Berbekal sebuah kalimat seorang guru saat berbincang di kantor.
"Kelas sepuluh IPS tholib sekarang baik-baik. Beda dengan sebelum-sebelumnya," ujar seorang ibu guru.
CLING!
Sontak saya berhenti menulis. Pandangan beralih ke sumber suara. Ibu
Wulastrina. Ya, kalimat ini dilantunkan sangat manis oleh Ibu
Wulastrina. Yang biasa kami panggil Ibu Lastri, atau juga ustadzah
Lastri.
Perlahan bibir saya melebar. Tersenyum diam-diam.
Sebuah senyum bukan untuk siapa-siapa. Hanya senyum pertanda ada sebuah
ide berkilau di dalam kepala. Akan saya gunakan kalimat ibu Lastri
sebagai amunisi untuk membelai lembut hati anak-anak saya. Yang tiada
lain adalah kelas sepuluh IPS yang barusan dibicarakan ibu Lastri. Tahun
ini saya dapat amanah menjadi wakil orang tua untuk anak-anak kelas X
IPS 1.
Pada dasarnya, siapapun suka jika dirinya dipuji. Meski
pujian itu kecil dan sederhana. Seperti penghargaan verbal setelah
mereka melakukan sebuah kebaikan. Biasanya, pujian itu akan menjadi
pemancing untuk kebaikan-kebaikan berikutnya. Setidaknya begitulah yang
saya tahu.
***
"Saya ada kabar baik untuk teman-teman semua. Untuk kelas kita," saya beri jeda. Sengaja. Supaya mereka penasaran.
Dua puluh lima pasang mata menatap saya serempak. Menunggu kalimat saya selanjutnya.
"Saya harap kabar baik ini cukup menjadi rahasia kelas kita saja."
Mereka masih diam memandang saya.
"Sepakat?" Saya menegaskan.
"Sepakaaaaaat," jawab anak-anak bersamaan.
"Begini. Kemarin saya dapat kabar dari beberapa pengajar yang sudah
masuk kelas ini. Katanya, kelas IPS sekarang baik-baik. InsyaAllah lebih
baik dari sebelum-sebelumnya. Bahkan, jika tidak salah dengar, katanya
kelas ini lebih baik dari kelas baru lainnya."
Pelan-pelan senyum melengkung di bibir setiap anak. Melihat itu, bibir saya ikut melebar.
"Saya harap anggapan baik ini bisa menjadi pelecut bagi teman-teman
untuk menjadi lebih baik lagi. Jika pun misalkan salah, semoga ini dapat
menjadi motivasi bagi teman-teman untuk menjadikan anggapan itu menjadi
nyata."
Anak-anak masih khusuk melihat saya.
"Sepakat?!"
"Sepakaaaaat!!!!" Ucap anak-anak berjamaah. Bahkan ada beberapa anak
yang mengepalkan dan mengangkat tangan. Layaknya para mahasiswa yang
tersulut semangatnya oleh pimpinan demo.
Alhamdulillah. Semoga pujian sederhana pada hari ini dapat menjadi penyengat mereka dalam melakukan hal baik lainnya. Semoga.
Saya akhiri kelas dengan mengingatkan anak-anak tentang kerapihan tata
ruang dan kebersihan kelas. Juga tidak lupa saya ingatkan tentang
program adiwiyata yang akan memberikan award kepada kelas paling rapih
dan bersih.
***
Beberapa hari selepas saya sampaikan
pujian, matahari kembali terbit di kelas kami. Sebuah pujian kembali
hadir dari seorang guru. Adalah bapak Imam, atau Ustadz Imam. Beliau
adalah penanggung jawab adiwiyata. Pujian itu sangat sederhana. Tapi
saya yakin. Pujian kecil ini teramat sangat berarti bagi anak-anak saya.
"Kelas sepuluh IPS sudah bagus". Puji Pak Imam di grup whatsapp guru SMA. Tema pembicaraan saat itu adalah kebersihan kelas.
Binggo!
Segera! Segera akan saya sampaikan pujian ini pada anak-anak. Semoga
setelah nanti saya sampaikan, akan ada keajaiban lagi yang bisa mereka
ciptakan. Semoga.
Point penting yang ingin saya sampaikan pada
tulisan singkat ini hanya satu saja. Bahwa terkadang sebuah pujian kecil
itu dapat menjadi penyemangat dalam melakukan kebaikan lainnya. Semoga
ini dapat menjadi pelajaran buat kita semua. Demikian.
