Jumat, 30 Agustus 2013

Buku Bersampul Warna Ungu (4)


Empat hari yang terlewat, interaksi Akang dengan buku-buku kuliah semakin intens saja. Tidak sedikit buku yang ia lahap habis demi kemudahannya dalam mengisi setiap soal yang diberikan para dosen. Dengan kesibukan itu, Akang sendiri tidak begitu sadar jika hari ini adalah hari Kamis. Empat hari sudah Akang bergelut dengan soal ujian. Besok, tidak ada jadwal ujian. Ada jadwal lagi nanti hari Rabu dan Kamis depan.

                Hari Jum’at besok memang tidak ada jadwal ujian. Tapi anehnya, beban pikiran yang dirasakan Akang malah lebih besar ketimbang empat hari lalu, saat ia bergelut dengan soal ujian. Penyebabnya hanya satu. Yaitu nasib kepulangannya untuk menghadiri acara remaja di kampungnya. Acara itu akan berlangsung Sabtu malam. Tepatnya setelah isya. Jadi, jika dihitung-hitung, acaranya hanya tinggal dua biji hari lagi. Sedangkan sampai sekarang. Hingga detik ini. Kondisi dompet Akang sedang sekarat. Itulah aktor utama yang sekarang membuat kepala Akang muter-muter seperti seekor kucing yang sedang ingin mencabut plastik yang tersangkut di kepalanya. 

                “Kenapa, Kang? Mukanya kusut gitu? Pusing mikirin soal ujian ya?” Mamat menoleh pada Akang yang sedang duduk menghempaskan punggungnya pada dinding kamar. Mamat kembali melihat buku di hadapannya. 

                “Gak kenapa-kenapa, Mat,” jawab Akang lemas sekali.

                “Mmmh,” gumam Mamat sambil tetap menatap buku.

                Jika melihat keadaan dompet yang seperti ini. Satu-satunya jalan agar Akang tetap bisa pulang kampung mungkin bergantung kepada orang yang sedang membaca buku di hadapan Akang, yaitu Mamat. Ya, satu-satunya jalan kini hanya tinggal itu. Akang meminjam uang untuk ongkos, kemudian dibayarnya nanti pas tanggal muda. Tapi, itupun jika Mamatnya sedang ada uang. Jika tidak!

                Baiklah. Biar perkaranya menjadi jelas, Akang segera mencoba peruntungannya. Sedikit demi sedikit Akang mulai mengumpulkan nyali. Pelan-pelan ia melepaskan sandarannya dari dinding. Akang menegakan duduknya, agak sedikit mendekat pada Mamat.

                “Mat,” panggil Akang ragu-ragu.

                “Mmmh.” Mamat masih membaca buku.

                “Mat,” panggil Akang lagi.

                “Hhhm. Iya,” Mamat menoleh pada Akang.

                Akang nyengir. Seperti sengaja ingin menunjukan susunan giginya. 

                “Ada apa, Kang?” 

                Akang nyengir lagi. “Anu, Mat. Saya mau minta tolong. Boleh?” 

                “Apa?”

                “Mau pinjam uang seratus ribu.”

                “Ooooh. Kirain teh apa. Bisa-bisa,” jawab Mamat pendek.

                Eh. Hanya segini sajakah perjuangan yang Akang lakukan? Segampang ini sajakah transaksi peminjaman itu? Akang numayan sedikit heran. Tadinya dia pikir akan sulit. Tapi ternyata tidak. Akang tersenyum. Dengan semua kemudahan ini, sepertinya takdir memang mengharuskan Akang untuk pulang kampung. 

                “Uang itu buat apa Kang ya?” Mamat bertanya. Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Akang.

                “Buat ongkos pulang, Mat.”

                “What! Mudik lagi?!”

                Akang sedikit terkejut tersebab ucapan Mamat yang sedikit meninggi.

                “Iya.”

                Mamat menutup buku yang sedang dibaca. Ia menggeser posisi duduknya. Kini Mamat menghadap pada Akang. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian diakhiri dengan sebuah senyuman menyelidik. “Hayoooo, pasti karena Si Kembang Desa itu ya? Ngakuuuu!” 

