Kamis, 21 Desember 2017
Anak Krakatau
"Alhamdulillah. Setelah sekian lama, akhirnya sore ini bisa lengkap juga." Pak Okin tersenyum menatap tiga santri bimbingannya satu persatu. Nida, Zulfa, dan Putri membalas senyum ramah Pak Okin.
"Sebelum kita bergelut dengan soal-soal lagi. Saya ada kabar gembira untuk teman-teman."
"Asiiiik," Zulfa bersorak. Girang.
Bola mata Nida membulat. Sumringah bercampur penasaran.
"Apaan tuh Pak?" Putri tak sabar bertanya.
"Proposal kita di-ACC kepala sekolah. InsyaAllah Minggu depan kita akan ada kunjungan ke pos pengamatan gunung api Anak Krakatau di Pasauran," Pak Okin menutup kalimatnya dengan senyuman.
"Yeee, jalan-jalan!" Zulfa mengangkat kedua tangannya.
"Alhamdulillah," lirih Nida pelan. Kedua telapak tangannya menutup mulutnya sendiri. Gestur pertanda gembira.
"Pak Okin dan kita-kita aja yang berangkat? Atau gabung dengan cabang olimpiade lainnya juga?" Putri bertanya.
"InsyaAllah nanti kita akan gabung juga dengan tim olimpiade kebumian," jelas Pak Okin.
"Asiiik!" Seru Zulfa.
"Kita ngapain aja di sana Pak?" Tanya Putri.
"Banyak," jawab Pak Okin. "Kita akan mengamati Anak Krakatau dengan teropong. Kita akan melihat alat pencatat gempa."
"Seismograph?" Potong Zulfa.
"Ya. Pokoknya kita akan belajar banyak di sana." Lanjut Pak Okin. "Kita akan melihat lebih dekat gunung api yang disebut-sebut sebagai pemilik letusan terdahsyat dalam sejarah manusia modern."
Putri, Nida, dan Zulfa menatap Pak Okin. Letusan terdahsyat?! Pertanyaan serupa terlantun di kepala ketiga santri perempuan itu.
Mendapati tatapan ketiga santri bimbingannya seperti itu. Pak Okin tak sabar untuk melanjutkan tuturannya tentang gunung api yang bersemayam di selat Sunda. Laut sempit antara pulau Jawa dan Sumatra.
"Ya. Sampai sejauh ini. Letusan anak Krakatau pada tahun 1883 merupakan letusan terdahsyat di era manusia modern. Menurut bukti-bukti tertulis. Letusannya terdengar hingga ke Australia dan Afrika. Dentumannya sampai pada telinga seperdelapan penduduk dunia. Abu vulkaniknya mengelilingi dunia. Menutupi atmosfer bumi. Karenanya, dua tahun Eropa tidak menjumpai musim panas. Sebab sinar matahari hanya remang-remang saja akibat terhalang debu. Suhu global turun satu koma lima derajat saat itu."
"Selepas letusan dahsyat itu. Diikuti juga dengan bencana tsunami yang menelan korban lebih dari 36.000 jiwa. Jumlah yang sangat banyak ketika itu. Tidak terbayang jika letusan itu terjadi hari ini. Mungkin korbannya akan jauh lebih banyak dari angka itu."
Nida meringis mendengar penjelasan Pak Okin. Zulfa menyipitkan mata. Putri mengernyitkan dahi.
"Kira-kira nanti akan meletus lagi gak ya?" Zulfa bertanya lirih. Keningnya melipat.
"Tidak menutup kemungkinan itu akan terjadi lagi," Pak Okin menjawab pertanyaan cemas Zulfa. "Sampai hari ini ukuran gunung api Anak Krakatau terus bertumbuh." Tambah Pak Okin.
"Pak," Putri mengangkat tangan. "Saya penasaran kenapa namanya harus Anak Krakatau? Kenapa tidak Krakatau saja?"
Pak Okin tersenyum.
"Sebelum letusan 1883. Gunung api ini bernama Krakatau. Tapi karena letusan dahsyat yang saya tuturkan tadi. Massa gunung itu hancur. Dan empat puluh tahun pasca letusan. Dari kawah yang tersembunyi di dasar laut, muncul gunung baru. Gunung ini terus bertumbuh sampai hari ini. Pertumbuhannya sekitar lima meter pertahun. Gunung api Inilah yang sekarang kita sebut sebagai Anak Krakatau."
"Perlu teman-teman ketahui. Pada saat letusan dahsyat 1883. Gunung Krakatau tingginya sekitar 800 meter. Sekarang, Anak Krakatau tingginya sudah mencapai lebih dari 200 meter. Ingat. Tinggi ini adalah di atas permukaan laut ya. Anak Krakatau adalah Gunung api bawah laut. Jika kita ukurnya dari dasar laut, tingginya pasti akan jauh dari angka itu."
"Iiih, takuuut," Zulfa melirik Putri dan Nida.
"Hehe," Pak Okin tertawa renyah.
"Jika Anak Krakatau meletus kira-kira tsunaminya sampai ke kita gak ya? Sekolah kita kan lumayan tinggi dan jauh dari pantai." Nida melihat Pak Okin. Lalu melirik Zulfa dan Putri. Entah pertanyaan ini untuk Pak Okin atau untuk kedua teman di sampingnya. Atau mungkin untuk semuanya.
