan.
“Akang
beli buku itu memang diniatkan untuk dikasih ke Hena.”
“Hmmm,”
Hena bergumam seperti orang kaget. Kemudian ia tersenyum.
Akang
dan Hena melanjutkan langkah lagi. Keheningan kembali mengiringi perjalanan dua
remaja itu. Akang menatap jalan. Demikian juga dengan perempuan di sampingnya. Mereka
sama-sama menyunggingkan senyum. Hanya itu saja. Ingin bicara tapi tak berani.
***