Senin, 13 November 2017

Awan



"Jawaban saya C. Awan cirrus," kata Nida.

"Zulfa apa?" Tanya Pak Okin.

"Sama, Pak."

"Oke. Benar," ucap Pak Okin. "Lanjut."

Zulfa melihat kertas. Bersiap akan membaca soal nomer delapan belas pada pembahasan soal olimpiade geografi episode sore ini. Di tempat biasa. Pada bangku beton depan kelas sebelas IPA.

Pak Okin menengadah. Memandang langit.

"Allah!"

Zulfa tidak jadi membaca soal. Ia menoleh pada sumber suara. Pada Pak Okin. Nida juga menoleh.

"Ada apa Pak?" Zulfa penasaran.

Dahi Nida melipat. Ada tanya di kepalanya. Kenapa?

"Lihat!" Pak Okin menunjuk wajah langit sebelah selatan.

Nida dan Zulfa melihat langit yang ditunjuk Pak Okin.

"Itu cirrus. Awan kategori tinggi. Adanya pada ketinggian sekitar enam sampai dua belas kilometer. Karena ketinggiannya, awan ini mengandung kristal es dan tidak bisa menimbulkan hujan," Pak Okin menjelaskan.

Pak Okin menoleh pada dua santri bimbingannya. Saat mata Pak Okin mendarat, Nida telah lebih dulu mengarahkan pandangan pada sang guru. Nida kaget. Kelopak matanya melebar. Matanya membulat. Bergegas gadis belia itu melempar pandangan kembali ke atas. Membersamai Zulfa yang telah lebih dulu.

"Nida," sebut Pak Okin. Lembut.

DEBBB!

Seperti ada sebuah tinjuan yang menghantam dada Nida.

"Coba baca soal yang tadi," titah Pak Okin.

Nida menarik nafas. Lega.

Nida melihat soal. "Awan yang berbentuk seperti bulu unggas. Strukturnya seperti serat. Mengandung banyak kristal es dan tidak bisa menimbulkan hujan."

"Stop," Pak Okin memotong. "Lihat!" Guru geografi itu kembali mengarahkan telunjuknya pada bagian langit yang tadi. "Bentuknya seperti bulu burung. Berserat halus. Itu awan cirrus."

"Oh iya ya, saya baru ngeh, mirip bulu burung banget ya," takjub Zulfa.

Pak Okin mengarahkan wajah ke sudut langit yang lain. Berharap ada jenis awan lain yang tampak. Sebab pada hari cerah, biasanya ada beberapa jenis awan tinggi lain yang hadir.

"Nah itu!" Pak Okin menunjuk sudut langit utara. "Itu awan cirro cumulus. Masih kategori awan tinggi. Mengandung kristal es. Tidak bisa menimbulkan hujan. Bentuknya seperti sisik-sisik ikan atau seperti kumpulan domba."

Pak Okin mencari lagi. Kepalanya ke kanan, ke kiri, memutar menyisir langit. Lalu berhenti pada satu titik. Pak Okin tersenyum lebar.

"Nida," ada jeda. "Zulfa," Pak Okin memberi jeda lagi. "Lihat awan itu!"

Nida dan Zulfa sedikit mengangkat wajah.

"Awan yang mana Pak?" Zulfa bertanya. Kening Nida bergelombang.

"Itu!" Pak Okin menunjuk lagi.

"Yang mana?" Zulfa bertanya lagi.

Pak Okin kembali tersenyum.

"Coba perhatikan baik-baik langit yang saya tunjuk," jelas Pak Okin. "Apakah ada beda warna birunya dengan yang sebelah sana?" Kini telunjuk Pak Okin tertuju pada bagian lain.

Zulfa menggaruk kepalanya yang dibalut kerudung. Bukan sebab gatal. Tapi karena sedang berpikir. Sementara Nida diam saja. Namun sama-sama sedang mencoba membedakan dua warna biru langit.

