Kami
memanggilnya Ibu Jono. Sesungguhnya, hingga hari ini, saya belum tahu
nama asli beliau. Kami menyebut beliau Ibu Jono, sebab almarhum suaminya
adalah Bapak Jono.
Dalam satu
Minggu, setidaknya dua kali kami mengunjungi rumah ibu Jono. Yaitu
setiap hari Senin dan Kamis. Secara bergantian, dua orang santri
mengambil makanan untuk buka puasa sunnah para santri.
Pagi
ini, suatu kebahagiaan bagi santri, ibarat mentari pagi yang cerah, ibu
Jono berkunjung ke asrama santri ikhwan. Saat itu hanya ada dua orang
yang tersisa di asrama, yakni saya dan Tian. Kami terima sang tamu
istimewa itu dengan sambutan sehangat mungkin yang kami bisa.
Kami bertiga duduk di ruang tamu. Ibu Jono duduk di sofa dekat pintu.
Tian memilih sofa tengah. Sementara saya kebagian kursi empuk yang
paling jauh dari pintu. Kami membuka obrolan dengan saling bertanya
kabar. Ibu Jono bertanya bagaimana kabar para santri dan saya menanyakan
hal yang serupa pada wanita istimewa itu. Adalah tentang kabar beliau
dan keluarganya. Kemudian ibu Jono bertanya tentang keadaan pesantren.
Saya dan Tian hanya menjawab yang kami ketahui saja. Lebih dari batas
pemahaman kami, saya dan Tian hanya menjawab dengan kalimat "tidak tahu,
Bu" saja. Tentunya dengan dibumbui sebuah gelengan dan senyum tipis
saja.
Di ruang tamu, kami berbincang selama dua jam. Dari jam
sembilan hingga jam sebelas. Waktu selama itu, seperti hanya sekejapan
mata bagi saya. Sebab kami sangat larut dalam isi obrolan. Terlebih bagi
saya pribadi. Ada banyak pelajaran hidup yang saya petik dari penggalan
kisah hidup yang telah dilewati oleh ibu Jono dan keluarga. Saya pikir
buah-buah matang yang telah saya petik dari pohon kehidupan ibu Jono,
harus saya ikat dengan tulisan. Sebagaimana yang telah diucapkan oleh
imam Syafi'i, bahwa ilmu itu ibarat hewan buruan, maka ikatlah ia dengan
tulisan. Dan, diantara buah ranum nan segar yang saya petik itu adalah
sebagai berikut:
Satu. Ibu Jono adalah seorang pensiunan guru
matematika. Dalam perjalanan karirnya, beliau pernah menjabat sebagai
kepala sekolah SMA.
"Justru, yang sekarang jadi orang, itu
adalah siswa-siswa yang nakal. Kebanyakan dari mereka pernah saya
tampar," ibu Jono menyimpulkan beberapa peristiwa yang ia ceritakan pada
saya dan Tian. Kemudian diakhiri dengan tawa yang lepas.
"Walau mereka nakal, tapi mereka nurut. Mereka sangat hormat pada guru.
Tidak seperti sebagian murid sekarang yang manja, yang kena cubit
sedikit sudah lapor polisi. Gurunya sendiri dipenjarakan. Sulit untuk
mendapatkan keberkahan ilmu jika seperti itu," tambah ibu Jono.
Dilain kisah, wajah ibu Jono sumringah saat menceritakan bagian yang
ini. "Kalau ada siswa yang tidak bisa mengerjakan soal matematika, saya
suruh duduk di meja saya, saya perintahkan mereka untuk mengerjakannya
di samping saya. Dan lucunya, biasanya mereka jadi bisa," ibu Jono
kembali tertawa lepas.
"Kalo Aa Gym, saat dia kesulitan
mengerjakan soal, biasanya dia seperti ini," ibu Jono mengemut ibu jari
tangan kanannya. Mencoba menirukan tingkah salah satu muridnya dulu.
Kemudian ibu Jono tertawa lagi.
"Hormat pada guru, maka ilmu kita akan bermanfaat," ibu Jono menyimpulkan.
Dua. Semua anak ibu Jono, kini telah menjadi orang. Satu diantaranya tinggal di Kanada. Semuanya jebolan universitas ternama.
"Dulu, universitas hanya ada sedikit. Sekarang mah banyak. Dulu, susah
mengajak orang untuk sekolah. Harus dipaksa, harus ditarik-tarik dulu.
Mbak saya juga sudah nikah ketika kelas empat SD," kenang ibu Jono.