"Mungkin saja bisa sampai." Jawab Pak Okin. "Kenapa? Takut ya?"
Nida mengangguk.
"Hehe. Jangan takut. Kita semua pasti akan mati. Hanya saja: waktu, tempat, dan cara bagaimananya saja yang masih menjadi rahasia. Entah itu karena letusan Anak Kakatau atau bukan. Kita tidak akan pernah tahu. Dan sesungguhnya bukan itu yang perlu kita khawatirkan. Yang harus kita khawatirkan adalah dalam kondisi bagaimana kita meninggal nanti. Dalam kondisi baik atau tidak. Guru saya di pesantren dulu pernah bilang bahwa kita sering berdoa minta hidup enak dan baik. Tapi justru kita lupa untuk meminta mati dalam keadaan baik. Karena itu, teruslah berdoa meminta supaya kelak kita bisa meninggal dalam kondisi baik."
"Tapi tetap saja lumayan takut Pak, hehe." Putri tertawa kecil. "Semoga saja Anak Krakatau gak akan pernah meletus lagi. Aamiin."
"Aamiin." Ucap Zulfa dan Nida bersamaan.
"Lagian kalau meletus kan kasian Pak Okin-nya belum menikah, hehe." Ujar Putri bercanda. "Oya, omong-omong Pak Okin kenapa sih belum menikah? Saya pikir dengan usia Pak Okin sekarang sudah sangat layak untuk menikah. Dua kakak laki-laki saya saja sudah menikah semua lho Pak. Kakak yang pertama mungkin seusia dengan Pak Okin. Kakak saya yang Kedua lebih keren lagi. Dia menikah hanya selang satu minggu setelah sidang skripsinya."
"Gak. Pak Okin nikahnya nanti saja dua atau tiga tahun lagi. Nunggu angkatan kita lulus sekolah dulu," tukas Zulfa melirik Putri. Lalu Nida.
"Yeeey." Sahut Putri membalas.
Nida diam saja.
"Padahal guru-guru jomblo di sini cantik-cantik lho Pak Okin. Mungkin saja kan satu di antaranya ada yang suka pada Pak Okin, hehe." Putri menggoda.
"Gak boleh!" Ucap Zulfa.
Putri mengabaikan Zulfa. Ada senyum di bibirnya.
"Ibu Hilda cantik tuh Pak. Saya pikir cocok banget dengan Pak Okin, hehe." Putri menggoda Pak Okin lagi. "Tanda-tanda jodohnya sudah ada. Vespa Pak Okin dan motor maticnya bu Hilda sama-sama berwarna kuning. Hehe."
Pak Okin diam saja. Hanya sebuah senyum yang dia berikan.
"Kok senyum doang? Hayo ngaku. Pak Okin suka ya ke Bu Hilda?" Putri menyerang lagi.
"Pak Okin tahu tidak apa yang pernah Ayah saya katakan pada kedua kakak laki-laki saya sebelum keduanya menikah?" Putri bertanya. Tapi pertanyaan yang sesungguhnya tidak butuh jawaban Pak Okin. Sebab dijawab ataupun tidak. Putri akan kembali melanjutkan kata-katanya.
"Ayah bilang begini. Jika ada laki-laki yang sudah cukup usia tapi belum menikah juga. Maka itu menandakan bahwa laki-laki itu tergolong kedalam laki-laki yang lemah. Lemah dalam hal apa? Pertama adalah lemah iman. Biasanya alasan mereka belum menikah karena belum punya harta yang cukup. Mereka lupa bahwa Allah itu Maha Kaya. Allah telah menjamin akan membuka rezeki bagi siapa saja yang telah menikah. Ini janji Allah."
"Kedua adalah lemah mental. Mental mereka lemah dengan terus beralasan bahwa mereka belum yakin ataupun belum siap hati. Tapi sejatinya itu tiada lain dan tiada bukan hanya karena mental mereka saja yang sudah seperti tempe. Lembek."
"Ketiga adalah lemah komunikasi. Komunikasi dengan siapa? Yaitu komunikasi dengan orang tua. Yang lebih parah adalah mereka mengatakan belum dapat restu orang tua. Padahal ngomong saja belum."
"Dan yang terakhir. Ini adalah yang paling mengkhawatirkan." Putri menghentikan kalimatnya. Dia beranjak dari duduknya. Melangkah ke samping Nida. Sedikit menjauh dari kursi beton. Posisi berdirinya seperti sedang bersiap untuk melangkah.
"Dan yang terakhir," Putri melanjutkan kata-kata yang dulu pernah dikatakan Ayah untuk kedua kakaknya. "Kenapa seorang laki-laki belum juga menikah padahal sudah mencapai usia menikah? Adalah mungkin karena laki-laki itu," Putri menatap Pak Okin. Tersenyum. "Adalah mungkin karena laki-laki itu lemah syahwat. Hehe. Maaf Pak Okin. Saya hanya mengatakan apa yang Ayah saya katakan saja." Putri bergegas melangkah. "Saya izin ke toilet dulu ya Pak," Putri minta izin sambil melangkah cepat. Kemudian dia tertawa lepas.
Zulfa terbahak.
Nida membekap mulutnya menyembunyikan tawa.