                “Bukan, Mat. Ini karena acara remaja yang kemarin-kemarin saya ceritakan itu. acaranya kan malam Sabtu nanti,” Akang mencoba meluruskan.

                “Alaaaah. Alesan aja itumah. Saya yakin kok, pasti ada penyebab lainya juga kan? Apalagi jika bukan karena rindu ingin segera berjumpa lagi dengan Si Kembang Desa, hehe...,” Mamat menunjuk wajah Akang. Akang hanya menanggapi dengan sebuah cengiran.

                DRRRT DRRRT DRRRT

                Getaran hape Akang menghentikan perdebatan Akang dengan Mamat. Akang mengambil hapenya yang tergeletak di meja laptop.

                Ada sebuah pesan masuk. Akang langsung membacanya. Serius sekali Akang membaca pesan itu.

                “Hah!” Akang sumringah. Lalu menatap Mamat.

                “Kenapa, Kang?” Mamat bertanya penasaran.

                “Sepertinya saya gak jadi pinjem uangnya, Mat.”

                “Lho, kenapa? Pulangnya gak jadi?” Mamat melipat keningnya.

                “Bukan, Mat.” 

                Akang nyengir. Ia memperlihatkan layar hape ke hadapan Mamat. Ia sengaja melakukan itu, supaya teman sekosannya itu bisa dengan mudah membaca pesan yang barusan datang.

                Mamat menyipitkan kedua matanya. Agar kalimat yang ada di layar hape Akang dapat dengan mudah terbaca.

                Coba cek rekening ya. Barusan saya kirim honor cerpen yang minggu kemaren dimuat. Selamat bersenang-senang, Bro. Kami tunggu cerpen berikutnya. 

                Mamat melotot. Kemudian ikut nyengir. Pesan itu datangnya dari seorang redaktur majalah remaja tempat cerpen-cerpen Akang biasa dimuat. 

                “Asiiiiik. Malam ini kita makan dimana nih, Kang?” Mamat merayu Akang.

                “Maunya dimanaaaa?” Akang meladeni tantangan Mamat.

                “Weisss. Beneran nih, Kang?” 

                “Hmm.” Akang mengangguk.

                “Kita makan ramen aja di restoran jepang ya,” usul Mamat.

                “Baik. Malam ini kita makan ya.”

                “Weisss. Mantaaaap!” Mamat manggut-manggut.

                “Malam ini kita makan di warteg samping mesjid langganan kita,” Akang melanjutkan kalimatnya yang tadi belum beres.

                “Eh????” raut wajah Mamat berubah seratus delapan puluh derajat.

                Akang nyengir menatap muka Mamat.
***

                Mata Akang berbinar. Penyebabnya adalah deretan angka yang tertera pada layar mesin ATM.

                “Wuiiih!” Akang terperanjat mendapati saldo di ATMnya kini ada setengah juta. Satu saja yang terpikir saat ini. Eh bukan, tapi dua. Bukan, bukan, tapi tiga! Pertama, adalah menyisihkan sedikit rezeki untuk membayar shodaqoh. Kedua, setelah ashar nanti Akang akan mentraktir Mamat makan ramen. Ucapan Akang pada Mamat tadi itu hanya untuk menjahili Mamat saja. Lalu yang ketiga adalah, setelah magrib nanti, Akang akan langsung meluncur ke toko buku. Selain membeli beberapa buku yang dibutuhkan, Akang juga ingin membeli sebuah buku bersampul warna ungu yang sudah beberapa waktu lalu memang telah diincar olehnya. Buku itu bukan untuk dia baca. Tapi untuk diberikan kepada seseorang di kampung sana. Semoga saja, saat di kampung nanti, akan ada kesempatan bagi Akang untuk memberikan buku ini kepada seseorang itu. Semoga saja. Semoga!
***

                Jam empat sore. Bis yang akang tumpangi masih melaju di tol Jakarta-Merak. Mobil besar itu meluncur membelah udara Serang yang panas menyengat. Akang duduk sambil memeluk tasnya. Pandangannya ia arahkan ke luar jendela. Pada deretan perbukitan yang memanjang mengikuti jalan. Bapak setengah baya yang duduk di samping Akang, sedang tenang di alam tidurnya.