"Pendidikan itu penting. Penting sekali. Kita harus sekolah untuk
mendapatkan ilmu. Semua anak saya wajib kuliah. Hanya anak bungsu yang
dulu tidak mau kuliah. Dia matematikanya lemah. Dia bilang ingin kerja
saja," ujar ibu Jono.
"Saya bilang pada dia 'Ibu itu sarjana,
kamu tidak malu kalau hanya lulus SMA saja, orang ibunya saja bisa jadi
sarjana kok, masa anaknya tidak'. Setelah itu dia mau kuliah juga. Dan
lulus sebagai sarjana hukum," kata ibu Jono.
"Setiap pagi,
sebelum berangkat sekolah, saya selalu mentitahkan untuk solat dhuha
pada anak-anak saya. Setelah itu baca AlQur'an minimal satu ayat. Setiap
hari harus seperti itu," jelas ibu Jono pada saya dan Tian. Kami berdua
mengangguk pelan. Kagum dengan setiap kalimat dari ceritanya.
Tiga. Kami, para santri, mengenal ibu Jono sebagai sosok yang dermawan.
"Saya dan almarhum bapak, sepakat untuk selalu berbagi rezeki pada
sesama. Selama kami ada rezeki lebih, bapak selalu mengingatkan saya
untuk berbagi. Saya selalu berdo'a pada Allah, 'Yaa Allah, mohon selalu
ingatkan saya untuk terus berbagi'. Pokoknya hidup itu harus berbagi,"
Tutur ibu Jono.
"Kamu pasti ingat saat bapak meninggal?" Ibu Jono bertanya pada saya.
Saya mengangguk.
Benar, saat itu bapak Jono solat ashar di mesjid pondok. Selepas solat,
saat turun dari tangga, beliau jatuh. Penyakitnya kambuh. Asatidz dan
para santri membantu bapak Jono. Beliau dibawa ke rumah sakit terdekat.
Dan, tidak lama setelah itu, bapak Jono meninggal.
"Sehari
sebelum kepulangannya, ternyata bapak membagi-bagikan sebungkus tahu
pada semua warga komplek. Saya sendiri tidak tahu itu. Saya baru tahu
setelah bapak tiada. Para warga yang menceritakannya. Bapak itu sering
berbagi. Bapak itu selalu berbagi." Kenang ibu Jono.
Empat.
"Kita harus mengalah demi kebaikan. Alhamdulillah, selama hidup, saya
tidak pernah memiliki musuh. Kita harus berbaik sangka pada siapapun.
Pokoknya, selama nama kita tidak disebut, meski arahnya tertuju pada
kita, kita jangan marah. Meskipun smesh-annya pada kita, selama nama
kita tidak disebut, kita harus husnudzon saja bahwa itu bukan untuk
kita." Nasihat ibu Jono.
"Meski ada yang memusuhi kita, kita
harus tetap berbuat baik. Kita harus mewariskan kebaikan untuk keturunan
kita. Ingat! Karma itu ada! Jika kita menendang orang, pasti nanti kita
juga akan ditendang orang. Jika tidak terjadi pada kita, pasti anak
atau cucu kita akan ditendang orang. Karenanya kita harus selalu berbuat
baik. Agar kita bisa mewariskan kebaikan untuk anak dan cucu kita
nanti."
Kemudian ibu Jono mengisahkan bagaimana
keajaiban-keajaiban yang menyapa hidup beliau bersama bapak Jono. Setiap
kali keajaiban itu datang, setiap itu juga mereka mengucap syukur. Pada
beberapa kejadian yang di luar logika, ibu Jono selalu melakukan sujud
syukur. Jujur, saya dibuat kagum dengan kisah ibu Jono dan bapak Jono.
Pada kebaikan mereka. Dan pada semua keajaiban yang dianugerahkan Allah
pada mereka. Saya takjub.
Di sela-sela ibu Jono menceritakan kisahnya dengan bapak Jono, saya tidak tahan untuk mengajukan sebuah pertanyaan.
"Ibu," saya mencuri tanya pada jeda ceritanya. "Saya boleh tanya?"
"Iya." Ibu Jono mempersilahkan.
"Selama hidup bersama bapak, saya pikir pasti pernah ada perbedaan
pendapat, atau mungkin sampai bertengkar. Nah, jika itu sedang terjadi,
bagaimana ibu dan bapak menyelesaikannya?"
Ibu Jono tersenyum menatap saya. Wajah beliau sumringah seperti segera ingin menjawab pertanyaan saya.
