Dulu,
ketika saya SMA, guru saya pernah bilang bahwa banyak teman masa kuliahnya yang
berasal dari Malaysia. Dan itu tidak hanya satu dua guru saja yang mengatakan
kalimat itu. Masih ada beberapa guru lagi yang menyuarakan kata-kata yang sama.
Sekarang, saat saya kuliah, tidak sedikit juga dosen yang mengatakan bahwa ada
banyak mahasiswa asal Malaysia yang kuliah di Indonesia. Tapi itu dulu. Sekarang
lain lagi ceritanya. kisah telah berbalik. Bahwa sekarang, justru mahasiswa
Indonesia yang banyak menempuh studi di negeri Jiran. Termasuk beberapa rekan
saya yang lebih memilih melanjutkan kuliah ke Malaysia ketimbang di negerinya
sendiri.
Menurut
humas kedutaan Indonesia di Kuala Lumur, bapak Eka A. Suripto, mahasiswa
Malaysia yang belajar di Indonesia berjumlah 2.355 orang. Sedangkan mahasiswa
Indonesia yang menempuh studi di Malaysia berjumlah lebih dari lima ribu
pelajar. Waw, lebih dari dua kali lipatnya. Adanya pembalikan arus pendidikan
ini tentu bukan tanpa alasan. Boleh jadi sekarang kualitas pendidikan Malaysia
lebih baik dari Indonesia. Itulah mungkin yang menjadi alasan sebagian pelajar
Indonesia ingin belajar di negerinya Siti Nurhaliza.
Supaya lebih
benderang, mari kita lihat peringkat negara dengan kualitas pendidikan terbaik.
Tahun 2015. Ternyata jawaranya jatuh pada Singapura. Negeri kecil di pinggir
Selat Malaka itu menyalip Finlandia yang dalam 14 tahun terakhir secara
berturut-turut duduk di kursi puncak dengan kkualitas pendidikan terbaik. Lantas
Malaysia duduk di kursi nomer berapa? Adalah pada posisi nomer 52. Kemudian bagaimana
dengan Indonesia? Negeri kita ada pada 17 strip di bawah Malaysia. Indonesia
ada di urutan nomer 69. Jelas sudah sekarang, sepertinya memang kualitas inilah
yang manjadi penyebab utama dari perubahan arah arus pendidikan Indonesia dan
Malaysia.
Satu
pertanyaan yang bernyanyi-nyayi di kepala saya. Mengapa?
Dulu,
petronas (perusahaan minyak Malaysia) belajar pada pertamina (perusahaan minyak
Indonesia). Petronas belajar tentang production sharing contract
(kontrak bagi hasil). Jika diibaratkan, pertamina adalah gurunya, sedangkan
petronas adalah muridnya. Setelah banyak tahun terlewati, lalu apa yang terjadi
pada nasib dua perusahaan minyak negara itu? Data ini mungkin dapat
menjelaskannya. Pada index PIW (Petroleum Intelligent Weekly tahun 2007,
petronas ranking 17 untuk urutan perusahaan minyak. Sementara pertamina ada di
urutan 30. Sekarang ternyata sang guru posisinya ada di bawah si murid. Selain itu,
keuntungan tahun 2014, petronas mengantongi pundi-pundi sebesar 20 milyar dollar
Amerika. Sedangkan pertamina sangat-sangat jauh di bawah itu. Jika pun 138 BUMN
Indonesia digabung jadi satu, penghasilannya tetap tidak bisa melampaui
petronas seorang diri. 13,5 milyar dollar adalah jumlah keuntungan dari gabungan
banyak BUMN Indonesia. Weleh-weleh!
Pertanyaan
yang ada di kepala saya masih sama. Kenapa? Kenapa seperti ini? Dan pertanyaan
pendek ini telah lama bersemayam di otak saya. Lama sekali tidak kunjung
terjawab. Bertahun-tahun belum saya temui jawabannya. Hingga akhirnya, tanda
tanya besar ini baru saya temukan jawabannya. Dan itu saya temukan dari ucapan Bunda
asal Malaysia yang sedang belajar di pesantren Daarul haliim. Ponpes tempat
saya belajar sekarang. Saat itu sang Bunda berucap seperti ini. “Orang Indonesia
pinter-pinter. Ilmunya banyak dan tinggi. Kita orang Malaysia kalah. Tapi orang
Indonesia sedikit dalam mengamalkan ilmunya. Semantara kita orang Malaysia,
saat dapat ilmu, langsung diamalkan.”
Ternyata oh ternyata, inilah jawabannya. Sederhana
sekali sebenarnya. Adalah Pengamalan ilmu. Ini sejalan dengan
kalimat indah yang pernah dikatakan oleh Imam Ghozali. Bahwa semua orang
celaka, kecuali yang berilmu. Dan yang berilmu celaka, kecuali yang mengamalkan
ilmunya. Juga yang mengamalkan ilmunya celaka, kecuali yang mengamalkan ilmunya
dengan ikhlas.
Jika
boleh saya mengubah kalimat Imam Ghozali di atas yang ada kaitannya dengan
tulisan kali ini. Jadinya mungkin akan seperti ini: Semua negara terbelakang,
kecuali negara yang berilmu. Semua negara berlimu terbelakang, kecuali negara
yang mengamalkan ilmunya. Semua negara yang mengamalkan ilmunya terbelakang,
kecuali negara yang telah mengamalkan ilmunya dengan ikhlas. Titik.
Jika
kita mau merenungkan lebih jauh lagi. Sebuah negara, tidak terkecuali Indonesia,
adalah seumpama jasad. Sementara ruhnya itu adalah penduduk yang menempati
negara-negara tersebut. Kualitas jasad akan dipengaruhi oleh kualitas ruh di
dalamnya. Pun demikan, kualitas negara, baik atau tidaknya, juga dipengaruhi
oleh kualitas penduduk yang menempatinya. Jika kita ingin Indonesia tercinta
kita menjadi sebuah negara yang baik dan berjaya. Tentunya kita harus menjadi
seorang penduduk yang baik. Seorang penduduk yang terus belajar dalam mencari
ilmu. Seorang penduduk yang kemudian mengamalakan ilmunya. Seorang penduduk
yang mengamalkan ilmu-ilmunya dengan tulus ikhlas. Jika masing-masing dari kita
telah menjadi seperti itu. Maka akan terhimpun penduduk dengan kualitas super. Jika
sudah begitu, maka berjayanya Indonesia bukan hanya sekedar impian belaka. Demikian.
Wallahu’alam.
***