* Jum'at, 28 Juli 2017
Senin, 30 Oktober 2017
Selasa, 06 September 2016
Ibu Jono
Kami
memanggilnya Ibu Jono. Sesungguhnya, hingga hari ini, saya belum tahu
nama asli beliau. Kami menyebut beliau Ibu Jono, sebab almarhum suaminya
adalah Bapak Jono.
Dalam satu Minggu, setidaknya dua kali kami mengunjungi rumah ibu Jono. Yaitu setiap hari Senin dan Kamis. Secara bergantian, dua orang santri mengambil makanan untuk buka puasa sunnah para santri.
Pagi ini, suatu kebahagiaan bagi santri, ibarat mentari pagi yang cerah, ibu Jono berkunjung ke asrama santri ikhwan. Saat itu hanya ada dua orang yang tersisa di asrama, yakni saya dan Tian. Kami terima sang tamu istimewa itu dengan sambutan sehangat mungkin yang kami bisa.
Kami bertiga duduk di ruang tamu. Ibu Jono duduk di sofa dekat pintu. Tian memilih sofa tengah. Sementara saya kebagian kursi empuk yang paling jauh dari pintu. Kami membuka obrolan dengan saling bertanya kabar. Ibu Jono bertanya bagaimana kabar para santri dan saya menanyakan hal yang serupa pada wanita istimewa itu. Adalah tentang kabar beliau dan keluarganya. Kemudian ibu Jono bertanya tentang keadaan pesantren. Saya dan Tian hanya menjawab yang kami ketahui saja. Lebih dari batas pemahaman kami, saya dan Tian hanya menjawab dengan kalimat "tidak tahu, Bu" saja. Tentunya dengan dibumbui sebuah gelengan dan senyum tipis saja.
Di ruang tamu, kami berbincang selama dua jam. Dari jam sembilan hingga jam sebelas. Waktu selama itu, seperti hanya sekejapan mata bagi saya. Sebab kami sangat larut dalam isi obrolan. Terlebih bagi saya pribadi. Ada banyak pelajaran hidup yang saya petik dari penggalan kisah hidup yang telah dilewati oleh ibu Jono dan keluarga. Saya pikir buah-buah matang yang telah saya petik dari pohon kehidupan ibu Jono, harus saya ikat dengan tulisan. Sebagaimana yang telah diucapkan oleh imam Syafi'i, bahwa ilmu itu ibarat hewan buruan, maka ikatlah ia dengan tulisan. Dan, diantara buah ranum nan segar yang saya petik itu adalah sebagai berikut:
Satu. Ibu Jono adalah seorang pensiunan guru matematika. Dalam perjalanan karirnya, beliau pernah menjabat sebagai kepala sekolah SMA.
"Justru, yang sekarang jadi orang, itu adalah siswa-siswa yang nakal. Kebanyakan dari mereka pernah saya tampar," ibu Jono menyimpulkan beberapa peristiwa yang ia ceritakan pada saya dan Tian. Kemudian diakhiri dengan tawa yang lepas.
"Walau mereka nakal, tapi mereka nurut. Mereka sangat hormat pada guru. Tidak seperti sebagian murid sekarang yang manja, yang kena cubit sedikit sudah lapor polisi. Gurunya sendiri dipenjarakan. Sulit untuk mendapatkan keberkahan ilmu jika seperti itu," tambah ibu Jono.
Dilain kisah, wajah ibu Jono sumringah saat menceritakan bagian yang ini. "Kalau ada siswa yang tidak bisa mengerjakan soal matematika, saya suruh duduk di meja saya, saya perintahkan mereka untuk mengerjakannya di samping saya. Dan lucunya, biasanya mereka jadi bisa," ibu Jono kembali tertawa lepas.
"Kalo Aa Gym, saat dia kesulitan mengerjakan soal, biasanya dia seperti ini," ibu Jono mengemut ibu jari tangan kanannya. Mencoba menirukan tingkah salah satu muridnya dulu. Kemudian ibu Jono tertawa lagi.
"Hormat pada guru, maka ilmu kita akan bermanfaat," ibu Jono menyimpulkan.
Dua. Semua anak ibu Jono, kini telah menjadi orang. Satu diantaranya tinggal di Kanada. Semuanya jebolan universitas ternama.
"Dulu, universitas hanya ada sedikit. Sekarang mah banyak. Dulu, susah mengajak orang untuk sekolah. Harus dipaksa, harus ditarik-tarik dulu. Mbak saya juga sudah nikah ketika kelas empat SD," kenang ibu Jono.
"Pendidikan itu penting. Penting sekali. Kita harus sekolah untuk mendapatkan ilmu. Semua anak saya wajib kuliah. Hanya anak bungsu yang dulu tidak mau kuliah. Dia matematikanya lemah. Dia bilang ingin kerja saja," ujar ibu Jono.
"Saya bilang pada dia 'Ibu itu sarjana, kamu tidak malu kalau hanya lulus SMA saja, orang ibunya saja bisa jadi sarjana kok, masa anaknya tidak'. Setelah itu dia mau kuliah juga. Dan lulus sebagai sarjana hukum," kata ibu Jono.
"Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, saya selalu mentitahkan untuk solat dhuha pada anak-anak saya. Setelah itu baca AlQur'an minimal satu ayat. Setiap hari harus seperti itu," jelas ibu Jono pada saya dan Tian. Kami berdua mengangguk pelan. Kagum dengan setiap kalimat dari ceritanya.
Tiga. Kami, para santri, mengenal ibu Jono sebagai sosok yang dermawan.
"Saya dan almarhum bapak, sepakat untuk selalu berbagi rezeki pada sesama. Selama kami ada rezeki lebih, bapak selalu mengingatkan saya untuk berbagi. Saya selalu berdo'a pada Allah, 'Yaa Allah, mohon selalu ingatkan saya untuk terus berbagi'. Pokoknya hidup itu harus berbagi," Tutur ibu Jono.
"Kamu pasti ingat saat bapak meninggal?" Ibu Jono bertanya pada saya.
Saya mengangguk.
Benar, saat itu bapak Jono solat ashar di mesjid pondok. Selepas solat, saat turun dari tangga, beliau jatuh. Penyakitnya kambuh. Asatidz dan para santri membantu bapak Jono. Beliau dibawa ke rumah sakit terdekat. Dan, tidak lama setelah itu, bapak Jono meninggal.
"Sehari sebelum kepulangannya, ternyata bapak membagi-bagikan sebungkus tahu pada semua warga komplek. Saya sendiri tidak tahu itu. Saya baru tahu setelah bapak tiada. Para warga yang menceritakannya. Bapak itu sering berbagi. Bapak itu selalu berbagi." Kenang ibu Jono.
Empat.
"Kita harus mengalah demi kebaikan. Alhamdulillah, selama hidup, saya tidak pernah memiliki musuh. Kita harus berbaik sangka pada siapapun. Pokoknya, selama nama kita tidak disebut, meski arahnya tertuju pada kita, kita jangan marah. Meskipun smesh-annya pada kita, selama nama kita tidak disebut, kita harus husnudzon saja bahwa itu bukan untuk kita." Nasihat ibu Jono.
"Meski ada yang memusuhi kita, kita harus tetap berbuat baik. Kita harus mewariskan kebaikan untuk keturunan kita. Ingat! Karma itu ada! Jika kita menendang orang, pasti nanti kita juga akan ditendang orang. Jika tidak terjadi pada kita, pasti anak atau cucu kita akan ditendang orang. Karenanya kita harus selalu berbuat baik. Agar kita bisa mewariskan kebaikan untuk anak dan cucu kita nanti."
Kemudian ibu Jono mengisahkan bagaimana keajaiban-keajaiban yang menyapa hidup beliau bersama bapak Jono. Setiap kali keajaiban itu datang, setiap itu juga mereka mengucap syukur. Pada beberapa kejadian yang di luar logika, ibu Jono selalu melakukan sujud syukur. Jujur, saya dibuat kagum dengan kisah ibu Jono dan bapak Jono. Pada kebaikan mereka. Dan pada semua keajaiban yang dianugerahkan Allah pada mereka. Saya takjub.
Di sela-sela ibu Jono menceritakan kisahnya dengan bapak Jono, saya tidak tahan untuk mengajukan sebuah pertanyaan.
"Ibu," saya mencuri tanya pada jeda ceritanya. "Saya boleh tanya?"
"Iya." Ibu Jono mempersilahkan.
"Selama hidup bersama bapak, saya pikir pasti pernah ada perbedaan pendapat, atau mungkin sampai bertengkar. Nah, jika itu sedang terjadi, bagaimana ibu dan bapak menyelesaikannya?"
Ibu Jono tersenyum menatap saya. Wajah beliau sumringah seperti segera ingin menjawab pertanyaan saya.
"Kami tidak pernah bertengkar mulut. Tidak pernah ada suara."
Saya mengernyitkan dahi. Maksudnya?
Ibu Jono paham tatapan saya.
"Kami bertengkar lewat surat."
"Surat?!" Mata saya membulat. Kening bergelombang.
"Jika sedang kesal, saya marah lewat surat. Saya simpan surat itu di meja. Setelah itu bapak juga membalas dengan surat. Pokoknya, jika kami sedang bertengkar, anak-anak tidak boleh ada yang tahu. Mereka harus tahunya kami baik-baik saja," jelas ibu Jono.