"Kami tidak pernah bertengkar mulut. Tidak pernah ada suara."
Saya mengernyitkan dahi. Maksudnya?
Ibu Jono paham tatapan saya.
"Kami bertengkar lewat surat."
"Surat?!" Mata saya membulat. Kening bergelombang.
"Jika sedang kesal, saya marah lewat surat. Saya simpan surat itu di
meja. Setelah itu bapak juga membalas dengan surat. Pokoknya, jika kami
sedang bertengkar, anak-anak tidak boleh ada yang tahu. Mereka harus
tahunya kami baik-baik saja," jelas ibu Jono.
"Yang paling
membuat saya kesal itu, jika bapak sedang marah, larinya pasti ke
makanan. Semua makanan yang ada di rumah pasti habis. Pernah kue satu
toples dilahap habis. Pernah juga makanan satu meja dihabiskan," lalu
ibu Jono tertawa lepas sebab kenangan ini.
"Waktu itu bapak
pernah kesal. Saya tahu dia sedang marah. Saya segera ambil sebagian
makanan yang ada di meja. Saya sembunyikan di lemari. Sebab jika tidak
begitu, semua makanan di atas meja pasti habis," ibu Jono tertawa lagi.
Ini adalah beberapa buah manis yang saya petik dari obrolan kami.
Seperti yang sudah saya tuliskan di depan. Pagi ini, ibu Jono laksana
mentari pagi. Kedatangannya menghangatkan pagi saya hari ini. Terima
kasih ibu Jono. Terima kasih bapak Jono. Dan terima kasih Allah, karena
telah menuntun hidup saya hingga bertemu dengan sepasang Romeo dan
Juliet-nya Indonesia. Saya tidak melebih-lebihkan permisalan ini ya.
Sebab ibu Jono sendiri yang mengatakannya pada saya.
"Jika sedang bergandengan bersama bapak. Warga selalu memanggil kami dengan sebutan Romi dan Yuli, hehehe..."
Demikian.
***
Selasa, 06 September 2016
Senin, 18 April 2016
Kesehatan Kita, Juga Milik Mereka
Seorang
teman, namanya Eris, kawan satu kamar di daarul haliim. Mengirim sepotong kalimat
yang tidak begitu panjang di grup whats app santri. Meski pendek, tapi memiliki rasa yang sangat lezat menurut
saya. Kurang lebih isinya seperti ini:
Mari jaga kesehatan. Sebab bukan
hanya dirimu yang membutuhkan kesehatanmu. Tapi juga amanah yang sedang
menggelayut di pundakmu. Masih ingat bagaimana dampak yang timbul ketika Pak
Satim sakit? Sampah menumpuk di setiap depan rumah. Hingga kita harus
membersihkannya sampai larut malam. Maka jagalah kesehatan. Tidak sekedar untuk
dirimu. Tapi juga bagi amanah yang butuh kesehatanmu.
Sebuah deretan
kata yang hanya terdiri dari beberapa kalimat. Tapi langsung menusuk hati kala
saya selesai membacanya. Tidak main-main. Ujung pisau kalimat itu menghujam ke
dasar hati. Bagaimana tidak? Sebab saya adalah satu dari beberapa aktor dalam
peristiwa yang Eris kutip dalam kalimatnya. Agar lebih jelas, saya akan coba
kisahkan lagi episode itu. Begini:
Adalah pak
Satim. Usianya setengah baya. Beliau adalah tim keamanan sekolah daarul fikri
yang lokasinya hanya sepelemparan batu dari ponpes daarul haliim. Tugas jaga
sang juru keamanan ini dimulai dari setelah isya hingga menjelang adzan subuh. Begitu
terus setiap hari. Selain pekerjaan pokok ini, pak Satim juga memiliki
pekerjaan sampingan. Yaitu sebagai petugas kebersihan komplek perumahan sekitar
daarul haliim. Saban pagi pak Satim mendorong gerobak berkeliling komplek, untuk
mengambil plastik sampah yang sudah setia menunggunya di depan rumah warga. Butuh
beberapa kali balikan bagi pak Satim hingga plastik-plastik itu ludes dan berpindah
tempat ke pembuangan akhir. Menjelang siang hingga sore hari, jika sedang ada
di asrama, tidak saya temukan lagi sosok pak Satim. Sepertinya itu adalah jam
istirahat beliau. Penampakan pak Satim dapat dilihat lagi malam hari. Di pos
jaga depan sekolah daarul fikri.
