Jumat, 08 Mei 2015

Rakyat dan Rajanya (20)

Akhir-akhir ini rindu Fajar pada sang pujaan hati kian membesar. Lajunya sudah tidak terbendung lagi. Bejana hatinya kini sudah tidak mampu menampung lagi rindunya. Pelan-pelan rindu itu meluap. Bahkan tidak jarang sebagian tetes itu menyelinap melalui sudut mata Fajar. Tidak ada yang tahu tentang semua ini. Kecuali hanya Fajar dan Dia yang bersemayam di atas ‘Arasy.

Untuk menanggulangi hal ini, mau tidak mau Fajar harus membagikan beban rindunya kepada seseorang. Sebab katanya, salah satu terapi untuk gejolak jiwa di dalam dada adalah dengan menceritakannya. Dan, orang yang terpilih itu adalah Akang. Fajar tahu, Akang adalah orang yang mampu menyimpan sebuah rahasia dengan sangat rapat. Meskipun terkadang Akang juga bisa menyebalkan. Tersebab sebuah alasan inilah, saat ini Fajar sedang ada di kamar Akang. Membersamai Akang yang sedang membaca buku.

Tiga puluh menit sudah Fajar duduk di samping Akang. Tingkahnya seperti orang yang kebingungan. Dia tidak tahu hendak memulainya dari mana. Dan Akang dapat dengan jelas mencium gelagat itu. Tapi Akang tidak ambil pusing. Dia lanjut konsentrasi membaca buku di tangannya.

Fajar menoleh pada Akang. Ini adalah tolehan untuk yang kesekian kalinya. Tidak lama, wajah Fajar kembali menghadap pada buku yang sedang dia pegang. Hanya dipegang saja, tidak dibaca.

Bulatan hitam mata Akang melirik ke arah Fajar. Tapi tidak diikut dengan tolehan kepalanya. Sepertinya Fajar hendak menyampaikan sesuatu. Sesuatu yang teramat penting. Tebak Akang di dalam hati. Bulatan hitam mata Akang kembali pada buku.

Fajar menoleh lagi. Kemudian melihat buku lagi. Dahinya mulai berkeringat. Nafasnya jadi tidak teratur.

“Ada apa, Jar?” Akang membuka pembicaraan. Pertanyaan Akang sedikit meringankan beban hati Fajar.

Fajar menghembuskan nafas panjang. Ia menutup bukunya.

“Mmm, anu Kang,” Fajar terbata.

“Anu apa?” Akang menatap Fajar.

“Begini Kang,” ucap Fajar kembali terhenti.

Akang menutup bukunya, lalu diletakan pada meja di hadapannya. Kemudian Akang menyerongkan arah duduknya. Kini Akang menghadap Fajar. “Begini apa?”

Fajar masih tergagap. Ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk membahasakan apa yang ada di dadanya.

Akang masih menunggu Fajar mengeluarkan kata.

“Saya mau jujur, Kang.”

Akang menatap Fajar. Ia tahu masih ada beberapa kata lagi yang akan Fajar keluarkan. Untuk itu Akang hanya diam saja.

“Sebenarnya saya memang mencintai Dian,” bersama terlantunnya kalimat ini, kedua mata Fajar menyipit. Mungkin karena malu dengan pengakuan ini.

“Oooh,” Akang manggut-manggut perlahan. “Ternyata dari tadi seperti orang linglung itu karena ini,” Akang memandang muka Fajar beberapa saat. Setelah itu kembali menyerongkan duduknya menghadap meja kecil. Akang mengambil buku lagi. Kemudian membaca.

Mata Fajar kembali menyipit. Keningnya melipat. Ia heran dengan tanggapan Akang. Hanya sebatas itu sajakah tanggapan orang yang Fajar percayai untuk diberikan sebuah rahasia besar miliknya. Benar-benar jauh dari harapannya. Dikira Fajar, Akang akan mengeluarkan kalimat bijaksana dan memberikan solusi untuk permasalahan hatinya yang satu ini. Jika tahu responnya hanya seperti ini, Fajar tidak akan membagi rahasia penting ini.

“Saya sudah tahu,” Akang kembali mengeluarkan kata. Namun pandangnya tetap pada buku. “Tanpa dibicarakanpun saya sudah tahu tentang hal ini. Dan saya juga tahu, salah satu yang menyebabkan Fajar mengucapkan pengakuan ini adalah karena pengakuan saya kemarin lusa yang mengatakan bahwa saya suka Teh Anita. Jadi Fajar ikut-ikutan saya. Iya kan?” Akang menoleh ke Fajar. Lalu berpaling lagi. Sekuat jiwa Akang menahan bibirnya untuk tidak tersenyum. Ini kesempatan langka, bisik hati Akang. Kapan lagi dia bisa mengerjai Fajar seperti ini.

Fajar mematung. Kenapa hari ini Akang bisa semenyebalkan ini? Gerutu kalbu Fajar.

“Kalo memang suka, kenapa gak segera dilamar?” cercos Akang lagi. Kedua alisnya ia gerak gerakan. Tapi tetap belum ada senyum di bibirnya.

Fajar menarik nafas panjang. Ia bersiap menanggapi pertanyaan tantangan dari Akang. Eit, eit, nyuruh segera melamar lagi. Yang menyuruh apa kabar? Apakah sudah melamar juga?  

Ada sekelebat pikiran yang mencegah Fajar untuk tidak membahasakan geretak hatinya itu. Penyebabnya adalah pertanyaan titipan Akang kemarin lusa. Tebakan Fajar, jika kalimat serangan balik ini dikeluarkan, sepertinya akan percuma saja. Sebab kemungkinan besar Akang akan mengeluarkan kartu As yang masih dia genggam. Lupa kemarin lusa saya titip pertanyaan apa untuk Teh Anita? Ya, mungkin kalimat itulah yang nanti Akang gunakan sebagai tameng dari serangan balik Fajar.

Pada ujungnya Fajar hanya bisa diam. Dia tidak berkutik.

“Saya belum siap nikah, Kang,” ucap Fajar lemas. “Tapi, jika tahun depan mungkn saya sudah siap,” tambah Fajar. Masih tanpa tenaga.

“Mudah-mudahan masih ada umur ya. Dan, sekiranya masih ada jatah usia. Semoga tidak ada laki-laki yang mendahului,” Akang menyerang Fajar lagi.

Gusti Allah! Hari ini Akang benar-benar sangat menyebalkan. Dahi Fajar melipat. Ingin rasanya Fajar menyerang balik. Namun sayang seribu kali sayang. Pada kesempatan kali ini Fajar tidak memiliki cukup amunisi. Dan pada akhirnya, Fajar hanya bisa diam. Ia tidak mampu melawan. Fajar sudah seperti rakyat jelata. Sedangkan Akang adalah rajanya. Sedikit saja melakukan kesalahan. Maka Fajar akan dihukum pancung.

Tanpa Fajar sadari, Akang melepas senyumnya. Akang sudah tidak tahan lagi dalam menahan kedua ujung bibirnya untuk tidak melebar. Kasihan juga temanku yang butuh bantuan moril ini. Ujar Akang dalam hati. Baiklah, saya akan coba untuk membantumu. Membantu semampu yang saya bisa.

Akang menutup buku. Ia bergeser menghadap Fajar. Akang tersenyum. Bersiap untuk menguatkan hati Fajar. Bersiap memberikan setumpuk tameng untuk Fajar yang sedang diserang puluhan, bahkan ratusan torpedo kerinduan.  
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar