Minggu, 23 Juni 2013

Rindu


Hujan, aku rindu kamu.

Hari ini langit cerah. Karenanya rinduku semakin menjadi-jadi.

Suara Hati


Saat aku berbaring, aku ingin segera duduk.
Ketika aku duduk, aku ingin segera berdiri.
Kala aku berdiri, aku ingin segera berjalan.

Lalu aku berjalan dengan perlahan.
Tapi, kenapa aku ingin berjalan cepat?
Kemudian, kenapa juga aku ingin berlari?

Mataku tak mampu menatapmu.
Kakiku tak sanggup melangkah menghampirimu.
Tanganku pun tak bisa menyentuh dirimu.
Hanya hatiku saja yang mampu bersuara.
Suara lirih yang telingaku sendiri pun tak bisa mendengarnya.

Adakah seberkas cahaya mentari yang bisa menguapkan suara hatiku?
Dan adakah sang awan yang sudi untuk menyimpannya?
Lalu adakah angin yang mau meniupkan awan itu ke sebuah negeri yang sangat jauh disana?
Kemudian, adakah hujan yang bersedia membawa serta suara hatiku bersama rintiknya?
Dan menyampaikan suara hatiku pada dirimu.

Kasih, inilah suara hatiku.

Aku mencintaimu.

Kamis, 13 Juni 2013

Izinkan Aa Menyebutkan Tujuh Kelebihan Neng



Tidak seperti makan siang sebelum-sebelumnya. Kali ini hening mendominasi. Hanya suara gemeletak piring yang beradu dengan sendok saja yang terdengar. Sesekali Adam mengajak ngobrol sang istri, tapi orang yang diajak ngobrol tetap diam. Putri diam seribu bahasa. Wajahnya lebih sering menekuk. Semuanya berawal ketika tadi pagi, saat Putri mencoba membangunkan sang suami untuk beres-beres rumah bareng. Ya, seperti inilah memang kebiasaan keluarga baru ini. Setiap hari libur mereka sepakat untuk berbenah rumah berjamaah. 

Setelah solat subuh tadi, Adam rebahan sejenak di tempat tidur. Mendapati hal itu, Putri langsung membangunkan sang suami kembali. Bukannya langsung bangun, Adam malah pura-pura tidur. Beberapa kali sang istri menggoyang-goyangkan tubuhnya, namun Adam tetap enggan untuk membuka kedua matanya. Hingga akhirnya Putri menggelitiki pinggang sang suami. Karena tak tahan, akhirnya Adam bangun juga. 

Nah, disinilah semuanya berawal. Pasca digelitikin, Adam langsung duduk. Ia memasang wajah datar. Mukanya tak berekspresi. Persis seperti orang yang kesurupan. Untuk beberapa detik Adam masih belum bergerak. Awalnya Putri biasa-biasa saja. Tapi lama kelamaan akhirnya ia curiga juga. Wajah Putri berubah menjadi tegang. Ia khawatir terjadi apa-apa dengan suaminya tercinta. 

“A.... A...!” Putri memanggil-manggil sang suami. Tapi Adam tetap diam.

“A...!” Putri menggoyang-goyang tubuh lelaki yang disayanginya itu. Namun Adam tak kunjung memberi respon juga. Adam masih duduk terpaku. Pandangannya datar kedepan. Menyeramkan.

Putri kebingungan. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Perlahan bibir tipisnya mengumamkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. 

Adam masih belum bergerak.

Rasa takut Putri semakin menjadi-jadi. Mulutnya belum berhenti mengaji. Tak terasa, karena saking takutnya, kedua mata Putri berembun. Perlahan embun itu mengalir membentuk parit di kedua pipi lembutnya.

TOWEEEWW!