Suatu hari,
pak Satim sedang tidak sehat. Hingga menyebabkannya memohon izin dari
pekerjaannya sebagai penjaga malam. Otomatis tugasnya sebagai juru kebersihan
juga alpa. Kemudian apa yang terjadi dengan pos satpam? Tentunya sekolah menugaskan
pengganti selama pak Satim sakit. Lalu bagaimana dengan nasib plastik sampah di
setiap rumah warga? Hari pertama ketiadaan pak Satim belum terasa efeknya. Tapi
apa yang terjadi setelah hari-hari berikutnya? Pelan-pelan plastik sampah
menumpuk di halaman depan rumah warga. Hingga akhirnya asatidz daarul
haliim mewasiatkan kepada para santri ikhwan dewasa untuk mengamalkan ilmu yang
telah dimiliki. Satu kalimat saja yang dikutip. Yaitu: Kebersihan adalah
sebagain dari iman. Alhasil, pasukan santri ikhwan turun. Kami menyingsingkan
lengan baju. Pada kalimat “menyingsingkan lengan baju” ini merupakan kalimat
denotatif. Kalimat dengan arti yang sebenarnya. Bukan apa-apa, kami khawatir
baju kami kotor dicium sampah, hehe... Kami lembur membasmi sampah hingga larut
malam. Setelah rampung, kami langsung tepar.
Kembali pada
kalimat dari whats app Eris di atas. Kisah tentang pak Satim ini bisa
kita jadikan sebagai pelajaran. Pelajaran agar kita selalu menjaga kesehatan
diri. Tubuh adalah amanah dari Allah. Yang namanya amanah tentunya harus kita
jaga agar tubuh senantiasa dalam kebugaran. Banyak peluang kebaikan yang bisa
kita lakukan dengan kondisi tubuh yang prima. Lain halnya jika tubuh kita
sedang sakit. Akan terasa berat meski hanya untuk menggeser pintu kebaikan
supaya bisa terbuka. Lebih jauh lagi, dan ini adalah memang maksud utama dari
tulisan kali ini. Sebab bukan hanya diri kita yang membutuhkan kesehatan
kita. Tapi juga amanah yang sedang menggelayut di pundak masing-masing dari
kita. Mari kita jaga kesehatan. Dengan rutin berolahraga, juga
mengkonsumsi makanan sehat. Serta masih banyak lagi upaya untuk memperoleh
kesehatan lainnya. Jika sekiranya kita tetap disapa sakit padahal telah sekuat
tenaga dan jiwa menjaga kesehatan. Itu adalah lain cerita. Allah pasti memiliki
rencana lain. Tentunya adalah rencana terbaik bagi kita. Tugas kita adalah
hanya berusaha saja. Berusaha untuk menunaikan amanah terhadap tubuh kita. Begitu.
***
Sabtu, 09 April 2016
Bersihkan Dulu, Lalu Berhias
Seperti biasa, malam Jum'at adalah jadwal para santri laki-laki
besar ponpes Daarul haliim berkumpul di teras depan rumah Kyai Rofiq. Agendanya
adalah mengaji. Lebih tepatnya mengaji khusus untuk para santri ikhwan generasi
pertama.
"Untuk ngaji malam Jum'at di rumah saya, sementara santri
ikhwan yang besar-besar dulu," kurang lebih kalimat ini yang dulu kyai
Rofiq ucapkan pada kami.
Satu kebiasaan kyai Rofiq sebelum mulai pengajian adalah membawa
setumpuk makanan. Dan yang tidak pernah terlewatkan adalah buah-buahan.
Biasanya kyai membawa nampan dari dalam, kemudian meletakan makanan dan
buah-buah di nampan itu pada meja di hadapan para santri. "Silahkan
dimakan dulu," tawar kyai Rofiq.
Jika sudah begitu, biasanya santri saling tatap. Tidak ada bahasa
memang, tapi mata mereka yang berbicara. "SIKAT!" mungkin itu arti
dari tatapan para santri. Awalnya, tidak ada pergerakan dari santri. Sependek
pengamatan saya, tangan para santri mulai ada pergerakan ketika kyai Rofiq
menawarkan untuk yang kedua kalinya. "Silahkan dimakan!". Pelan-pelan
tangan santri merayap di atas meja. Tentunya dengan mata masih saling
memandang. Saat kyai beranjak masuk rumah. Tanpa ada komando, kecepatan tangan
santri seolah menyerupai kecepatan cahaya. Serempak mereka menerkam isi nampan.
Tidak terkecuali juga tangan saya, hehe.