                Jam setengah lima sore. Bis keluar pintu tol. Beberapa menit lagi akan segera tiba di terminal Pakupatan, Serang. 

                Hape Akang bergetar. Ada sebuah pesan masuk. 

                Akang merogoh saku celana. Belum juga pesan itu di baca, bibir Akang sudah tersenyum.

                Akang jadi pulang? Sudah sore kok belum datang. Acaranya tinggal beberapa jam lagi.

                Akang langsung membalas pesan Hena.

                Alhamdulillah Akang sudah ada di Serang, Na. Jika lancar, mungkin setengah enam tiba di kampungnya. Na do’ain atuh supaya jalannya lancar ya... :-)

                Hena membalas lagi.

                :-)
***

                Puji syukur kepada Sang Maha Baik. Acara yang barusan digelar berjalan sesuai harapan. Dari sisi hiburan, jika dilihat dari antusias warga, mereka semua terhibur. Semoga saja demikian juga dengan sisi syi’arnya. Semoga setelah acara ini, akan ada banyak lagi para remaja kampung yang ingin bergabung dengan pengajian remaja ini. Aamiin Yaa Allah. 

                Selepas evaluasi, semua panitia melakukan bersih-bersih berjamaah. Setelah semuanya dirasa beres, akhirnya tiba juga waktu untuk istirahat. Istirahat di rumah masing-masing.

                Akang pulang bareng dengan beberapa remaja pengajian. Mereka jalan bergerombol. Satu demi satu remaja itu izin duluan karena mereka berbeda jalan. 
                Saat ini gerombolan itu hanya tinggal empat orang saja. Seorang laki-laki dan tiga orang perempuan. Laki-laki itu adalah Akang. Dan satu dari tiga orang sisanya adalah Hena. Mereka berempat pulang ke arah yang sama. Akang berjalan di sisi jalan sebelah kanan, dan ketiga perempuan berjalan berdekatan di sisi jalan sebelah kirinya. Sesekali mereka mengobrol. Sekedar mengisi keheningan.

                “Akang, Hena, kami duluan ya,” ujar dua orang remaja perempuan. 

                “Iya. Hati-hati ya,” jawab Akang. Hena hanya memberi sebuah senyuman. Kedua remaja itu berpisah. Mereka masuk pada gang kecil meninggalkan Akang dan Hena berdua saja. Memang, di antara gerombolan tadi, rumah Akang dan Hena adalah yang paling jauh. 

                Akang dan Hena melanjutkan langkah. Keheningan malam kini mulai terasa. Akang mulai salah tingkah dan tak mampu mengisi perjalanan dengan obrolan. Beberapa langkah yang sudah terlewat hanya diisi dengan kebungkaman. Akang tak berkata. Hena tak bersuara. Hanya derap langkah mereka saja yang terdengar. 

                “Na,” akhirnya Akang membuka kata. 

                “Iya,” Hena menoleh pada Akang yang berjalan agak jauh di sampingnya.

                “Na suka baca buku?”

                Hena tersenyum. Pandangannya kembali mengarah pada jalanan. “Numayan. Tapi masih jarang-jarang sih. Cuman kalo pas lagi pengen aja baca bukunya,” Hena tersenyum lagi.

                “Ooooh,” Akang mengangguk pelan. Mereka masih tetap melangkah. Rumah Hena hanya tinggal sekitar lima puluh meter lagi. Sedangkan rumah Akang sekitar sepanjang lapangan sepak bola lagi.

                “Oya, Na kapan masuk pondoknya?”

                “Senin besok, Kang.”

                “Mmmh,” Akang mengangguk pelan.

                “Kalo Akang kapan ke Bandung laginya?” Hena bertanya balik.

                “Mungkin besok siang.”