Mata Adam melirik ke arah wajah sang istri yang sedang ketakutan. Putri terperanjat kaget. Hampir saja ia hendak lari dari kamar. Tapi niat itu ia urungkan saat mendapati sebuah senyuman nakal terlukis di bibir sang suami, yang kemudian dilanjutkan dengan tawa kemenangan. Sebuah kemenangan karena telah berhasil mengerjai sang isteri.

Belum hilang tawa di mulut Adam. Tampaknya ia gembira sekali. Namun apa yang terjadi pada Putri? Embun di matanya belum mau pergi. Rasa kesal yang bercampur dengan rasa takut sisa tadi berbaur menjadi satu. Ia memalingkan wajahnya dari sang suami. Apa-apaan ini?! Benar-benar sebuah becandaan yang sangat tidak lucu?! Putri menggerutu dalam hati. 

Adam masih nyengir. Mirip kuda yang baru diberi makan rumput segar.
***

Dapat diramalkan apa yang terjadi setelah kejadian pagi tadi. Ya, Putri masih ngambek. Tapi, walaupun begitu, ia tetap berusaha untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri. Hanya saja, sepanjang setengah hari ini ia lebih banyak diam. Acara bersih-bersih rumah bersama hari Minggu ini terasa sangat hambar. Pasangan pengantin baru ini seperti bekerja sendiri-sendiri. Tak ada lagi ketawa-ketawa penghias seperti pada hari Minggu sebelum-sebelumnya. Sesekali Adam memang mencoba mengajak ngobrol. Tapi sayangnya, sang isteri tetap membungkam mulutnya.

Dan, perang dingin ini masih terjadi di sini. Di meja makan siang ini. Putri masih cemberut. Sementara pada kursi yang hanya dipisahkan oleh meja makan saja, Adam mesem-mesem gak jelas. Entah apa yang ada dalam tempurung kepalanya saat ini. 

Setelah makan siang selesai, Putri langsung membereskan meja makan. Alat-alat bekas tadi makan langsung dicuci dan diletakan kembali ke tempatnya masing-masing. Kemudian Putri langsung meluncur menuju sofa ruang tengah. Untuk meredam rasa kesal yang masih bercokol di hati, Putri membaca buku.

Setengah jam sudah Putri tenggelam dalam pikiran yang dijelaskan oleh isi buku. Setidaknya ia bisa sejenak melupakan rasa kesalnya kepada sang suami.

“Hai, Neeeeeng....”

 Tanpa permisi Adam duduk di samping Putri. Putri menoleh malas. Ia menatap buku lagi.

 “Neng,” goda Adam sekali lagi. 

 Putri melihat wajah suaminya lagi. Meskipun dengan terpaksa. 

“Apa?!” jawab Putri dengan nada kesal.

 Adam nyengir. Ia menggerak-gerakan alisnya berulang kali. Kemudian nyengir lagi.

“Neeeeeng,” goda sang suami sekali lagi. Kali ini dengan suara yang lebih lembut. Alisnya lagi-lagi Adam gerak-gerakan genit.

“Neng kenapa...? Perasaan dari pagi Aa perhatikan cemberut mulu... Memang Aa punya salah ya...?”

“Pake acara pura-pura gak tahu lagi!” gerutu Putri.

“Oooooh, yang tadi pagi ya? Baiklah, kalo gitu Aa minta maaf soal itu ya. Ia, Aa ngaku salah.”

“Gak mau!”

Putri kembali membaca buku. Ia tak menghiraukan sang suami yang sedang duduk di sampingnya, mencoba untuk meminta maaf.

Adam mulai mengerutkan dahi. Ia mulai sedikit bingung harus dengan cara apa lagi agar isteri tercintanya tidak ngambek dan wajahnya berseri kembali.

Tak memakan waktu lama, bibir Adam kembali mengembang. Ia tersenyum menyeringai. 

Pelan-pelan Adam mendekati sang istri. Posisi duduknya kini hanya beberapa inci saja dari Putri.

“Neng,” ucap Adam dengan nada dibijaksana-bijaksanakan.