Episode kali ini, kyai Rofiq menjelaskan tentang kebersihan diri.
"Kata imam Ghozali, agama itu dua, yaitu perintah dan larangan.
Dari kedua hal ini, mana yang harus kita dahulukan? Yang harus kita dahulukan
adalah larangan," jelas kyai Rofiq. Kami, para santri, duduk terpaku
menatap sang kyai.
"Imam Ghozali juga berkata, bahwa asal agama itu adalah
larangan. Perintah itu terbatas waktu dan tempat. Sementara larangan
tidak." Jelas kyai Rofiq menambahkan.
"Contoh, kita diperintahkan untuk solat. Solat itu ada waktu-waktunya. Dalam sehari kita diwajibkan solat lima kali. Setiap solat ada waktunya masing-masing. Kemudian, adakah solat setelah solat subuh sampai terbit matahari? Lalu adakah solat setelah ashar hingga terbenam matahari? Tidak ada kan? Lha, inilah maksud dari perintah itu ada batas waktu dan tempatnya."
"Kemudian, setiap bulan Ramadhan, kita ada kewajiban membayar
zakat fitrah. Lalu apakah bisa kita berzakat fitrah di bulan selain Ramadhan?
Tentu tidak akan bisa kan? Inilah maksud perintah terbatas waktu dan tempat
itu."
"Sekarang kita berpindah pada larangan," kyai Rofiq
memberi jeda. Sekedar membiarkan kami untuk berpikir. "Misalkan berzinah.
Melakukan perzinahan itu haram bagi siapapun. Baik muda maupun tua. Apakah
kemudian berzinah boleh dilakukan saat seseorang sudah mencapai usia 40 tahun
misalnya? Tidak kan?! Tetap saja tidak boleh. Inilah bukti bahwa larangan tidak
terbatas waktu dan tempat." jelas kyai Rofiq. Mata beliau menyisir mata
para santri. Saya menunduk.
"Dari sini kita tahu bahwa, menghindari keharaman dan
kemaksiatan, itu harus didahulukan dari melakukan ibadah. Membersihkan hati dan
diri itu harus didahulukan dari menghias. Ibaratnya seperti ini, apa gunanya
kita memakai baju bagus, jika kita belum mandi?" kyai memberi pertanyaan
retoris.
"Nabi berkata, takutlah dengan perkara haram, maka engkau akan
menjadi orang yang paling ahli ibadah." kyai mengutip kalimat Rasul. Lalu
melanjutkan ucapannya. "Kuncinya adalah selalu merasa diawasi Allah. Jika
sudah begitu, insyaAllah tidak akan melakukan maksiat. Lalu bentuk syukurnya
adalah dengan melakukan ibadah kepada Allah."
"Baik, segini saja dulu untuk ngaji malam ini. Sedikit, tapi
mudah-mudahan meresap ke dalam hati. Seperti biasa, setelah ini kita akan
dzikir bersama." kyai Rofiq menutup pengajian.
Kyai masuk rumah. Mematikan lampu teras depan. Biasanya kami dzikir
dengan lampu padam. Disela-sela dzikir, sebagian santri terisak. Mereka
menangis. Saya selalu iri pada mereka. Saya juga ingin seperti mereka.
"Silahkan menangis, sebab hati yang lembut itu mudah menangis
jika ingat dosa. Air mata yang menetes karena takut dosa, kelak akan menjadi
penghalang pemiliknya masuk neraka," lirih kyai Rofiq di tengah dzikir.
"Hati yang keras adalah hati yang sulit nangis meski ingat dosa,"
kyai menambahkan. Mendengar kalimat kyai, saya takut, ingat dosa yang menumpuk,
dan akhirnya mewek juga. Hehe.
Masya
Allah, banyak pelajaran berharga yang saya peroleh dari pengajian malam
Jum'at kali ini. Dan kalimat yang masih terngiang di telinga hingga detik ini.
Bahkan hingga detik saya membuat tulisan ini. Adalah "Apa gunanya memakai
baju bagus, jika kita tidak mandi. Membersihkan, itu didahulukan daripada
menghias diri". Wallahu'alam.
***
Minggu, 27 Maret 2016
Amalkan
Dulu,
ketika saya SMA, guru saya pernah bilang bahwa banyak teman masa kuliahnya yang
berasal dari Malaysia. Dan itu tidak hanya satu dua guru saja yang mengatakan
kalimat itu. Masih ada beberapa guru lagi yang menyuarakan kata-kata yang sama.