                “Hah? Besok? Cepet amat?” Hena menoleh pada Akang.

                “Iya, Na. Akang masih ada ujian hari Rabu dan Kamisnya.”

                “Ooooh. Yang semangat ya ujiannya,” Hena tersenyum.

                Akang juga tersenyum. Tapi tidak pada Hena. Akang hanya tersenyum kepada jalan di hadapannya. “Na juga yang semangat di pondoknya ya.”

                Kedua remaja itu masih tetap melangkah pelan. 

                “Mmm, Na.” Panggil Akang.

                “Iya, Kang.”

                Akang melepas tas di punggungnya. Sambil tetap berjalan, Akang mengambil sebuah buku bersampul warna ungu. “Ini Akang ada buku bagus buat Na,” Akang menyodorkan buku di tangannya pada Hena.

                Hena menatap buku di tangan Akang, lalu mengalihkan pandangannya pada wajah Akang. “Buku? Buat Hena?” Hena memasang wajah tidak percaya.

                “Iya,” Akang mengangguk. “Semoga buku ini bermanfaat untuk Na.”

                “Aduh,” Hena merasa tidak enak.

                “Ini,” Akang masih menyodorkan buku. Meskipun malu-malu, akhirnya Hena terima juga buku bersampul warna ungu itu.

                “Maksaih, Kang ya,” ucap Hena sambil melihat-lihat sampul bukunya. “Lho? Ini beneran buku punya Akang?”

                “Iya. Kenapa?”

                “Ini kan buku khusus untuk akhwat.”

                “Memang laki-laki gak boleh ya baca buku perempuan?” 

                Hena mesem. “Boleh sih,” ia menahan tawa kecilnya. “Memang Akang sudah baca semua buku ini?”

                “Belum, Na, hehe.”

                “Lho. Lalu kenapa?” Hena mengangkat buku di tangannya. Bermaksud mengsisyaratkan kenapa bukunya diberikan sedangkan yang punyanya belum membaca.

                Akang tersenyum. Ia tahu maksud isyarat Hena.

                “Akang beli buku itu memang bukan untuk Akang baca.”

                Hena menatap wajah Akang. Meminta penjelasan dari perkataan Akang barusan.

                “Akang beli buku itu memang diniatkan untuk dikasih ke Hena.”

                “Hmmm,” Hena bergumam seperti orang kaget. Kemudian ia tersenyum. 

                Akang dan Hena melanjutkan langkah lagi. Keheningan kembali mengiringi perjalanan dua remaja itu. Akang menatap jalan. Demikian juga dengan perempuan di sampingnya. Mereka sama-sama menyunggingkan senyum. Hanya itu saja. Ingin bicara tapi tak berani.
***

Kamis, 29 Agustus 2013

Botol Air Minum Kemasan (3)

Malam Minggu. Langit sedang cerah. Cahaya listrik yang tidak sebanyak di kota, membuat langit tampak indah dengan taburan bintang. Rembulan berbentuk lancip, menyerupai sebuah bibir yang tersenyum, menempel pada salah-satu bagian wajah langit malam ini. Rembulan itu membagikan senyumannya kepada seluruh penduduk bumi. Ia sedang gembira. Gembira karena menyaksikan sekelompok remaja, laki-laki dan perempuan, yang sedang menjalankan rutinitas mingguan mereka, yakni pengajian malam Minggu.

                Jam sembilan malam. Suara jangkrik-jangkrik yang sedang berlomba nyanyi di kebun-kebun sekitaran majelis, ikut meramaikan sesi diskusi yang sedang dijalankan oleh para remaja pengajian. Saling lempar argumen dilakukan. Dan di ujung, sang pemateri mencoba menyempurnakan hasil diskusi dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits-hadits yang beliau pahami. Wajah-wajah puas tergambar pada wajah para remaja itu kala persoalan yang mereka diskusikan telah menemui muaranya. Mereka tersenyum.