 Putri diam saja. Ia masih tetap membaca buku.

“Aa ngaku salah. Aa minta maaf atuh ya. InsyaAllah Aa gak akan berbuat seperti itu lagi,” masih dengan suara yang mirip dengan suara seorang guru besar di padepokan silat jika sedang bicara. Berat dan berwibawa. 

Putri tetap diam.

Adam mulai menghela nafas panjang. Ia diam sejenak. Mencoba membiarkan isterinya mencerna kalimat yang telah ia ucapkan.

“Baiklah kalo begitu,” Adam menghela nafas lagi. “Neng boleh tetap marah ke Aa. Dan Aa akan tetap ridho kepada isteri Aa yang solehah ini walaupun Neng tetap marah pada sang suami yang banyak dosanya ini. InsyaAllah Aa ridho. Asalkan sebelumnya Aa minta Neng untuk menyebutkan tujuh kelebihan yang Aa miliki dimata Neng. Hanya tujuh. Itu saja permintaan Aa. Boleh?”

Putri berhenti membaca. Ia menoleh pada suaminya. “Gak ada!” Putri kembali membaca buku.

Adam menghela nafas. Sekali. Dua kali. Tiga kali.

“Baiklah, kalo Neng gak mau mah gak papa,” Adam diam sejenak. “Aa ada satu permintaan lagi. Jika Neng berkenan, Aa mohon Neng untuk bersedia mengizinkannya. InsyaAllah Neng tidak dituntut untuk melakukan apa-apa. Neng cukup hanya mendengarkan saja. Mendengarkan Aa menyebutkan tujuh kelebihan yang Neng miliki dimata Aa. Itu saja,” ucap Adam sebijaksana mungkin.

Putri masih mematung menatap buku di tangannya.

“Aa anggap diamnya Neng ini pertanda setuju. Nanti setelah Aa selesai berbicara, silahkan jika Neng masih tetap ingin mendiamkan Aa. InsyaAllah Aa akan tetap ridho kepada isteri Aa yang solehah ini.”

Mendengar ucapan sang suami yang sepertinya memang serius, Putri mulai merasakan gak enak duduk. Seperti ada yang mengganjal di hatinya. Namun tetap, ia masih diam.

“Kelebihan Neng pertama di mata Aa adalah pinter masak. Jujur, semenjak Aa kecil hingga sebelum dipersatukan oleh takdir dengan Neng. Aa beranggapan bahwa tidak ada pasakan yang lebih enak dari pasakannya ibu Aa. Tapi ternyata itu salah. Anggapan itu terpatahkan setelah untuk yang pertama kalinya Aa mengunyah makanan hasil pasakannya Neng. Sejak saat itu, pasakan ibu berganti posisi menjadi urutan kedua. Dan pasakan Neng menyodok ke posisi pertama.”

Putri tak menyangka dengan ucapan suaminya barusan. Dadanya mulai berdesir. Suaranya persis dengan senandung gurun pasir yang tertiup angin. Tapi ia masih tetap diam.

“Kelebihan Neng yang kedua adalah cantik. Cantik banget malah. Sungguh, bagi Aa. Tidak ada, dan tidak akan pernah ada seorang wanitapun di dunia ini yang lebih cantik dari Neng. Inilah salah satu alasan mengapa Aa memilih Neng.”

Putri mulai salah tingkah. Sejujurnya ia sangat ingin untuk menatap suaminya. Tapi rasa gengsi masih meringkusnya. Duduknya kini sudah mulai tak nyaman lagi. Putri menggigit bibir bawahnya. Sebisa mungkin ia menahan diri untuk tidak tersenyum.

“Yang ketiga, Neng itu solehah. Bagi Aa, inilah anugerah terindah yang diberikan Allah melalui diri Neng. Jujur Aa sangat bahagia memiliki Neng.”