Pak Okin hanya tersenyum saja. Entah perasaan apa yang ada di dadanya. Mungkin sedikit merasa tersentil. Atau mungkin juga merasa geli. Yang pasti tatapnya kini mengarah pada tumpukan kertas yang berisi soal-soal olimpiade geografi satu tahun yang lalu. Senyumnya belum mau pergi.
***
Jam lima lewat lima menit. Pak Okin sudah duduk di jok vespanya. Vespa warna kuning yang Pak Okin beri nama Si Mamat. Kenapa Si Mamat? InsyaAllah akan saya kisahkan asal mulanya nanti. Mungkin di episode berikutnya. Atau berikutnya lagi.
Nida, Zulfa, dan Putri berdiri bersisian menghadap vespa Pak Okin.
"Makasih untuk hari ini Pak ya," ujar Putri.
Pak Okin tersenyum. Lalu mengangguk.
"Maafkan saya soal yang tadi Pak. Itu niatnya cuma becanda saja, hehe." Tambah Putri.
"Iya. Kamu jahat Put," ucap Zulfa.
"Gak papa kok. Justru karena kalimat Ayah Putri itu saya jadi lebih sadar bahwa memang sepertinya saya harus segera menikah."
"Yeeee. Alhamdulillah," Putri bersorak. "Pak Okin tahu tidak. Pas umroh kemarin, saya menyelipkan sebuah doa untuk Pak Okin."
Pak Okin menggeleng.
"Di depan Kabah saya berdoa agar Pak Okin bisa mendapatkan istri yang baik dan cantik. Nurut pada titah Pak Okin." Bibir putri melebar. Tersenyum merekah. Kedua tangannya menggenggam tali tas hitam yang dia gendong.
Zulfa melihat Putri. Nida juga. Nida semakin erat memeluk buku-buku yang dia rengkuh di dadanya.
Bulatan mata Pak Okin berbinar. "Alhamdulillah. Makasih Putri. Semoga demikian juga dengan Putri nanti," Pak Okin balas mendoakan. "Semoga demikian juga dengan Nida dan Zulfa nanti. Aamiin."
Awan kelabu berarakan. Pelan-pelan menutup langit sore.
Pak Okin melihat langit. "Sepertinya akan hujan. Hayu kita pulang," ajak Pak Okin.
JGRES GRES. JGRESS GRESS.
Pak Okin menyalakan mesin vespanya.
GRENG GRENG GRRENG
Pak Okin memainkan gas.
"Saya duluan ya. Jangan lupa terus ulik semua soal-soalnya."
"Iya Pak. Hati-hati ya," ucap Putri.
Zulfa menoleh pada Putri. Nida diam saja. Menunduk. Erat memeluk buku.
"Assalamualaikum," Pak Okin pamit.
GRENG GRENG GRENG
Vespa kuning meluncur. Meninggalkan Nida, Putri, dan Zulfa.
Belum jauh Si Mamat meluncur. Gerimis berhamburan. Perlahan butiran air yang tertumpah dari langit menderas. Baju dan celana Pak Okin basah.
Si Mamat masih meluncur. Hujan bertambah deras. Sepertinya harus berteduh dulu. Pikir Pak Okin dalam hati.
Melihat saung di depan salah satu asrama santri perempuan. Pak Okin meminggirkan vespanya. Bermaksud berteduh di sana.
Vespa berhenti. Di standarkan. Buru-buru Pak Okin menuju saung. Tatapnya menunduk melihat jalan. Setengah berlari.
Alhamdulillah. Aman. Pak Okin mengkibaskan kemejanya. Juga celana. Bermaksud menghilangkan butiran air yang menempel.
Pak Okin melihat Si Mamat. Lalu pandangnya bergeser beberapa derajat ke sebelah kiri. Ada sebuah motor matic di sana. Motor matic warna kuning.
Pak Okin melirik ke saung bagian belakang. Ada seorang perempuan berdiri. Mematung. Adalah ibu Hilda. Pandang Pak Okin bertabrakan dengan tatap ibu Hilda. Reflek keduanya saling melempar senyum. Namun belum ada kalimat ataupun kata.
Pak Okin kembali melihat vespanya. Tangannya dia lipatkan di dada. Mencoba mengusir dingin. Jiwa Pak Okin perlahan menggigil. Entah tersebab hembusan angin yang menabrak tubuhnya. Atau entah karena isi dadanya yang penuh tanya. Kalimat apa yang harus dia keluarkan untuk menyapa seorang perempuan yang saat ini sedang berdiri tidak jauh di belakangnya.
Pak Okin masih mematung. Hujan bertambah deras. Cipratannya semakin besar membelai tubuh Pak Okin. Hembusan angin juga menguat.
WUSSSSSHHHH
Pak Okin menggigil.
***
Semangat Itu Menular
Lantas? Apakah benar semangat itu bisa menular? Jika boleh saya menjawab. Maka jawabannya adalah YA.
Oke. Saya akan bercerita dua buah kisah tentang semangat yang menular ini. Keduanya nyata. Begini.
Kisah pertama. Saya punya seorang teman. Namanya Yoga. Asal Subang,
Jawa Barat. Akan sangat panjang jika kisah kami saya ceritakan semua.
Saya akan berbagi sepenggalnya saja.