                Jam setengah sepuluh. Semua sepakat jika setengah jam sisa waktu pengajian akan diisi untuk membicarakan laporan perkembangan acara yang sebentar lagi akan mereka gelar. Kebetulan, beberapa pembina, ketua pengajian, serta ketua pelaksana acara sedang hadir semua. 

                Sang ketua pelaksana acara mengambil alih pimpinan diskusi. Dia memulai dengan menanyakan laporan perkembangan setiap divisi. Satu demi satu sang koordinator setiap divisi melaporkan pekerjaan divisinya. Setelah semua divisi telah melapor, sang ketua pelaksana memberikan kesempatan kepada para pembina untuk memberikan masukan ataupun kalimat-kalimat yang sekiranya bisa menambah semangat para panitia dalam menjalankan tugas mereka. Ketua mulai mempersilahkan salah-satu pembina untuk berbicara. Tidak begitu lama, sang ketua mempersilahkan pembina lain untuk berbicara. Tidak berbeda dengan yang pertama, pembina kedua juga berbicara hanya sebentar saja.

                “Baik. Selanjutnya, dipersilahkan kepada Akang untuk memberikan sepatah atau dua patah kata untuk kami, para panitia,” ujar ketua pelaksana mempersilahkan Akang.

                Akang memperbaiki posisi duduknya. Bersiap untuk berbicara.

                Akang mengucapkan salam. Semua orang yang ada di mejelis menjawab salam Akang. Akang mulai berbicara. 

                “Pada intinya mungkin apa yang akan Akang bicarakan hampir sama dengan yang lain,” Akang membuka tangan dan mengarahkannya kepada dua orang pembina yang lebih dulu berbicara. “Intinya, teman-teman tetap jaga kekompakan dalam menjalankan amanah ini. Tambahannya hanya sedikit saja. Pertama, beberapa hari kedepan, saat hari pelaksanaan acara hanya tinggal menghitung hari saja, kesibukan teman-teman mungkin akan lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. Dan, berdasarkan pengalaman Akang selama menjadi panitia beberapa acara, biasanya, pada saat-saat seperti itu, jalan-jalan menuju terjadinya konflik di antara sesama panitia akan sangat banyak. Untuk itu, teman-teman harus menyiapkan hati seluas lautan, khawatir seandainya nanti kemungkinan-kemungkinan semacam ini akan benar-benar terjadi.

                “Kedua, teman-teman mungkin telah paham maksud dari diadakannya acara besar ini. Acara ini adalah hanya sebagai media, atau pemancing untuk para remaja-remaja kampung lainnya yang belum bergabung, supaya mereka tertarik untuk bergabung ikut pengajian bersama kita. Atau, dengan kata lain, kita menyelipkan syiar disela-sela acara ini. Oleh karenanya, jangan sampai pada prosesnya nanti, teman-teman menaburkan noda-noda hitam pada kain putih niat baik kita semua ini. Jadi, dimohon kepada semuanya, sebisa mungkin  untuk menjaga interaksi dengan lawan jenis. Soalnya nanti khawatir akan menimbulkan fitnah.

                “Selanjutnya, atas nama diri Akang sendiri. Intinya, sebelumnya Akang memohon maaf sebesar-besarnya kepada semuanya, karena besok Akang harus sudah ada di Bandung lagi. Sebab hari Seninnya sudah mulai minggu ujian. Jadi, InsyaAllah, besok pagi Akang akan berangkat. Sekali lagi, Akang memohon maaf karena tidak bisa membantu lebih banyak lagi. Tapi, meskipun seminggu kedepan Akang di Bandung, insyaAllah Akang akan tetap terbuka seandainya nanti teman-teman membutuhkan masukan-masukan, ataupun sumbangan-sumbangan yang berupa ide ataupaun yang sejenisnya.”

                “Berarti Akang nanti gak ada dong pas hari H nya? Acaranya kan tinggal seminggu lagi.” Celetuk seorang remaja perempuan yang memiliki karakter lebih rame dibanding dengan yang lainnya. Beberapa orang sedikit menyorakinya.

                Akang tersenyum menanggapi pertanyaan itu.