"Yang paling membuat saya kesal itu, jika bapak sedang marah, larinya pasti ke makanan. Semua makanan yang ada di rumah pasti habis. Pernah kue satu toples dilahap habis. Pernah juga makanan satu meja dihabiskan," lalu ibu Jono tertawa lepas sebab kenangan ini.
"Waktu itu bapak pernah kesal. Saya tahu dia sedang marah. Saya segera ambil sebagian makanan yang ada di meja. Saya sembunyikan di lemari. Sebab jika tidak begitu, semua makanan di atas meja pasti habis," ibu Jono tertawa lagi.
Ini adalah beberapa buah manis yang saya petik dari obrolan kami. Seperti yang sudah saya tuliskan di depan. Pagi ini, ibu Jono laksana mentari pagi. Kedatangannya menghangatkan pagi saya hari ini. Terima kasih ibu Jono. Terima kasih bapak Jono. Dan terima kasih Allah, karena telah menuntun hidup saya hingga bertemu dengan sepasang Romeo dan Juliet-nya Indonesia. Saya tidak melebih-lebihkan permisalan ini ya. Sebab ibu Jono sendiri yang mengatakannya pada saya.
"Jika sedang bergandengan bersama bapak. Warga selalu memanggil kami dengan sebutan Romi dan Yuli, hehehe..."
Demikian.
***
Dalam satu Minggu, setidaknya dua kali kami mengunjungi rumah ibu Jono. Yaitu setiap hari Senin dan Kamis. Secara bergantian, dua orang santri mengambil makanan untuk buka puasa sunnah para santri.
Pagi ini, suatu kebahagiaan bagi santri, ibarat mentari pagi yang cerah, ibu Jono berkunjung ke asrama santri ikhwan. Saat itu hanya ada dua orang yang tersisa di asrama, yakni saya dan Tian. Kami terima sang tamu istimewa itu dengan sambutan sehangat mungkin yang kami bisa.
Kami bertiga duduk di ruang tamu. Ibu Jono duduk di sofa dekat pintu. Tian memilih sofa tengah. Sementara saya kebagian kursi empuk yang paling jauh dari pintu. Kami membuka obrolan dengan saling bertanya kabar. Ibu Jono bertanya bagaimana kabar para santri dan saya menanyakan hal yang serupa pada wanita istimewa itu. Adalah tentang kabar beliau dan keluarganya. Kemudian ibu Jono bertanya tentang keadaan pesantren. Saya dan Tian hanya menjawab yang kami ketahui saja. Lebih dari batas pemahaman kami, saya dan Tian hanya menjawab dengan kalimat "tidak tahu, Bu" saja. Tentunya dengan dibumbui sebuah gelengan dan senyum tipis saja.
Di ruang tamu, kami berbincang selama dua jam. Dari jam sembilan hingga jam sebelas. Waktu selama itu, seperti hanya sekejapan mata bagi saya. Sebab kami sangat larut dalam isi obrolan. Terlebih bagi saya pribadi. Ada banyak pelajaran hidup yang saya petik dari penggalan kisah hidup yang telah dilewati oleh ibu Jono dan keluarga. Saya pikir buah-buah matang yang telah saya petik dari pohon kehidupan ibu Jono, harus saya ikat dengan tulisan. Sebagaimana yang telah diucapkan oleh imam Syafi'i, bahwa ilmu itu ibarat hewan buruan, maka ikatlah ia dengan tulisan. Dan, diantara buah ranum nan segar yang saya petik itu adalah sebagai berikut:
Satu. Ibu Jono adalah seorang pensiunan guru matematika. Dalam perjalanan karirnya, beliau pernah menjabat sebagai kepala sekolah SMA.
"Justru, yang sekarang jadi orang, itu adalah siswa-siswa yang nakal. Kebanyakan dari mereka pernah saya tampar," ibu Jono menyimpulkan beberapa peristiwa yang ia ceritakan pada saya dan Tian. Kemudian diakhiri dengan tawa yang lepas.
"Walau mereka nakal, tapi mereka nurut. Mereka sangat hormat pada guru. Tidak seperti sebagian murid sekarang yang manja, yang kena cubit sedikit sudah lapor polisi. Gurunya sendiri dipenjarakan. Sulit untuk mendapatkan keberkahan ilmu jika seperti itu," tambah ibu Jono.