Beberapa hari yang lalu. Hape saya berdentang. Ada sebuah WA masuk. Dari Yoga. Begini isinya:
Ko. Kamu sahabat pertama saya yang mengenalkan dan memotivasi saya
tentang sebuah mimpi. Waktu itu saya hanya menulis lima mimpi saja. Saya
lihat tulisan mimpi kamu banyak, Ko. Lebih dari lima. Saya lima saja
mikirnya lama banget. Saking gak punya mimpinya. Saya jadi penasaran
untuk menulis banyak mimpi juga. Saya contek mimpi-mimpi kamu saat itu,
Ko. Bangun tidur. Jam tiga pagi. Saya tulis seratus mimpi yang sama
dengan mimpi yang kamu tulis. Begitu mengalir. Banyak. Dan
Alhamdulillah. Perlahan satu persatu mimpi-mimpi itu tercoret, Ko.
Sampai kemarin. Takdir-Nya saya mencoret mimpi saya lagi. Yaitu mimpi
ingin punya rumah di Bandung. Mungkin ini adalah mimpi yang tidak
terbayang bisa saya wujudkan. Tapi Allah menakdirkan saya mampu
mewujudkannya. Terima kasih kawan. Kamu telah menginspirasi saya dengan
mimpi dan harapan yang selalu kamu sampaikan kepada saya dengan
menggebu-gebu. Jika nanti ke Bandung. Silahkan datang ke saung saya.
Tidak begitu besar memang. Tapi cukup untuk sekedar bercerita tentang
masa lalu kita yang sangat indah. Saya gemetaran menulis ini, Ko.
Sampai-sampai saya keluar air mata. Hayu kejar terus mimpi kita! Yakin
kita akan coret semuanya!
***
Dulu. Saya sering berkata
kepada teman-teman saya. "Jika tidak ingat bahwa saya ini laki-laki.
Mungkin saat ini saya akan menangis". Saya ucapkan jika sedang menemui
momen yang cukup mengharukan. Tapi perlahan saya sadar. Bahwa laki-laki
juga adalah manusia. Dengan berat hati. Saya ingin jujur. Air mata saya
meleleh selepas membaca kalimat demi kalimat yang dikirimkan sahabat
lama saya. Yoga.
Terima kasih, Kawan. Semangat dan kebahagiaanmu
yang telah Kau ceritakan, membuat lentera mimpi-mimpi saya yang mulai
redup kini insyaAllah membara kembali. Sungguh benar. Bahwa semangat itu
menular.
Kisah kedua. Waktu itu saya pernah menulis catatan
harian guru. Judulnya "Mimpi". Tulisan yang bercerita tentang mimpi saya
dan mimpi anak-anak saya di kelas X IPS 1. Tidak lama setelah saya
membagikan tulisan sederhana itu. Seorang santri perempuan (tholibah)
kelas X IPS 2 menodong saya.
"Stadz, saya ingin difoto juga!" Tembaknya.
Kening saya mengkerut. "Foto?"
"Iya, Stadz. Foto yang bareng tolib itu. Yang ada kertas tulisan cita-citanya." Dia menjelaskan.
"Iya. Kami juga ingin difoto seperti mereka Stadz. Supaya cita-cita
kami bisa dilihat dan didoakan banyak orang." Ucap tholibah lain.
"Oh...," saya mulai paham maksud mereka.
Saya duduk di kursi guru. "Oya, teman-teman tahu darimana foto dan tulisan itu?"
"Dari hape ayah saya. Pas saya lihat hape ayah, ada foto ustadz dan
tholib anak-anak Ustadz, hehe." Ujar seorang tholibah putrinya seorang
ustadz di tempat saya mengajar.
"Oh...," Saya manggut. "Oke.
InsyaAllah nanti kita foto ya. Tapi sebelumnya teman-teman harus
tuliskan dulu mimpi teman-teman di kertas. Tulisannya yang besar dan
berwarna."
"Oke Stadz!" Jawab mereka berbarengan.
"Teman-teman sudah punya cita-citanya kan?!"
Sebagian tholibah menjawab sudah. Namun sebagian sisanya hanya menggeleng saja.
"Lho. Katanya mau
foto mimpi. Kok mimpinya belum punya?" Saya tujukan pada yang menggeleng.
foto mimpi. Kok mimpinya belum punya?" Saya tujukan pada yang menggeleng.
"Masih bingung Stadz, hehe."
"Pokoknya saya tidak akan mulai foto jika semuanya belum ada tulisan cita-citanya!"
"Iya deh Stadz. Nanti kita mikir dulu cita-citanya."
Saya beranjak dari kursi. Berdiri di depan kelas. Diam sejenak. Menggaruk kepala belakang. Mencoba berpikir.
"Saya boleh minta dua buah kertas." Pinta saya pada tholibah.
"Buat apa Stadz?" Tanya seorang tholibah.
"Sini minta dulu. Nanti akan saya jelaskan untuk apanya."
Rencananya. Saya akan sampaikan juga simulasi pentingnya memiliki mimpi
yang pernah saya sampaikan pada anak-anak saya (X IPS 1) kepada mereka.
Semoga setelahnya mereka tidak bingung lagi dalam menentukan cita-cita.
Lalu berusaha keras untuk bisa mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Aamiin.