Sekarang, saat saya kuliah, tidak sedikit juga dosen yang mengatakan bahwa ada
banyak mahasiswa asal Malaysia yang kuliah di Indonesia. Tapi itu dulu. Sekarang
lain lagi ceritanya. kisah telah berbalik. Bahwa sekarang, justru mahasiswa
Indonesia yang banyak menempuh studi di negeri Jiran. Termasuk beberapa rekan
saya yang lebih memilih melanjutkan kuliah ke Malaysia ketimbang di negerinya
sendiri.
Menurut
humas kedutaan Indonesia di Kuala Lumur, bapak Eka A. Suripto, mahasiswa
Malaysia yang belajar di Indonesia berjumlah 2.355 orang. Sedangkan mahasiswa
Indonesia yang menempuh studi di Malaysia berjumlah lebih dari lima ribu
pelajar. Waw, lebih dari dua kali lipatnya. Adanya pembalikan arus pendidikan
ini tentu bukan tanpa alasan. Boleh jadi sekarang kualitas pendidikan Malaysia
lebih baik dari Indonesia. Itulah mungkin yang menjadi alasan sebagian pelajar
Indonesia ingin belajar di negerinya Siti Nurhaliza.
Supaya lebih
benderang, mari kita lihat peringkat negara dengan kualitas pendidikan terbaik.
Tahun 2015. Ternyata jawaranya jatuh pada Singapura. Negeri kecil di pinggir
Selat Malaka itu menyalip Finlandia yang dalam 14 tahun terakhir secara
berturut-turut duduk di kursi puncak dengan kkualitas pendidikan terbaik. Lantas
Malaysia duduk di kursi nomer berapa? Adalah pada posisi nomer 52. Kemudian bagaimana
dengan Indonesia? Negeri kita ada pada 17 strip di bawah Malaysia. Indonesia
ada di urutan nomer 69. Jelas sudah sekarang, sepertinya memang kualitas inilah
yang manjadi penyebab utama dari perubahan arah arus pendidikan Indonesia dan
Malaysia.
Satu
pertanyaan yang bernyanyi-nyayi di kepala saya. Mengapa?
Dulu,
petronas (perusahaan minyak Malaysia) belajar pada pertamina (perusahaan minyak
Indonesia). Petronas belajar tentang production sharing contract
(kontrak bagi hasil). Jika diibaratkan, pertamina adalah gurunya, sedangkan
petronas adalah muridnya. Setelah banyak tahun terlewati, lalu apa yang terjadi
pada nasib dua perusahaan minyak negara itu? Data ini mungkin dapat
menjelaskannya. Pada index PIW (Petroleum Intelligent Weekly tahun 2007,
petronas ranking 17 untuk urutan perusahaan minyak. Sementara pertamina ada di
urutan 30. Sekarang ternyata sang guru posisinya ada di bawah si murid. Selain itu,
keuntungan tahun 2014, petronas mengantongi pundi-pundi sebesar 20 milyar dollar
Amerika. Sedangkan pertamina sangat-sangat jauh di bawah itu. Jika pun 138 BUMN
Indonesia digabung jadi satu, penghasilannya tetap tidak bisa melampaui
petronas seorang diri. 13,5 milyar dollar adalah jumlah keuntungan dari gabungan
banyak BUMN Indonesia. Weleh-weleh!
Pertanyaan
yang ada di kepala saya masih sama. Kenapa? Kenapa seperti ini? Dan pertanyaan
pendek ini telah lama bersemayam di otak saya. Lama sekali tidak kunjung
terjawab. Bertahun-tahun belum saya temui jawabannya. Hingga akhirnya, tanda
tanya besar ini baru saya temukan jawabannya. Dan itu saya temukan dari ucapan Bunda
asal Malaysia yang sedang belajar di pesantren Daarul haliim. Ponpes tempat
saya belajar sekarang. Saat itu sang Bunda berucap seperti ini. “Orang Indonesia
pinter-pinter. Ilmunya banyak dan tinggi. Kita orang Malaysia kalah. Tapi orang
Indonesia sedikit dalam mengamalkan ilmunya. Semantara kita orang Malaysia,
saat dapat ilmu, langsung diamalkan.”
Ternyata oh ternyata, inilah jawabannya. Sederhana
sekali sebenarnya. Adalah Pengamalan ilmu. Ini sejalan dengan
kalimat indah yang pernah dikatakan oleh Imam Ghozali. Bahwa semua orang
celaka, kecuali yang berilmu. Dan yang berilmu celaka, kecuali yang mengamalkan
ilmunya. Juga yang mengamalkan ilmunya celaka, kecuali yang mengamalkan ilmunya
dengan ikhlas.