Dilain kisah, wajah ibu Jono sumringah saat menceritakan bagian yang ini. "Kalau ada siswa yang tidak bisa mengerjakan soal matematika, saya suruh duduk di meja saya, saya perintahkan mereka untuk mengerjakannya di samping saya. Dan lucunya, biasanya mereka jadi bisa," ibu Jono kembali tertawa lepas.
"Kalo Aa Gym, saat dia kesulitan mengerjakan soal, biasanya dia seperti ini," ibu Jono mengemut ibu jari tangan kanannya. Mencoba menirukan tingkah salah satu muridnya dulu. Kemudian ibu Jono tertawa lagi.
"Hormat pada guru, maka ilmu kita akan bermanfaat," ibu Jono menyimpulkan.
Dua. Semua anak ibu Jono, kini telah menjadi orang. Satu diantaranya tinggal di Kanada. Semuanya jebolan universitas ternama.
"Dulu, universitas hanya ada sedikit. Sekarang mah banyak. Dulu, susah mengajak orang untuk sekolah. Harus dipaksa, harus ditarik-tarik dulu. Mbak saya juga sudah nikah ketika kelas empat SD," kenang ibu Jono.
"Pendidikan itu penting. Penting sekali. Kita harus sekolah untuk mendapatkan ilmu. Semua anak saya wajib kuliah. Hanya anak bungsu yang dulu tidak mau kuliah. Dia matematikanya lemah. Dia bilang ingin kerja saja," ujar ibu Jono.
"Saya bilang pada dia 'Ibu itu sarjana, kamu tidak malu kalau hanya lulus SMA saja, orang ibunya saja bisa jadi sarjana kok, masa anaknya tidak'. Setelah itu dia mau kuliah juga. Dan lulus sebagai sarjana hukum," kata ibu Jono.
"Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, saya selalu mentitahkan untuk solat dhuha pada anak-anak saya. Setelah itu baca AlQur'an minimal satu ayat. Setiap hari harus seperti itu," jelas ibu Jono pada saya dan Tian. Kami berdua mengangguk pelan. Kagum dengan setiap kalimat dari ceritanya.
Tiga. Kami, para santri, mengenal ibu Jono sebagai sosok yang dermawan.
"Saya dan almarhum bapak, sepakat untuk selalu berbagi rezeki pada sesama. Selama kami ada rezeki lebih, bapak selalu mengingatkan saya untuk berbagi. Saya selalu berdo'a pada Allah, 'Yaa Allah, mohon selalu ingatkan saya untuk terus berbagi'. Pokoknya hidup itu harus berbagi," Tutur ibu Jono.
"Kamu pasti ingat saat bapak meninggal?" Ibu Jono bertanya pada saya.
Saya mengangguk.
Benar, saat itu bapak Jono solat ashar di mesjid pondok. Selepas solat, saat turun dari tangga, beliau jatuh. Penyakitnya kambuh. Asatidz dan para santri membantu bapak Jono. Beliau dibawa ke rumah sakit terdekat. Dan, tidak lama setelah itu, bapak Jono meninggal.
"Sehari sebelum kepulangannya, ternyata bapak membagi-bagikan sebungkus tahu pada semua warga komplek. Saya sendiri tidak tahu itu. Saya baru tahu setelah bapak tiada. Para warga yang menceritakannya. Bapak itu sering berbagi. Bapak itu selalu berbagi." Kenang ibu Jono.
Empat.
"Kita harus mengalah demi kebaikan. Alhamdulillah, selama hidup, saya tidak pernah memiliki musuh. Kita harus berbaik sangka pada siapapun. Pokoknya, selama nama kita tidak disebut, meski arahnya tertuju pada kita, kita jangan marah. Meskipun smesh-annya pada kita, selama nama kita tidak disebut, kita harus husnudzon saja bahwa itu bukan untuk kita." Nasihat ibu Jono.
"Meski ada yang memusuhi kita, kita harus tetap berbuat baik. Kita harus mewariskan kebaikan untuk keturunan kita. Ingat! Karma itu ada! Jika kita menendang orang, pasti nanti kita juga akan ditendang orang. Jika tidak terjadi pada kita, pasti anak atau cucu kita akan ditendang orang. Karenanya kita harus selalu berbuat baik. Agar kita bisa mewariskan kebaikan untuk anak dan cucu kita nanti."
Kemudian ibu Jono mengisahkan bagaimana keajaiban-keajaiban yang menyapa hidup beliau bersama bapak Jono. Setiap kali keajaiban itu datang, setiap itu juga mereka mengucap syukur. Pada beberapa kejadian yang di luar logika, ibu Jono selalu melakukan sujud syukur. Jujur, saya dibuat kagum dengan kisah ibu Jono dan bapak Jono. Pada kebaikan mereka. Dan pada semua keajaiban yang dianugerahkan Allah pada mereka. Saya takjub.