***
"Oke. Semuanya lihat ke kamera dan bilang CIIIRS!" Titah saya.
"CIIIIIIIIIIIIIIIIIRRRRRSSSS!!!!"
Hari itu. Saya disadarkan lagi. Bahwa semangat itu memang menular.
Benar-benar bisa menular. Karenanya. Selalu perhatikan dengan siapa kita
berteman. Sayyidina Umar bin Khotob ra pernah berkata. Ceritakan kepada
saya dengan siapa dia berkawan. Maka saya akan tahu orang seperti apa
dia. Wallahualam.
***
Senin, 13 November 2017
Sungai
Zulfa tidak hadir lagi. Kondisi kebugarannya belum
seratus persen. Nida dan Pak Okin kembali berdua saja di bangku beton. Seperti
pertemuan sebelumnya. Hanya meja beton sebagai penghalang mereka.
"Sudah dibaca bukunya?" Pak Okin menunjuk
buku yang tergeletak di meja beton.
"Sudah Pak."
"Semua bab?"
"Belum sempat semua. Sementara baru baca yang
bab perairan darat dulu. Hehe." Ada sedikit malu di wajah Nida.
"Gakpapa. Kebetulan hari ini materi kita
tentang perairan darat. Setelah itu kita lanjut bahas soal-soalnya."
Pak Okin menyiapkan pulpen dan kertas kosong. Ia
letakkan kertas putih itu di atas buku tebal kumpulan soal olimpiade geografi.
Kemudian pulpen di atasnya lagi.
"Oke. Sebelum kita bahas perairan darat, saya
ingin bertanya dulu."
Nida melihat Pak Okin. Siap menerima pertanyaan.
"Ada berapa objek material geografi?"
"Lima." Jawab Nida cepat.
"Sebutkan!"
"Hidrosfer, litosfer, atmosfer, biosfer dan
antroposfer."
"Apa definisi hidrosfer?"
"Lapisan air yang menyelimuti bumi."
"Meliputi apa saja?"
"Perairan darat dan laut."
"Apa saja jenis perairan darat?"
Nida diam. Berpikir sejenak. Mengingat-ingat apa
yang sudah ia baca beberapa malam lalu.
Pak Okin menunggu.
"Mmm. Sungai. Danau. Rawa dan air tanah."
"Oke bagus. Hari ini insyAllah kita akan bahas
bagian sungai saja dulu."
Pak Okin mengambil buku dan kertas. Ia pangku di
pahanya. Jemari kanan Pak Okin menggenggam pulpen. "Saya ingin tanya
lagi."
Nida mengambil buku pinjaman Pak Okin. Bila
pertanyaannya sulit. Nida berniat untuk membuka buku.
Pak Okin tersenyum. Paham dengan maksud tingkah
Nida.
"Masih ingat dengan pelajaran siklus hidrologi? Jika masih,
jelaskan perbedaan siklus pendek, sedang dan panjang?"
"Terjadi penguapan di laut, kemudian hujan di
laut lagi. Itu siklus pendek." Ada jeda. "Terjadi penguapan di laut.
Lalu uap yang sudah menjadi awan tertiup ke daratan. Kemudian turun hujan dan
airnya kembali ke laut. Itu siklus sedang." Ada jeda lagi. Nida menarik
nafas. "Sementara pada siklus panjang, awannya tertiup ke dataran tinggi
lalu terjadi hujan air atau hujan salju. Dan ujungnya air itu kembali ke laut
lagi." Nida menutup jawabannya dengan sebuah senyuman. Giginya tampak.
Putih dan tersusun rapih.
"Setelah turun hujan. Sebelum kembali ke
muaranya di laut. Apa yang terjadi pada air yang mengguyur bumi?"
"Ada sebagian air yang terserap ke dalam tanah.
Namanya proses infiltrasi, yaitu proses penyerapan air ke dalam tanah secara
vertikal. Lalu ada sebagian air yang mengalir di atas bumi. Namanya run off.
Atau aliran permukaan."
"Oke." Pak Okin memuji jawaban Nida.
"Pada proses run off, air mengalir melalui apa?"
"Lewat sungai, selokan-selokan atau yang
sejenisnya."
"Bagus," Pak Okin puas. "Apa maksud
saya memberikan urutan pertanyaan seperti tadi? Adalah ingin memberikan
gambaran dimana letak keberadaan dan peran sungai dalam siklus hidrologi."
Nida manggut tanda mengerti.
"Sekarang sudah paham apa peran sungai dalam
siklus hidrologi ya?" Pak Okin bertanya meyakinkan.
Nida mengangguk.
"Yakin?"
"InsyaAllah Pak."
"Memang apa peran sungai?" Pak Okin
menguji.
"Sebagai jalan atau saluran tempat kembalinya
air dari hulu menuju muaranya di hilir, yaitu laut."
"Bagus. Berarti selesai sudah pengantar untuk
materi hari ini. Sekarang saatnya kita masuk ke materi inti. Sebelum kita bahas
definisi, jenis, pola aliran, bagian sungai dan yang lain-lainnya. Terlebih
dulu kita akan bahas manfaat sungai bagi kehidupan manusia." Pak Okin
menerangkan. "Bagi saya, pada bagian inilah mengapa saya cinta geografi.
Dalam geografi kita tidak hanya belajar bagaimana suatu fenomena itu terjadi.