                “Sabtu dan Minggu akang tidak ada kuliah. Otomatis tidak ada ujian pada dua hari itu. InsyaAllah, jika ada kesempatan Akang akan menyempatkan untuk pulang kesini lagi hari Sabtu pagi. Mudah-mudahan malam harinya Akang diberi kesempatan untuk menghadiri acara kita ini. Aamiin.”

                Para remaja ikut meng-amin-i ucapan Akang. 

                “Aamiin. Aamiin. Aamiiiin,” celetuk remaja perempuan yang tadi bertanya. Ia mengucapkan kata Aamiin berkali-kali. Saat ia sadar bahwa ucapannya mengundang perhatian, ia membekap mulutnya sendiri, kemudian kepalanya celingukan. Namun wajahnya tetap berseri.

                Akang mengakhiri ucapannya. Ia memberikan kembali kendali diskusi kepada sang ketua pelaksana.

                Jam sepuluh kurang beberapa menit. Ketua pelaksana menutup sesi pembicaraan tentang acara. Ia menyerahkan kendali pada pembawa acara pengajian. Saat kendali kembali kepadanya, ia segera menutup pengajian malam ini.
***

                Jam sepuluh siang. Matahari meninggi. Bisa sengatan sinarnya mulai terasa lebih panas.

                Akang sudah duduk pada kursi baris kelima di bagian sebelah kiri. Ia duduk di dekat jendela. Sambil menunggu bis jurusan Merak-Bandung berjalan, Akang mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Mencoba mengamati hiruk-pikuk terminal siang ini.

                Beberapa penjual menjajakan barangnya kepada penumpang, termasuk juga Akang. Akang hanya memberikan seutas senyuman kepada para pedagang itu. Sekedar untuk menghargai usaha mereka.
                Akang menatap ke luar jendela. Kembali mengamati kehidupan di terminal.

                DRRRT DRRRT DRRRT

                Akang merasakan ada getaran di paha kanannya. Getaran itu bersumber dari hape di saku samping celana panjangnya. Akang merogoh saku. Mengeluarkan hapenya.

                Sebuah susunan angka terpampang di layar hapenya. Ada pesan masuk dari nomer baru. Mata Akang menyipit. Pesan dari siapa ini? Hati Akang bertanya. Ingin segera mengetahui jawaban atas pertanyaannya, Akang segera membuka pesan itu.

                Assalamualaikum. Akang, ini Hena. Sebelumnya punten karena telah mengganggu waktu Akang. Hena cuman ingin meminta bantuan Akang saja. Begini Kang, Hena kan ditunjuk menjadi koordinator untuk kosidahan. Nah, tim kosidahan kan belum sempat meminjam rebananya. Hena malu untuk minjamnya Kang. Akang bisa bantuin untuk itu? Untuk meminjamkan rebana ke ibu-ibu pengajian?

                Akang menelan ludah. Ia perhatikan lagi sebuah nama yang mengirimkan pesan kepadanya. Apakah dia telah salah lihat? Pelan-pelan kedua matanya menelusuri setiap kata yang tertulis. Tidak! Akang tidak salah lihat! Ini nyata! Pesan ini datangnya memang dari Hena!

                GLEK!

                Akang menelan ludah lagi. Matanya belum terpejam, dan masih melotot menatap layar hape. Sepertinya Akang masih belum percaya dengan hal ini. Sudah dari dulu memang dia ingin tahu nomer hape perempuan yang satu ini. Sudah dari dulu juga dia ingin mencoba merasakan bagimana rasanya berkomunikasi dengan Hena melalui hape. Meskipun itu hanya dengan saling mengirim pesan saja. Akang salah tingkah. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. 

                Perlahan Akang bisa menguasai keadaan dirinya. Pelan-pelan jemarinya mengetik pesan balasan untuk Hena.

                Walaikumussalam. Oh iya, InsyaAllah Akang coba hubungi ketua pelaksana dulu ya. Akang coba minta bantuan dia untuk meminjamkan rebana. Nanti kalo udah ada kabar, Akang akan segera hubungi Hena lagi.     
 