Semakin keras Putri menggigit bibir bawahnya. Walalupun terpaksa, akhirnya ia menoleh kepada sang suaminya. “Sudah jangan berlebihan!” Putri mencoba marah lagi. Tapi sayangnya raut wajah yang ia pasang seperti tidak singkron dengan apa yang ia ucapkan. Muka Putri mulai memerah. Merona. Senyum yang sedari tadi ia sembunyikan, pelan-pelan mulai menyeruak.

“Sungguh, Aa gak bohong. Jika Neng ingin bukti, buktinya adalah hari ini. Aa tahu, sedari pagi tadi Neng sedang merasa kesal pada Aa. Tapi, walaupun begitu, Neng tetap tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban Neng terhadap seorang suami. Misalnya tadi, Neng tetap bersedia menyediakan sarapan dan makan siang untuk Aa. Dan pasakannya tetap enak. Tidak karena Neng sedang merasa kesal, lalu kadar keenakannya Neng kurangi. Tidak.”

Putri benar-benar tak bisa lagi untuk menahan senyuman di bibirnya. Akhirnya kedua ujung bibirnya mulai melebar. Ia benar-benar salah tingkah. Mati kutu karena kalimat dari sang suami. Tak tahu apa yang harus dilakukan, akhirnya Putri menyubit bahu Adam. “Udah jangan berlebihan!” sayangnya, saat Putri berucap, bibirnya malah tersenyum malu-malu.

“Sungguh, ini beneran. Aa gak bohong,” Adam meyakinkan.

“Iiiiihh...," Putri menyubit lagi bahu Adam. Bibirnya masih tersenyum malu.
 
“Kelebihan Neng yang ke empat adalah...”

“Udah, A. Iiiiihhh...,” Putri memotong kalimat Adam. Kedua sejoli itu saling pandang. Mereka salng memberikan senyuman. Kemudian sedikit mulai tertawa.

Dengan gerakan kilat Putri memeluk Adam. Lalu melepaskannya lagi.

“Awas ya kalu nanti Aa mengulangi perbuatan itu lagi!” ucap Putri manja. Mereka berdua tersenyum lagi.

Putri menyubit bahu Adam lagi. Mungkin karena saking gemesnya pada suaminya itu. Kemudian dilanjutkan dengan memeluk tubuh sang suami tercintanya lagi. 

Adam membalas pelukan sang isteri tercinta. Erat sekali Adam merangkul. Dan, saat merangkul itu, Adam mengepalkan tangannya. Pertanda ia menikmati keberhasilannya. Keberhasilan karena telah mampu membuat isterinya tidak marah lagi. Bibir Adam menyeringai. Persis dengan seringaiannya seorang penjahat kelas kakap yang telah berhasil mengelabuhi mangsanya.

Yes! Akhirnya saya berhasil!. Gumam Adam dalam hati. Ia gembira tersebab sang isteri termakan rayuan mautnya.

Bibir Adam menyeringai lagi.
***

Selasa, 11 Juni 2013

Prolog (1)



Kalian tahu CINTA itu apa?

Jika pertanyaan itu tertuju untukku, maka dengan tegas akan kujawab seperti ini. “Cinta itu adalah aneh!”. Tak akan kujelaskan panjang lebar mengapa aku mengatakan demikian. Biar cerita ini saja yang menerangkannya. Mari kita bedah bersama-sama.

Coba bayangkan! Apa jadinya jika seorang guru mencintai muridnya? Masih mending jika kisah ini terjadi di sekolah SMA, tapi ini terjadi di sekolah dasar, Bro. SD! Merah-putih! Saat itu aku menjabat sebagai seorang guru muda memang. Tapi tetap saja, SD tetaplah SD! Tapi waktu itu dia memang sedikit lebih dewasa dari teman-teman lainnya. Sikapnya sedikit lebih cepat bertumbuh dibandingkan dengan usianya. Membaca Al-Qur’annya lancar pula. Bahkan dia sudah dipercaya oleh ibu ustadzah, yang tidak lain adalah Umminya sendiri, untuk membantu mengajarkan mengaji pada para santri-santri didikannya. Eeeeeh! sudah jangan ngeyel! SD tetaplah SD! Masih merah-putih!