Di sela-sela ibu Jono menceritakan kisahnya dengan bapak Jono, saya tidak tahan untuk mengajukan sebuah pertanyaan.
"Ibu," saya mencuri tanya pada jeda ceritanya. "Saya boleh tanya?"
"Iya." Ibu Jono mempersilahkan.
"Selama hidup bersama bapak, saya pikir pasti pernah ada perbedaan pendapat, atau mungkin sampai bertengkar. Nah, jika itu sedang terjadi, bagaimana ibu dan bapak menyelesaikannya?"
Ibu Jono tersenyum menatap saya. Wajah beliau sumringah seperti segera ingin menjawab pertanyaan saya.
"Kami tidak pernah bertengkar mulut. Tidak pernah ada suara."
Saya mengernyitkan dahi. Maksudnya?
Ibu Jono paham tatapan saya.
"Kami bertengkar lewat surat."
"Surat?!" Mata saya membulat. Kening bergelombang.
"Jika sedang kesal, saya marah lewat surat. Saya simpan surat itu di meja. Setelah itu bapak juga membalas dengan surat. Pokoknya, jika kami sedang bertengkar, anak-anak tidak boleh ada yang tahu. Mereka harus tahunya kami baik-baik saja," jelas ibu Jono.
"Yang paling membuat saya kesal itu, jika bapak sedang marah, larinya pasti ke makanan. Semua makanan yang ada di rumah pasti habis. Pernah kue satu toples dilahap habis. Pernah juga makanan satu meja dihabiskan," lalu ibu Jono tertawa lepas sebab kenangan ini.
"Waktu itu bapak pernah kesal. Saya tahu dia sedang marah. Saya segera ambil sebagian makanan yang ada di meja. Saya sembunyikan di lemari. Sebab jika tidak begitu, semua makanan di atas meja pasti habis," ibu Jono tertawa lagi.
Ini adalah beberapa buah manis yang saya petik dari obrolan kami. Seperti yang sudah saya tuliskan di depan. Pagi ini, ibu Jono laksana mentari pagi. Kedatangannya menghangatkan pagi saya hari ini. Terima kasih ibu Jono. Terima kasih bapak Jono. Dan terima kasih Allah, karena telah menuntun hidup saya hingga bertemu dengan sepasang Romeo dan Juliet-nya Indonesia. Saya tidak melebih-lebihkan permisalan ini ya. Sebab ibu Jono sendiri yang mengatakannya pada saya.
"Jika sedang bergandengan bersama bapak. Warga selalu memanggil kami dengan sebutan Romi dan Yuli, hehehe..."
Demikian.
***
Senin, 18 April 2016
Kesehatan Kita, Juga Milik Mereka
Seorang
teman, namanya Eris, kawan satu kamar di daarul haliim. Mengirim sepotong kalimat
yang tidak begitu panjang di grup whats app santri. Meski pendek, tapi memiliki rasa yang sangat lezat menurut
saya. Kurang lebih isinya seperti ini:
Mari jaga kesehatan. Sebab bukan
hanya dirimu yang membutuhkan kesehatanmu. Tapi juga amanah yang sedang
menggelayut di pundakmu. Masih ingat bagaimana dampak yang timbul ketika Pak
Satim sakit? Sampah menumpuk di setiap depan rumah. Hingga kita harus
membersihkannya sampai larut malam. Maka jagalah kesehatan. Tidak sekedar untuk
dirimu. Tapi juga bagi amanah yang butuh kesehatanmu.
Sebuah deretan
kata yang hanya terdiri dari beberapa kalimat. Tapi langsung menusuk hati kala
saya selesai membacanya. Tidak main-main. Ujung pisau kalimat itu menghujam ke
dasar hati. Bagaimana tidak? Sebab saya adalah satu dari beberapa aktor dalam
peristiwa yang Eris kutip dalam kalimatnya. Agar lebih jelas, saya akan coba
kisahkan lagi episode itu. Begini:
Adalah pak
Satim. Usianya setengah baya. Beliau adalah tim keamanan sekolah daarul fikri
yang lokasinya hanya sepelemparan batu dari ponpes daarul haliim. Tugas jaga
sang juru keamanan ini dimulai dari setelah isya hingga menjelang adzan subuh. Begitu
terus setiap hari. Selain pekerjaan pokok ini, pak Satim juga memiliki
pekerjaan sampingan. Yaitu sebagai petugas kebersihan komplek perumahan sekitar
daarul haliim. Saban pagi pak Satim mendorong gerobak berkeliling komplek, untuk
mengambil plastik sampah yang sudah setia menunggunya di depan rumah warga. Butuh
beberapa kali balikan bagi pak Satim hingga plastik-plastik itu ludes dan berpindah
tempat ke pembuangan akhir. Menjelang siang hingga sore hari, jika sedang ada
di asrama, tidak saya temukan lagi sosok pak Satim. Sepertinya itu adalah jam
istirahat beliau. Penampakan pak Satim dapat dilihat lagi malam hari. Di pos
jaga depan sekolah daarul fikri.