                Belum satu menit, ada balasan lagi dari Hena.

                Syukron Kang ya. Punten karena telah merepotkan Akang :-)   

                Kedua ujung bibir Akang melebar. Ia kembali mengetik keypad hapenya.

                Gakpapa Hena, santai aja. Ini kan demi kebaikan semuanya, demi kelancaran acara kita... :-)

                Akang kembali mengetik pesan. Tapi kali ini bukan untuk Hena. Akang hendak meminta bantuan ketua pelaksana untuk meminjamkan rebana pada majelis taklim pengajian ibu-ibu.

                Baik Kang. Segera laksanakan. Eh, tapi kenapa Hena tidak langsung meminta bantuan pada saya aja ya? Sepertinya ada sesuatu nih, hehe. (becanda kok Kang. Jangan dibawa serius ya, hehe) 

                Akang tersenyum membaca balasan pesan dari ketua pelaksana. Akang mengetik lagi.

                Mungkin dia malu kali kalau sama Antum, hehe. Oya, makasih atas bantuannya ya. Semoga Allah membalas dengan yang lebih baik. Aamiin.

                Sang ketua pelaksana membalas lagi.

                Aamiin. Eh, tapi, kenapa kalau sama Akang gak malu ya? Hehe. (Piiiis. Becanda Kang. Sudah racawan saya jangan ditanggapi lagi, nanti tidak ada ujungnya, hehe)

                Akang tersenyum lagi. Lama sekali senyum itu terlukis di bibir Akang. Jika tidak ingat untuk segera mengabari Hena, mungkin sampai adzan dzuhur Akang akan tetap tersenyum.

                Akang mengetik sebuah pesan untuk Hena.

                Hena. Akang tadi sudah minta bantuan ketua pelaksana. Nanti kalau rebananya sudah ada, Akang akan hubungi Hena lagi. Nanti Hena tinggal langsung hubungi ketua pelaksananya aja ya. Tetap jaga semangat untuk acara kita. Semangaaaaaaat!

                Ada balasan dari Hena.

                Iya Kang. Makasih Kang untuk bantuannya. :-)

                Akang membalas lagi.

                Sama-sama Hena... :-)

                Hena membalas lagi.

                :-)

                Akang kembali tersenyum. Detak jantungnya bergemuruh. Suaranya menyerupai tabuhan rebana ibu-ibu pengajian majelis taklim. 

                “Minumannya, A?” Seorang pria penjual minuman menawari dagangannya pada Akang. Bersamaan dengan itu, senyuman di bibir Akang pudar. Seperi tulisan di atas pasir yang tergerus ombak. 

                “Oh iya? Bagaimana?” Akang masih setengah sadar.

                “Minumnya, A?” 

                Mata Akang mengarah pada air minum kemasan di tangan pedagang. Sebentar ia terbengong. Seperti sedang memikirkan sesuatu.

                “Oh iya. Satu, Pak,” akhirnya Akang membeli juga.

                Wajah sang penjual minuman sumringah. Segera ia memberikan air minum kemasan yang dipinta pembelinya. Akang memberikan uang kertas nominal lima ribu.

                “Ada uang pas, A?” tanya sang penjual sambil tersenyum.

                “Gak papa, Pak. Ambil aja kembaliannya.”

                “Oh. Makasih banyak, A,” sang penjual sumringah lagi. “Mari, A,” ia pamit untuk kembali menjajakan dagangannya. Akang membalas dengan sebuah senyuman.

                Akang genggam erat botol minum kemasan dengan kedua tangannya. Ia kembali mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Sebuah senyuman belum juga hilang dari bibirnya. Beberapa saat menerawang entah ke alam mana, Akang hendak menyimpan botol minum kemasan ke tas yang tergeletak pada kursi kosong di sampingnya. 

                “Lho?!” alisnya bertaut saat Akang hendak meletakan botol minuman di tangannya. Penyebabnya adalah sebuah botol minuman kemasan lain yang sudah tersimpan rapih di dalam tas. Akang menggaruk kepalanya. Ia tersenyum geli. Akang baru sadar, ternyata sebelumnya ia sudah membeli air minum kemasan dengan merek dagang yang sama. Akang tersenyum lagi. Menertawakan dirinya sendiri.