Nih! Coba bayangkan lagi! Misalkan ada dua orang berlawanan jenis yang sedang berjalan berdampingan. Yang satu adalah seorang laki-laki. Dia mengenakan seragam kebesaran guru. Kemudian tepat di sampingnya, berjalan seorang siswi perempuan berseragam merah-putih. Sambil melangkah pelan mereka berbincang. Isi pembicaraan mereka tentang cinta. Cinta yang meringkus hati mereka. Wajah kedua sejoli itu mesem-mesem gak jelas. Ceritanya mereka sedang malu-malu. Malu kepada orang yang sedang berjalan di samping mereka masing-masing. Malu kepada orang yang dikasihinya. Coba bayangkan sekali lagi! GELI gak tuh! Padahal ini baru hanya membayangkan saja ya?!

Baiklah, kita berhenti dulu menghakimi dirikunya. Menurut buku yang pernah kubaca, dan menurut banyak ustadz juga, jika Allah hendak memberi petunjuk kepada HambaNya, maka tidak akan pernah ada seorangpun yang bisa menghalangiNya. Pun sebaliknya, jika Allah hendak menyesatkan seseorang, maka tidak akan pernah ada siapapun yang mampu mencegahNya. Nah, demikian juga dengan kisah ini. Kisah asmara yang menyelimuti jiwa sang guru muda. Ini semua pastilah kehendak Sang Maha Kuasa. Dia telah memerintahkan sang malaikat cinta untuk menghujamkan anak panah warna merah jambunya tepat di hatiku. Pasti akan ada hikmah di balik semua ini. Hikhamnya apa? Mungkin beberapa waktu kedepan baru akan bisa terungkap.

Baik, kita kembali pada kisah cinta yang menggelikan ini. Sejujurnya, tidak seorangpun yang tahu tentang cintaku pada sang murid ini. Kecuali hanya seorang saja. Dia adalah Ibuku tercinta.Sebenarnya aku tidak pernah menceritakan rasa ini kepada ibu. Ibu tahu semuanya dari mulut sang sore yang tak bisa aku ajak kompromi. Waktu itu mentari sudah berada di kaki langit sebelah barat. Angin sore bertiup lembut. Di lapangan sepak bola seberang jalan depan rumahku, masih ada beberapa anak kecil yang sedang berlarian mengejar-ngejar bola. Aku sedang duduk santai waktu itu. Duduk santai sambil menikmati senandung alam.

“Dede...,” suara lembut masuk perlahan melewati daun telingaku. Aku hafal betul siapa pemilik suara ini. Reflek, aku menoleh pada sumber suara. Beberapa saat tatapanku terkunci pada seseorang yang sedang kupandangi. Kedua mataku tak mau berkedip, meskipun hanya sekali. Kala itu, aku baru sadar, ternyata masih ada angin yang lebih lembut dari angin sore. Angin itu bertiup sangat lembut di pekarangan hatiku. Hanya di hatiku.

“Dede hayu pulang, udah sore,” sekali lagi suara lembut itu menelusup masuk telingaku. Pandanganku belum juga berpindah. 

“Ehm,” suara lain masuk telingaku. Aku menoleh pada asal suara. Lirikanku mendarat pada sebuah wajah teduh ibuku. Ibu menyambut dengan sebuah senyuman renyah. Sekejap ibu melihat seorang wanita bergamis ungu yang sedang berdiri tidak jauh di jalan dekat lapangan. Kemudian menatapku lagi. Sebuah senyuman tersungging kembali di bibir ibu.Kali ini senyumannya bernada ledekan. Dahi ibu mengkerut, tapi senyumnya masih menempel. Astaganaga! Aku tahu warna wajah itu. Sebelum ibu mengeluarkan kata dan keringatku bercucuran karena mencari jawaban atas pertanyaan ibu. Lebih baik aku kabur. 