Tapi kita diajarkan juga mengapa terjadi dan apa dampaknya bagi manusia.
Sehingga kita bisa paham dengan peran kita sebagai kholifah. Melanjutkan titah
Sang Pencipta yang telah diberikan kepada kakek moyang kita, yaitu Nabi Adam
as. Juga kita bisa mengerti apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin kita
perbuat pada bumi."
"Dengan pahamnya kita tentang apa tugas kita
di dunia, insyaAllah kita akan sekuat jiwa menjaga bumi kita. Dan dengan bekal
pengetahuan geografi, insyaAllah kita akan arif dalam mengelola dan
memanfaatkannya."
"Sekarang." Pak Okin diam sebentar.
"Sebelum saya jelaskan. Menurut Nida. Apa saja manfaat sungai bagi
manusia?"
"Hehe," Nida ketawa kecil. "Saya
boleh lihat buku Pak ya." Pinta Nida.
Pak Okin membuka tangan kanan. Telapaknya terarah
ke atas. Lalu menunjuk pada buku. Isyarat mempersilahkan.
Nida membuka-buka lembar buku. Mencari bagian
manfaat sungai. "Untuk irigasi," telunjuk Nida mencari kalimat
setelahnya. "Untuk pembangkit listrik." Telunjuk Nida bergeser
lagi,"Untuk prasarana lalu lintas, untuk penunjang industri, untuk
perikanan, juga untuk keperluan sehari-hari seperti untuk mandi, mencuci dan
bahkan minum." Nida selesai membaca semuanya. Lalu melihat Pak Okin lagi.
"Begitu banyak manfaat sungai bagi kehidupan
manusia. Bahkan, pada zaman dulu, sungai menjadi penyebab lahirnya
peradaban-peradaban besar dunia. Seperti Mesopotamia yang berdiri di sekitar
sungai Efrat dan Tigris. India yang tumbuh di pinggiran sungai Indus. Cina
bertumbuh di dekat sungai Kuning dan Yang Tse. Juga Mesir yang lahir di sisi
sungai Nil." Pak Okin menambahkan.
"Bahkan. Dari buku yang pernah saya baca.
Peradaban Mesir menjadi besar, salah satu penyebabnya karena Mesir optimal
dalam memanfaatkan sungai sebagai lalu lintas surat-surat informasi ke
daerah-daerah kekuasaannya.
"Lewat sungai Nil Pak?" Nida bertanya.
"Ya. Menyusuri sungai Nil. Sungai terpanjang
di dunia. Dengan panjang sekitar enam ribu enam ratus tujuh puluh
kilometer."
"Pada buku lain. Disebutkan bahwa Mesir itu
adalah hadiah dari sungai Nil. Sebab hampir seluruhnya Mesir adalah hamparan
Padang pasir. Hanya empat persen saja daratan Mesir yang berpenghuni manusia.
Dan itupun hanya di pinggiran sungai Nil saja. Dapat kita bayangkan seandainya
Nil tidak melewati Sahara. Maka tidak akan pernah ada yang namanya Mesir. Nil
dan Mesir itu satu paket. Mereka berjodoh."
Saat Pak Okin mengatakan kalimat "Mereka
berjodoh", mata Pak Okin bertabrakan dengan mata Nida yang memang sedari
tadi melihat Pak Okin yang sedang menjelaskan. Ada setruman lembut ketika dua
pasang mata itu beradu. Pancarannya berbeda dengan pandangan-pandangan
sebelumnya. Ada sederet kalimat yang dikatakan oleh sorot mata-mata mereka.
Sederet kalimat yang tidak mampu disuarakan lidah Nida dan lidah Pak Okin.
Oh Gusti. Kenapa harus seperti ini? Ini adalah
sebuah kesalahan. Lirih Pak Okin dalam hati. Mohon jaga kami. Mohon jaga kami.
Mohon jaga kami. Mohon dengan sangat.
Pak Okin penuh harap mampu melakukan apa yang bisa
dilakukan sungai kala setumpuk limbah tertumpah. Pelan-pelan sungai kembali
menjernihkan dirinya lagi. Semoga waktu dapat membantu dadanya yang tertumpahi
setumpuk rasa agar hatinya bisa jernih kembali. Semoga saja. Semoga.
Nida menunduk. Jiwanya berdesir. Dia merasakan ada
aroma sungai Nil di sekitarnya. Mungkinkah aroma itu bersumber dari seorang
laki-laki yang sedang duduk di hadapannya? Diakah sungai Nil itu? Sungai Nil
untuk hidupnya.
***
Bulan
Nida melangkah lima meter di belakang Pak Okin.
Sedikit lebih jauh dari biasanya jika sedang ada Zulfa.
Tidak banyak percakapan dalam perjalanan pulang
sore ini. Pak Okin terus melaju. Nida mengekor di belakang. Sesekali melihat
tas yang digendong Pak Okin. Lebih banyak menunduk menatap jalan.
Nida memeluk buku hidrologi yang Pak Okin pinjamkan
sebelum bimbingan olimpiade geografi tadi selesai. Di tengah-tengah buku
terselip selembar kertas soal yang barusan telah dibahas. Soal itu titipan Pak
Okin untuk Zulfa yang hari ini izin tidak masuk karena sakit.