Jika
boleh saya mengubah kalimat Imam Ghozali di atas yang ada kaitannya dengan
tulisan kali ini. Jadinya mungkin akan seperti ini: Semua negara terbelakang,
kecuali negara yang berilmu. Semua negara berlimu terbelakang, kecuali negara
yang mengamalkan ilmunya. Semua negara yang mengamalkan ilmunya terbelakang,
kecuali negara yang telah mengamalkan ilmunya dengan ikhlas. Titik.
Jika
kita mau merenungkan lebih jauh lagi. Sebuah negara, tidak terkecuali Indonesia,
adalah seumpama jasad. Sementara ruhnya itu adalah penduduk yang menempati
negara-negara tersebut. Kualitas jasad akan dipengaruhi oleh kualitas ruh di
dalamnya. Pun demikan, kualitas negara, baik atau tidaknya, juga dipengaruhi
oleh kualitas penduduk yang menempatinya. Jika kita ingin Indonesia tercinta
kita menjadi sebuah negara yang baik dan berjaya. Tentunya kita harus menjadi
seorang penduduk yang baik. Seorang penduduk yang terus belajar dalam mencari
ilmu. Seorang penduduk yang kemudian mengamalakan ilmunya. Seorang penduduk
yang mengamalkan ilmu-ilmunya dengan tulus ikhlas. Jika masing-masing dari kita
telah menjadi seperti itu. Maka akan terhimpun penduduk dengan kualitas super. Jika
sudah begitu, maka berjayanya Indonesia bukan hanya sekedar impian belaka. Demikian.
Wallahu’alam.
***
Sabtu, 26 Maret 2016
Going Extra Miles
Saya
simpan kaki kanan di tanah, bermaksud agar sepedah tetap berdiri seimbang. Mengapa
saya berhenti? Tujuannya hanya satu. Adalah karena sepak bola. Sebab anak-anak
itu sedang bermain bola. Saya ingin nonton. Sekaligus bernostalgia. Mengenang masa
kecil dulu.
Ingatan
langsung melesat ke masa lalu. Saat usia saya sama dengan umur anak-anak yang
sedang bermain bola. Di sana, di kampung saya. Di pesisir pantai barat pulau
jawa. Di Selat Sunda.
Adalah
Cipacung. Sebuah kampung kecil di kawasan wisata pantai Anyer, Banten. Tidak sedikit
penduduk Serang Barat yang menyebut Cipacung dengan julukan Brazilnya Serang
Barat. Mengapa? Sebab kampung kecil itu ibarat sebuah pabrik yang menghasilkan para
pemain sepak bola handal. Setidaknya untuk daerah Banten. Hampir setiap
generasi, ada saja pemuda Cipacung yang masuk klub sepak bola profesional yang
tersebar di kota jawara itu.
Kala
itu, saya ingin menjadi pemain di generasi saya yang mampu tembus tim
profesional. Tentunya saya harus melewati tahap seleksi terlebih dulu. Saat itu,
ada ratusan anak muda yang memiliki mimpi yang sama dengan impian saya. Kami
harus berjuang untuk menjadi bagian dari tim PERSERANG yang jumlahnya hanya sehitungan
jari tangan dan jari kaki saja. Jika ingin masuk, kuncinya hanya satu. Harus lebih
hebat skill sepak bolanya dari para kompetitor.
Satu
dari banyak kenangan yang masih saya ingat hingga hari ini adalah sebuah
kalimat pembakar semangat yang diteriakan oleh pelatih. Dengan tatapan tajam,
sang pelatih memandang kami.
“Kalian
harus tahu! Saingan kalian tidak hanya orang-orang yang ada di kiri dan kanan kalian
saja! Saingan kalian adalah seluruh pemain sepak bola yang ada di muka bumi
ini! Jika kalian ingin menjadi yang terbaik! Maka kalian harus pegang bola
lebih banyak! Kalian harus latihan lebih lama dari yang lain! Going extra
miles!!!!”.
Mendengar kalimat
itu. Semangat saya mendidih hingga ke ubun-ubun. Sejak hari itu saya berlatih
lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. Singkat cerita, Takdir Allah, saya menjadi
bagian dari klub impian itu. Saya menjadi pemain PERSERANG. I make my drams
come true.