DEEBB!

Buku di tangan yang aku tutup dengan tergesa, berdebam. Tanpa suara aku meninggalkan ibu di teras samping. Aku bergegas melangkah. Satu, dua, tiga langkah. Pada langkah ke empat, hanya selangkah lagi memasuki pintu, di belakang, suara ibu terdengar lagi.

“Jaga pandangan, Kang.”

Langkahku terhenti. Aku menoleh ke belakang. Wajah ibu masih tersenyum. Kali ini berirama ganjil. Aku balas dengan sebuah senyuman dingin. Kemudian melanjutkan langkah. Hanya satu harapan di dadaku saat itu. Semoga saja ibu tak akan bertanya lagi tentang ini. Meskipun hanya sekali. Semoga.

Waktu terus berjalan. Benar saja. Sang Maha Pendengar mengabulkan do’aku. Sejak sore itu, tak sekalipun ibu menyinggung-nyinggung peristiwa yang membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Segalanya berjalan normal seperti sedia kala. Seperti tidak ada kejadian apa-apa diwaktu sore itu. Aku aman. Ya, aku memang aman. Setidaknya hingga hari itu. Saat Teh Asih, tetangga dekatku bertandang ke rumah sambil membantu ibu memasak.

“Teh Haji kenapa tadi tidak pengajian?” sayup-sayup pertanyaan Teh Asih terdengar sampai ruang keluarga. Aku sedang menonton tv. 

Obrolan Ibu dan Teh Asih terus berlanjut. Suara ulekan batu yangberadu dengan penguleknya, serta gemeletak wajan yang beradu dengan osengannya mengiringi perbincangan dua orang ibu-ibu itu. Aku tak menghiraukan obrolan itu. Fokusku masih tertuju pada acara yang sedang ku tonton.

“Teh Haji, tadi setelah pengajian, saya pulang bareng dengan Ibu ustadzah,” Teh Asih melanjutkan ceritanya. Ucapan samar-samar ini mulai menarik perhatianku. Mungkin sebenarnya bukan ucapannya yang membetot perhatianku, melainkan siapa yang sedang dibicarakan. Segera aku kecilkan suara tv.

“Teh Haji tahu gak tadi Ibu ustadzah bilang apa?” teh Asih bertanya pada ibu. Suasana hening sejenak. Aku tak tahu, mungkin ketika jeda itu ibu sedang menggelengkan kepala di dapur.

“Ibu ustadzah tadi bilang, dia akan sangat senang jika yang menikah dengan Hena kelak adalah si Akang,” lanjut teh Asih. 

Aku melotot seperti sedang menghakimi tv. Dadaku kembang-kempis. Nafasku seperti tersengal. Entah mengapa dan bagaimana ceritanya, hari ini suara teh Asih terdengar begitu sangat merdu di telingaku.

Suara tv semakin aku kecilkan. Telinga kupasang baik-baik.

“Akang?” ibu bertanya pelan. Mungkin sekedar untuk meyakinkan.

“Iya, Akang, Akangnya Teh Haji.”

Detak jantungku bertambah cepat lagi. Iramanya serupa dengan tabuhan rebana di acara-acara penyambutan calon pengantin laki-laki ketika tiba di depan rumah sang calon mempelai wanitanya. 

Hari ini. Seorang bapak guru muda hatinya berjingkrak-jingkrak kegirangan. Penyebabnya tidak lain adalah sang murid SD didikannya. Seorang murid perempuan yang katanya cantik dan pintar mengaji itu. Ah, CINTA MEMANG HENA. Ups, salah. Maksudnya CINTA MEMANG ANEH. Hehe.
***