Suatu hari,
pak Satim sedang tidak sehat. Hingga menyebabkannya memohon izin dari
pekerjaannya sebagai penjaga malam. Otomatis tugasnya sebagai juru kebersihan
juga alpa. Kemudian apa yang terjadi dengan pos satpam? Tentunya sekolah menugaskan
pengganti selama pak Satim sakit. Lalu bagaimana dengan nasib plastik sampah di
setiap rumah warga? Hari pertama ketiadaan pak Satim belum terasa efeknya. Tapi
apa yang terjadi setelah hari-hari berikutnya? Pelan-pelan plastik sampah
menumpuk di halaman depan rumah warga. Hingga akhirnya asatidz daarul
haliim mewasiatkan kepada para santri ikhwan dewasa untuk mengamalkan ilmu yang
telah dimiliki. Satu kalimat saja yang dikutip. Yaitu: Kebersihan adalah
sebagain dari iman. Alhasil, pasukan santri ikhwan turun. Kami menyingsingkan
lengan baju. Pada kalimat “menyingsingkan lengan baju” ini merupakan kalimat
denotatif. Kalimat dengan arti yang sebenarnya. Bukan apa-apa, kami khawatir
baju kami kotor dicium sampah, hehe... Kami lembur membasmi sampah hingga larut
malam. Setelah rampung, kami langsung tepar.
Kembali pada
kalimat dari whats app Eris di atas. Kisah tentang pak Satim ini bisa
kita jadikan sebagai pelajaran. Pelajaran agar kita selalu menjaga kesehatan
diri. Tubuh adalah amanah dari Allah. Yang namanya amanah tentunya harus kita
jaga agar tubuh senantiasa dalam kebugaran. Banyak peluang kebaikan yang bisa
kita lakukan dengan kondisi tubuh yang prima. Lain halnya jika tubuh kita
sedang sakit. Akan terasa berat meski hanya untuk menggeser pintu kebaikan
supaya bisa terbuka. Lebih jauh lagi, dan ini adalah memang maksud utama dari
tulisan kali ini. Sebab bukan hanya diri kita yang membutuhkan kesehatan
kita. Tapi juga amanah yang sedang menggelayut di pundak masing-masing dari
kita. Mari kita jaga kesehatan. Dengan rutin berolahraga, juga
mengkonsumsi makanan sehat. Serta masih banyak lagi upaya untuk memperoleh
kesehatan lainnya. Jika sekiranya kita tetap disapa sakit padahal telah sekuat
tenaga dan jiwa menjaga kesehatan. Itu adalah lain cerita. Allah pasti memiliki
rencana lain. Tentunya adalah rencana terbaik bagi kita. Tugas kita adalah
hanya berusaha saja. Berusaha untuk menunaikan amanah terhadap tubuh kita. Begitu.
***
Sabtu, 09 April 2016
Bersihkan Dulu, Lalu Berhias
Seperti biasa, malam Jum'at adalah jadwal para santri laki-laki
besar ponpes Daarul haliim berkumpul di teras depan rumah Kyai Rofiq. Agendanya
adalah mengaji. Lebih tepatnya mengaji khusus untuk para santri ikhwan generasi
pertama.
"Untuk ngaji malam Jum'at di rumah saya, sementara santri
ikhwan yang besar-besar dulu," kurang lebih kalimat ini yang dulu kyai
Rofiq ucapkan pada kami.
Satu kebiasaan kyai Rofiq sebelum mulai pengajian adalah membawa
setumpuk makanan. Dan yang tidak pernah terlewatkan adalah buah-buahan.
Biasanya kyai membawa nampan dari dalam, kemudian meletakan makanan dan
buah-buah di nampan itu pada meja di hadapan para santri. "Silahkan
dimakan dulu," tawar kyai Rofiq.