Point yang
ingin saya angkat dari tulisan kali ini adalah tentang melakukan lebih. Melakukan
lebih untuk mendapatkan yang lebih pula. Orang-orang besar di bidangnya
masing-masing, sebelum mereka menginjakkan kakinya di puncak tertinggi hari ini,
ada sesuatu yang sangat besar yang harus mereka bayarkan untuk mendapatkan
semuanya. Niat yang besar. Pengorbanan yang besar. dan tentunya rintihan do’a
yang besar pula.
Sebut saja
Rudi Hartono. Sang legenda hidup milik Indonesia. Dalam dunia bulu tangkis,
siapa yang tidak kenal dia. Tidak hanya terkenal di Nusantara, tapi juga di seantero
dunia. Bagaimana tidak. Sampai detik ini, belum ada atlet yang mampu menyamai
prestasinya di ajang All England. Sebuah kompetisi bintang lima dalam olahraga
bulu tangkis. Rudi Hartono menyabet juara delapan kali. Tujuh diantaranya dia
raih dengan berturut-turut. Sebuah prestasi yang sangat membanggakan negeri.
Saat saya
membaca kisah hidup sang legenda hidup itu. Ternyata rahasianya hanya satu. Sang
Rudi Hartono kecil berlatih lebih banyak dari teman-temannya. Dia rela
berangkat lebih pagi agar bisa berlatih lebih lama dari yang lain. Dan itu
tidak dia lakukan hanya dalam beberapa hari saja. Tapi dilakukan sepanjang masa
dia menempa diri di kawah candradimuka. Sebelum kelak keluar dari kawah
dan menjelma menjadi super hero bulu tangkis yang tiada duanya.
Apakah sudah
cukup dengan kisah Rudi Hartono? Jika belum, saya akan kutip kisah agung dari
seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Sebelum masuk islam, nama sahabat ini adalah
Abdus Syams. Ketika sudah memeluk islam, namanya diganti oleh Rasulullah SAW,
menjadi Abdur Rahman. Sebab beliau sering membawa anak kucing, maka orang-orang
menjulukinya dengan sebutan Abu Hurairah.
Abu Hurairah
terkenal dengan ingatannya yang sangat kuat. Terbukti beliau adalah seorang
sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Abu Hurairah masuk islam
belakangan. Yaitu empat tahun sebelum wafatnya baginda nabi. Sebab itu, setelah
menjadi muslim, Abu Hurairah selalu mengikuti kemanapun Rasul pergi. Dia membersamai
Rasul kemana saja. Niatnya hanya satu. Ingin menyecap manisnya ilmu langsung
dari manusia paling Agung, yakni Rasulullah SAW.
Saat baginda
nabi wafat, Abu Hurairah mengajarkan banyak hadits. Karena saking banyaknya
hadits yang diajarkan, tidak sedikit sahabat yang heran. Pertanyaan yang terbit
di pikiran para sahabat itu adalah: Mengapa Abu Hurairah banyak sekali
menghafal hadits? Padahal dia masuk islam belakangan? Masih banyak sahabat yang
masuk islam lebih dulu darinya.
Ketika mendengar
pertanyaan-pertanyan itu, ini jawaban hebat yang keluar dari mulut Abu
Hurairah: Benar, saya memang masuk islam belakangan. Banyak sahabat yang
lebih dulu bersyahadat dari saya. Perlu diketaui, saya adalah orang miskin. Saya
tidak pandai berniaga seperti para sahabat Muhajirin. Saya juga tidak memiliki
lahan, dan tidak bisa berkebun layaknya para sahabat Anshor. Karena itu saya
selalu berada dekat dengan Rasul. Saya ingin lebih banyak dekat dengan baginda
nabi. saya ingin meneguk manisnya ilmu dari beliau. Mungkin sebab itu saya hafal
lebih banyak hadits.
Kata kunci
dari jawaban Abu Hurairah adalah bahwa beliau lebih banyak bersama nabi
dibanding dengan para sahabat lain. Sebab itu, lebih banyak hadits yang beliau
hafal dibanding hadits yang dihafal sahabat-sahabat lain. Masya Allah.
Sekali lagi. Kuncinya
adalah going extra miles. Going extra miles-nya Rudi Hartono
adalah latihan lebih lama dari teman-temannya. Dan going extra miles-nya
Abu Hurairah adalah kebersamaannya dengan Rasul lebih banyak dari para
sahabat-sahabat lain. Kemudian, pertanyaan yang kemudian timbul adalah: Lalu
apa going extra miles milik kita? Mari kita gali. Agar kelak bisa
berdiri di puncak yang paling tinggi. InsyaAllah.
***
Langganan:
Postingan (Atom)