"Yang itu agak sedikit ada keputih-putihan warnanya," Nida menunjuk bagian langit yang kata Pak Okin tadi ada awannya. "Kalo yang itu birunya biru langit banget," Nida menunjuk bagian langit pembanding.

Kedua ujung bibir Pak Okin melebar.

"Nah, itu dia. Coba sekarang perhatikan lagi langit yang birunya agak keputihan," pinta Pak Okin.

Zulfa dan Nida melihat dengan seksama.

"Yang agak putih itu adalah awan. Namanya awan cirro stratus. Awan tinggi. Bentuknya menyerupai kelambu. Halus dan tipis. Biasanya, awan ini yang menyebabkan munculnya fenomena cahaya yang bulat melingkari bulan atau matahari."

"Halo(?)" Ucap Nida. Nadanya seperti sebuah pertanyaan.

"Cerdas," sanjung Pak Okin. Nida tersenyum. Sangat tipis. Tipis sekali. Sebuah senyuman yang tak akan terlihat jika hanya dengan pandangan sekilas.

"Menimbulkan hujan tidak, Pak?" Tanya Zulfa.

"Cirro stratus tidak menimbulkan hujan."

Zulfa manggut-manggut pelan. "Bagus-bagus ya awannya. Putih bersih. Tapi kalo saya lebih suka yang cirrus itu," Zulfa menunjuk awan bulu unggas. "Lucu. Hehe."

"Kalo Pak Okin suka yang mana?" Tanya Zulfa.

"Semuanya saya suka."

"Yang palingnya?"

"Setiap awan memiliki keunikan masing-masing. Tapi jika harus memilih, saya pilih cumulo nimbus."

"Cumulo nimbus?"

"Ya."

Pak Okin diam. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Empat detik. Lima detik. Enam detik. Tujuh detik.

"Awan yang menimbulkan hujan. Dialah cumulo nimbus. Sebuah awan hitam tebal bergumpal-gumpal. Berjalan berarakan. Memberikan hujan pada bumi yang dilewatinya."

"Oh awan ituuu. Seram Itumah Pak!" Sergah Zulfa.

"Tidak," Pak Okin meluruskan. "Di balik dugaan seram itu, sesungguhnya cumulo nimbus itu pemalu."

Zulfa tertawa.

Nida hanya tersenyum kecil.

"Sudah seperti manusia aja pemalu," kata Zulfa.

"Benar. Mereka memiliki jiwa seperti kita. Mereka berdzikir. Bahkan mereka jauh lebih taat pada Sang Pencipta dibanding kita. Mereka selalu mematuhi titah Tuhannya. Berbeda dengan kita yang patuhnya sedikit, sedangkan tidaknya jauh lebih banyak."

"Cumulo nimbus itu pemalu," Pak Okin mengucapkan kalimat ini lagi. "Coba bayangkan langit mendung," Pak Okin diam sebentar. "Awan hitam yang tampak. Tapi hujan adalah maksudnya. Dia teramat malu pada bumi. Hingga sembunyikan hujan di balik awan."

Pak Okin diam mematung. Hanya menatap langit. Tidak ada suara. Hening beberapa saat.

Masih diam. Hening.

"Pak Okin sudah punya calon belum?" Tanya Zulfa memecah keheningan.

"Calon?"

"Iya. Calon istri? Hehe."

"Sekarang sudah masuk soal nomer berapa? Hayu lanjut." Pak Okin kikuk.

"Jangan mengalihkan pembicaraan gitu atuh Pak. Saya gak akan lanjut sebelum bapak jawab pertanyaan saya dulu," ancam Zulfa.

"Belum," ucap Pak Okin singkat. "Hayu lanjut soal berikutnya.

"Cie cieee," goda Zulfa.

Pak Okin memprogram diri untuk tetap tenang. Tetap cool. Meski hanya tenang yang dibuat-buat.