Jika sudah begitu, biasanya santri saling tatap. Tidak ada bahasa
memang, tapi mata mereka yang berbicara. "SIKAT!" mungkin itu arti
dari tatapan para santri. Awalnya, tidak ada pergerakan dari santri. Sependek
pengamatan saya, tangan para santri mulai ada pergerakan ketika kyai Rofiq
menawarkan untuk yang kedua kalinya. "Silahkan dimakan!". Pelan-pelan
tangan santri merayap di atas meja. Tentunya dengan mata masih saling
memandang. Saat kyai beranjak masuk rumah. Tanpa ada komando, kecepatan tangan
santri seolah menyerupai kecepatan cahaya. Serempak mereka menerkam isi nampan.
Tidak terkecuali juga tangan saya, hehe.
Episode kali ini, kyai Rofiq menjelaskan tentang kebersihan diri.
"Kata imam Ghozali, agama itu dua, yaitu perintah dan larangan.
Dari kedua hal ini, mana yang harus kita dahulukan? Yang harus kita dahulukan
adalah larangan," jelas kyai Rofiq. Kami, para santri, duduk terpaku
menatap sang kyai.
"Imam Ghozali juga berkata, bahwa asal agama itu adalah
larangan. Perintah itu terbatas waktu dan tempat. Sementara larangan
tidak." Jelas kyai Rofiq menambahkan.
"Contoh, kita diperintahkan untuk solat. Solat itu ada waktu-waktunya. Dalam sehari kita diwajibkan solat lima kali. Setiap solat ada waktunya masing-masing. Kemudian, adakah solat setelah solat subuh sampai terbit matahari? Lalu adakah solat setelah ashar hingga terbenam matahari? Tidak ada kan? Lha, inilah maksud dari perintah itu ada batas waktu dan tempatnya."
"Kemudian, setiap bulan Ramadhan, kita ada kewajiban membayar
zakat fitrah. Lalu apakah bisa kita berzakat fitrah di bulan selain Ramadhan?
Tentu tidak akan bisa kan? Inilah maksud perintah terbatas waktu dan tempat
itu."
"Sekarang kita berpindah pada larangan," kyai Rofiq
memberi jeda. Sekedar membiarkan kami untuk berpikir. "Misalkan berzinah.
Melakukan perzinahan itu haram bagi siapapun. Baik muda maupun tua. Apakah
kemudian berzinah boleh dilakukan saat seseorang sudah mencapai usia 40 tahun
misalnya? Tidak kan?! Tetap saja tidak boleh. Inilah bukti bahwa larangan tidak
terbatas waktu dan tempat." jelas kyai Rofiq. Mata beliau menyisir mata
para santri. Saya menunduk.
"Dari sini kita tahu bahwa, menghindari keharaman dan
kemaksiatan, itu harus didahulukan dari melakukan ibadah. Membersihkan hati dan
diri itu harus didahulukan dari menghias. Ibaratnya seperti ini, apa gunanya
kita memakai baju bagus, jika kita belum mandi?" kyai memberi pertanyaan
retoris.
"Nabi berkata, takutlah dengan perkara haram, maka engkau akan
menjadi orang yang paling ahli ibadah." kyai mengutip kalimat Rasul. Lalu
melanjutkan ucapannya. "Kuncinya adalah selalu merasa diawasi Allah. Jika
sudah begitu, insyaAllah tidak akan melakukan maksiat. Lalu bentuk syukurnya
adalah dengan melakukan ibadah kepada Allah."
"Baik, segini saja dulu untuk ngaji malam ini. Sedikit, tapi
mudah-mudahan meresap ke dalam hati. Seperti biasa, setelah ini kita akan
dzikir bersama." kyai Rofiq menutup pengajian.
Kyai masuk rumah. Mematikan lampu teras depan. Biasanya kami dzikir
dengan lampu padam. Disela-sela dzikir, sebagian santri terisak. Mereka
menangis. Saya selalu iri pada mereka. Saya juga ingin seperti mereka.
"Silahkan menangis, sebab hati yang lembut itu mudah menangis
jika ingat dosa. Air mata yang menetes karena takut dosa, kelak akan menjadi
penghalang pemiliknya masuk neraka," lirih kyai Rofiq di tengah dzikir.
"Hati yang keras adalah hati yang sulit nangis meski ingat dosa,"
kyai menambahkan. Mendengar kalimat kyai, saya takut, ingat dosa yang menumpuk,
dan akhirnya mewek juga. Hehe.
Masya
Allah, banyak pelajaran berharga yang saya peroleh dari pengajian malam
Jum'at kali ini. Dan kalimat yang masih terngiang di telinga hingga detik ini.
Bahkan hingga detik saya membuat tulisan ini. Adalah "Apa gunanya memakai
baju bagus, jika kita tidak mandi. Membersihkan, itu didahulukan daripada
menghias diri". Wallahu'alam.
***
Langganan:
Postingan (Atom)