Pak Okin berhenti. Ia membalik badan. Nida juga
ikut menghentikan jalannya. Terlambat satu langkah. Pak Okin dan Nida berdiri
berhadapan. Empat meter jarak yang memisahkan mereka.
"Kalau sempat Nida baca semua bab untuk satu
minggu kedepan. Tapi jika tidak. Minimal Nida dahulukan yang bab perairan
darat. Karena pertemuan selanjutnya insyaAllah kita akan bahas itu," ujar
Pak Okin.
"Iya Pak," jawab Nida pendek. Lalu
menunduk pada jalan. Kedua tangannya masih memeluk buku.
"Oke. Jangan lupa soal yang tadi kasihkan ke
Zulfa ya." Pinta Pak Okin. Pak Okin menunjuk asrama tempat tinggal Nida.
"Saya duluan ya." Isyarat untuk menegaskan perpisahan mereka sore
ini.
"Iya," Nida mengangguk.
"Assalamualaikum."
"Walaikumussalam."
Pak Okin balik badan. Kembali melanjutkan
langkahnya. Nida juga lanjut berjalan. Tapi berbelok ke jalan yang berbeda
dengan yang ditempuh Pak Okin.
***
Selepas isya. Jam 20.45. Nida duduk sendiri di
saung depan asrama. Biasanya berdua dengan Zulfa. Tapi malam ini Zulfa sudah
tidur. Pemulihan setelah sakit demam kemarin lusa.
Di hadapan Nida tergeletak buku pinjaman dari Pak
Okin. Empat puluh lima menit sudah Nida mempelajari bagian materi perairan
darat. Lebih tepatnya hanya empat puluh menit. Lima menit terakhir Nida rehat.
Ia hanya diam memandang bulan separuh yang menempel di langit malam ini.
Bayangan Nida terbetot pada minggu-minggu yang telah lewat. Saat ia dan Zulfa
mendapat pelajaran tentang bulan dari Pak Okin.
"Jika boleh saya mengarang, menurut saya bulan
itu adalah sebuah lambang kesetiaan," ujar Pak Okin ketika itu.
"Kesetiaan?" Zulfa bertanya.
"Iya," Pak Okin mengangguk menegaskan.
"Bumi berputar memutari matahari dalam waktu 365 seperempat hari. Selama
waktu yang panjang itu bulan selalu mendampingi bumi. Tidak pernah lepas meski
sedetik pun. Tidak pernah."
"Selama mendampingi bumi, bulan tidak sekedar
diam dan duduk saja. Tapi ada peran yang ia lakukan."
"Peran?" Zulfa bertanya lagi.
"Saat di pesantren dulu, guru saya pernah
mengatakan bahwa diciptakannya bulan itu adalah sebagai penunjuk dan penanda
waktu. Bagi siapa? Tentunya bagi bumi. Dengan apa bulan memberitahukannya?
Adalah dengan bentuk bulan yang terus berganti pada setiap harinya."
Nida dan Zulfa diam saja saat itu. Mereka menunggu
penjelasan selanjutnya.
"Saat masuk bulan baru, bulan tak menampakkan
bentuknya. Ia bersembunyi di bawah horizon. Ia baru akan muncul setelah masuk
tanggal dua atau tiga. Wujudnya hanya segaris cahaya tipis yang melengkung.
Beberapa malam berikutnya bentuk bulan menyerupai sebuah senyuman seorang
wanita yang melengkung indah. Mempesona. Lalu beberapa malam setelahnya wajah
bulan tampak separuh. Seperti bola yang dibelah dua. Itu adalah tanda bahwa
sudah masuk malam ke tujuh atau ke delapan pada bulan itu."
Nida terkesiap. Ia kembali pada raganya malam ini.
Di saung depan asrama.
Nida melihat lagi bulan yang separuh. Terang.
Sebagai hiasan langit malam ini.
Nida ingat Pak Okin lagi.
"Saat bulan penuh. Bulan purnama. Ketika malam
lebih cemerlang dari malam-malam sebelumnya. Itu tanda bahwa sudah masuk
pertengahan bulan. Yaitu sekitar tanggal tiga belas, empat belas, atau lima
belas."
"Pada paruh kedua. Sekira enam atau tujuh
malam selepas purnama. Bulan tampak separuh lagi. Jika kita kembali umpamakan
bola yang dibelah dua. Maka pada paruh kedua ini wajahnya adalah seperti
belahan berbeda dengan wajah bulan pada paruh pertama."
"Akhir bulan. Bentuknya kembali tiada. Ia
istirahat di bawah horizon. Sedang mempercantik diri untuk menyambut hari di
bulan yang baru."
"Jika boleh saya menambahkan. Selain penunjuk
waktu. Bulan adalah hiasan pada kanvas malam. Untuk siapa? Tentunya untuk
bumi."
Ketika itu Kening Zulfa dan Nida mengkerut. Pak
Okin tersenyum mendapati itu.
"Setelah lelah sehabis kegiatan siang hari,
bumi butuh rehat di malam hari. Jika langit tidak tertutup awan, bersama jutaan
taburan bintang, bulan adalah hiburan untuk bumi. Sebagai pengantar tidur. Juga
tersebab sinar lembutnya hasil pantulan dari sinar matahari. Adalah selimut
hangat untuk bumi. Untuk bumi yang kedinginan dibelai malam."