                Akang kembali melihat ke luar jendela. 

                DRRRT DRRRT DRRRT

                Hape di saku Akang bergetar lagi. Sebuah pesan masuk.

                Akang merogoh saku celananya. Sebuah gambar amplop kecil warna kuning terpampang pada layar hapenya. Di bawah gambar amplop itu tertera sebuah nama yang membuat bibir Akang otomatis tersenyum. Beberapa menit lalu Akang memang sudah menyimpan nomer baru ini di memori hapenya. 

                Akang sudah berangkat ke Bandungnya?   

                JENGJEREEET!

                Beberapa menit lalu, Akang merasakan kaget saat pertama kali mendapatkan sebuah pesan dari Hena. Dan sekarang, kaget yang Akang rasakan berlipat dari yang sebelumnya. Sebenarnya, penyebabnya adalah bersumber pada hal yang serupa. Akan tetapi kali ini isi pesannya sedikit berbeda. jika dilihat dari redaksi kalimatnya, pesan kali ini terasa sedikit lebih privasi. Dan sayangnya, justru itulah yang membuat dada Akang bergemuruh tidak karuan.

                Akang masih di terminal Serang, Na. Bisnya belum berangkat. Na do’ain supaya Akang selamat sampe Bandung ya... :-) 

                Ada balasan dari Hena.

                Iya, Kang. Nanti pas hari H Akang hadir kan?

                Akang segera membalas.

                InsyaAllah, Na. Semoga ada takdirNya Akang bisa hadir. Aamiin. Oya, Gimana pesantrennya udah masuk?

                Hena membalas.

                Belum. Nanti masuknya minggu depan. Sehari setelah acara selesai. Akang do’ain atuh ya supaya Hena betah disananya, hehe.

                Akang membalas.

                Pasti, Na. Pasti Akang do’ain. Semoga di sana Na betah, juga banyak ilmu yang didapatkan, yang nantinya untuk diamalkan guna memajukan kampung tercinta. Aamiin... :-)

                Hena membalas lagi.

                Aamiin. Makasih do’anya. Semoga demikian juga dengan Akang di kuliahannya. Aamiin Yaa Allah. :-)

                Akang mengetik lagi. Kali ini pendek sekali isi pesannya.

                :-)

                Hena membalas lagi.

                :-)

                Siang ini, di dalam bis ini, adalah satu dari sekian banyak peristiwa spesial yang akan selalu tersimpan rapih di rak memori terindah pada hati Akang.

                Akang menatap ke luar jendela lagi. Tapi pikirannya menerawang entah ke negeri mana.

                “Minumnya, A?” seorang bapak setengah baya menjajakan dagangannya.

                Akang menoleh. Sambil tersenyum ia langsung memesan. “Satu, Pak.”

                Bapak pedagang memberikan satu botol minum kemasan pada Akang. Akang merogoh uang di sakunya. Lalu memberikan uang lima ribu rupiah pada bapak penjual di hadapannya. “Kembaliannya ambil aja, Pak.”

                “Makasih banyak, A.” Sang bapak penjual minuman meleos untuk menjajakan dagangannya pada penumpang lain.

                Sebuah senyuman belum hilang dari bibir Akang. 

                Akang membuka retsleting tasnya. Ia hendak menyimpan botol minum kemasan yang baru dibelinya. 

                “Lho?!” 

                Akang baru sadar lagi. Ternyata sudah ada dua botol air minum kemasan di dalam tasnya. Dan sekarang menjadi tiga. 

                Akang garuk-garuk kepala. Tersenyum geli menertawakan dirinya sendiri.

                Perlahan bis meninggalkan terminal Serang. Melaju pelan di antara kendaraan yang berukuran lebih kecil. Beberapa waktu kedepan, Akang akan meninggalkan tanah Banten, dan kembali menghirup udara Bandung.
***