Nida hanya menunduk menatap kertas soal. Ada senyum di bibir tipisnya. Senyum kecil yang lebih tersembunyi dibanding senyum yang pertama. Tidak ada yang tahu kecuali hanya sang pemilik senyum saja.
***

Matahari



September. Selepas ashar. Matahari condong ke langit sebelah barat. Cerah.

"Hari ini panas banget ya?" Tanya Zulfa. Entah kepada siapa.

Nida menoleh. Hendak meyakinkan apakah pertanyaan itu untuknya. Pak Okin juga melirik.

"Apalagi tadi siang. Di kelas gerah banget." Kali ini Zulfa memberi pernyataan. "Pak Okin dan kamu," Zulfa melihat Nida, "Merasa panas banget gak tadi siang?"

"Iya." Jawab Nida pendek. Dengan tetap melihat soal geografi di hadapannya.

"Pak Okin?" Zulfa menagih respon guru pembimbing olimpiade geografinya.

"Lumayan."

Pak Okin menutup buku tebal kumpulan soal olimpiade. Sedikit menyerongkan posisi duduk. Menghadap dua santrinya.

"Teman-teman tahu kenapa beberapa hari ini terasa lebih panas dari biasanya?" Pak Okin membuka diskusi.

Nida dan Zulfa mendaratkan pandangan pada Pak Okin. Melupakan kertas di genggaman mereka.

"Mmm. Karena banyak penebangan pohon. Terus ozon juga semakin menipis." Zulfa mengangkat kedua alisnya. Keningnya melipat. Isyarat meminta konfirmasi apakah jawabannya benar.

Sementara Nida menyipitkan mata. Masih mencoba mencari jawaban.

"Nida?" Pak Okin menagih.

Nida menggeleng pelan. Ada sedikit senyum di bibirnya.

"Jika pertanyaannya kenapa suhu bumi lebih panas dari sebelumnya, jawaban Zulfa mungkin benar."

"Lantas jawabannya apa Pak?" Zulfa memotong kalimat Pak Okin.

"Sebab posisi matahari sekarang sedang tepat di atas Indonesia."

"Oooh, di khatulistiwa ya Pak?" Zulfa menyela.

"Ya."

Nida mengambil pena. Menuliskan sesuatu di pinggir kertas soal.

"Ada dua waktu dimana matahari tepat di khatulistiwa. Yaitu bulan Maret dan September. Pada waktu itu Indonesia sedikit lebih panas dari biasanya. Terlebih di tempat yang dilewati garis khatulistiwa. Seperti di Pontianak Kalimantan Barat."

"Kenapa bisa begitu?" Tanya Zulfa. Nida mengangguk. Tanda menanyakan hal serupa.

"Itu adalah gerak semu tahunan matahari. Sebab posisi bumi miring dua puluh tiga koma lima derajat dari garis ekliptika. Pada saat bumi berevolusi, seolah pelan-pelan matahari bergerak bolak-balik dari 23,5 derajat lintang utara sampai 23,5 derajat lintang selatan."

Nida kembali menulis.

"Oooh, pantesan." Zulfa mengangguk. "Tapi kenapa panasnya panas banget ya. Kenapa tidak dikurangi dikit saja supaya di kelasnya tidak gerah banget." Zulfa menambahkan rentetan kalimatnya.

Nida menggeleng. Kedua ujung bibir Pak Okin melebar. Keduanya sudah paham betul karakter seorang santri yang barusan menggerutu itu.

"Ah memang dasar matahari." Zulfa menutup kalimatnya dengan senyum mengembang. Terselip canda dalam gerutunya.

Pak Okin kembali membuka buku tebal. Bukan ingin membaca. Tapi mencari jeda waktu untuk sedikit berpikir.

Nida dan Zulfa kembali pada soal-soal.

"Matahari itu keren ya." Ucap Pak Okin.

Zulfa menoleh pada sumber suara. Kemudian Nida juga.