"Waaah. Bulan setia banget ya," Zulfa
sumringah. "Cintanya bulan pada bumi pasti besar banget."
Nida tersenyum tipis.
"Mungkin saja," Pak Okin menanggapi
celetukan Zulfa. "Boleh jadi itu karena ada sebagian bumi yang menyatu
dengan bulan. Pun sebaliknya."
"Sebagian bumi? Maksudnya Pak?" Kali ini
Nida yang bertanya. Lembut suaranya.
"Menurut hipotesis yang paling dipercaya.
Bahwa pada masa pembentukan tata surya dulu. Ada sebuah benda langit seukuran
planet mars yang menabrak bumi. Nama benda langit itu adalah theia. Pasca
tabrakan. Ada sebagian materi bumi dan materi theia yang hancur dan berhamburan
ke angkasa. Yang kemudian puing-puing serpihan itu kembali tertarik oleh
gravitasi bumi lalu menyatu kembali. Pun dengan theia yang hancur parah.
Pelan-pelan benda langit itu menarik sisa-sisa material hasil tabrakan untuk
disatukan kembali. Theia kembali terbentuk meski dengan bentuk yang lebih
kecil. Juga terlahir dengan nama baru. Luna. Atau bulan. Ia terkena pengaruh
tarikan bumi. Lalu hingga hari ini, sebab gaya tarik antara keduanya. Bersamaan
dengan bumi yang berevolusi mengitari matahari. Bulan juga berevolusi memutari
bumi."
"Waaah," senyum Zulfa mengembang
mendengar penuturan Pak Okin.
"Saya boleh tanya Pak?" Nida mengangkat
tangan waktu itu.
Pak Okin mengangguk. Silahkan.
"Bulan kan memutari bumi. Dalam sebulan. Ada
satu waktu posisi bulan berada di antara matahari dan bumi. Lalu ada satu waktu
juga bumi yang berposisi di antara matahari dan bulan. Jika memang seperti itu.
Seharusnya gerhana bulan dan gerhana matahari selalu terjadi masing-masing satu
kali dalam sebulan. Tapi kenapa kenyataannya tidak? Pertanyaan saya adalah.
Kenapa bisa seperti itu Pak? Apakah ada fenomena lain yang mempengaruhi?"
Pak Okin tersenyum. Seperti senyumnya seorang anak
kecil yang baru diberikan mainan unik oleh orang tuanya. Sebuah senyum aroma
antusias. Mata Pak Okin berbinar.
"Masya Allah," Pak Okin memuji pertanyaan
Nida. Ia teringat saat kuliah dulu. Pertanyaan serupa yang pernah Pak Okin
utarakan pada dosennya di mata kuliah cosmografi dulu.
"Itu karena orbit bulan miring lima derajat
dari orbitnya bumi yang mengelilingi matahari. Karena itu, maka gerhana tidak
terjadi setiap bulan. Gerhana bulan atau matahari akan terjadi jika posisi
sejajar antara bumi, bulan dan matahari itu saat posisi bulan sedang tepat
bersinggungan dengan bidang orbitnya bumi terhadap matahari," jawab Pak
Okin. "Begitu," Pak Okin mengakhiri.
"Oooh," Zulfa manggut-manggut tanda
mengerti. Nida juga.
Nida terkesiap lagi. Kembali pada raganya yang
duduk di saung asrama. Ia masih memandang bulan separuh.
Jam 21.00.
Nida kembali melihat buku di depannya. Berniat
untuk melanjutkan bacaannya.
Nida meletakkan jemarinya pada lembar halaman
sebelah kanan. Hendak membalik untuk membaca halaman berikutnya. Namun tidak
jadi. Ada hasrat lain yang berbisik dan menyuruh Nida untuk kembali pada
beberapa halaman sebelumnya. Pada sebuah tulisan tangan yang ditulis di sebelah
judul bab baru. Bab perairan darat. Jika dihitung, entah untuk yang keberapa
kali Nida membaca tulisan pendek ini. Sebuah tulisan dengan judul
"Seumpama Air". Di sana tertulis:
(... Entah itu kala lumer, saat menjadi es, atau
ketika menguap. Dia tetap saja adalah air.
Dan seumpama air itu. Mau dikatakan atau tidak.
Dituliskan atau tidak. Mau diteriakkan atau dengan bisikan lirih. Dengan
terang-terangan atau mengendap-endap. Dia tetaplah akan sama. Adalah cinta...)
Di bawah tulisan itu. Ada dua buah hurup yang ditulis.
Huruf O dan huruf P. Inisial untuk nama Pak Okin. Okin Pratama.
Selalu setiap kali setelah membaca tulisan itu.
Nida menerawang penuh tanya. Ada misteri besar yang belum bisa ia pecahkan.
Sebuah misteri yang bercampur dengan selembar harapan. Seperti harapannya bulan
separuh di atas langit malam ini. Berharap dengan pendaran cahayanya ia bisa
menghangatkan bumi dari dinginnya malam ini.
WUSSSHH
Angin malam menerpa pohon bambu di samping saung
asrama. Daun-daun berdesir. Nida memeluk tubuhnya. Sambil kembali menatap bulan
separuh.
***
Langganan:
Postingan (Atom)