"Energi pancaran matahari membuat bumi layak menjadi tempat hidup manusia. Hingga sekarang kita masih merasa nyaman tinggal di planet biru ini. Karenanya setiap pagi menjelang siang pohon-pohon bisa berfotosintesis untuk menghasilkan makanan. Lalu mereka tumbuh subur dan menghasilkan buah-buahan untuk kita makan. Karenanya juga menjadi sebab terjadinya siklus air di dunia. Bolak-balik dari laut naik ke atas lalu terbawa angin ke darat dan turun sebagai hujan untuk menyuburkan tanah tempat hidup tumbuhan yang pada ujungnya hasilnya untuk kita makan juga. Lalu air itu balik lagi ke laut lewat sungai dan selokan."

Nida lekat menatap Pak Okin.

"Masih banyak lagi peran matahari bagi kehidupan kita. Tanpa matahari, sulit membayangkan ada kehidupan di bumi. Termasuk hidup saya, Nida dan Zulfa."

Pak Okin mengakhiri kata-katanya dengan senyuman.

"Jadi matahari itu keren kan?" Pak Okin bertanya. Pertanyaan bukan untuk dijawab.

Nida melirik Zulfa. Dia paham arti tanya Pak Okin. Nida kembali menatap soal. Bersamaan dengan itu senyum terlukis di bibirnya.

"Hehe," Zulfa tertawa dingin. Sepertinya dia juga paham.

Pak Okin menggeser pandangannya dari Zulfa ke Nida. Pada waktu yang sama Nida juga melirik Pak Okin.

Segera Nida balik melihat soal. Sementara Pak Okin membuang pandang ke pohon jambu di samping bangku beton yang dia duduki.

***

Pesan



Sore. Jam 17.05. Pada bangku beton di depan kelas sebelas IPA. Sebuah taman kecil yang menghadap pada pohon-pohon berdaun lebat. Hijau.

"Pak Okin, beri saya pesan," pinta Nida setelah lama diam.

"Pesan apa?" Pak Okin bertanya balik. Tapi masih fokus pada buku geografi kelas sepuluh di tangannya.

"Pesan untuk wanita," Nida melihat sisi kiri wajah Pak Okin.

Pak Okin tak bereaksi. Tetap khusuk pada buku.

Pandang Nida belum lepas. Menunggu.

Pak Okin membalik kertas. Lanjut membaca halaman berikutnya.

Nida masih menunggu. Matanya bertahan pada Pak Okin.

Tidak ada tanggapan. Santri putri kelas sepuluh IPS itu menyerah. Konsentrasinya kembali pada lembaran kertas di hadapannya. Soal-soal geografi. Persiapan untuk Olimpiade tahun ini.

Pak Okin melirik ke kiri. Melihat Nida yang menunduk menatap kertas.

"Wanita harus siap."

Nida menoleh. Beradu pandang dengan Pak Okin. Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

Pak Okin berpaling. Melempar wajah pada pohon-pohon hijau di depan. Tapi Nida masih. Masih melihat Pak Okin.

"Siap untuk apa?"

Pak Okin menarik nafas. Pelan.

"Wanita akan selalu merindukan rumahnya. Tempat dia lahir dan bertumbuh. Wanita juga pasti selalu rindu keluarganya. Tempat dia mendapatkan mata air kasih sayang. Tapi. Suatu hari nanti, akan ada seorang laki-laki yang datang mengetuk pintu rumah dan berbincang dengan ayah-ibunya. Lalu memohon izin untuk membawa anak gadisnya pergi. Melangkah jauh meninggalkan rumah dan keluarga. Untuk membangun sebuah kehidupan yang baru."

Pak Okin menoleh pada santrinya.

"Suatu hari nanti, mungkin Nida akan menemui hari seperti itu. Sebagai seorang wanita, Nida harus siap untuk itu."

Pak Okin melihat pohon-pohon hijau lagi. Sinar mentari sore yang berwarna keemasan menyapu pohon-pohon yang melingkari sekolah. Nida masih melihat Pak Okin. Lalu menunduk kembali melihat soal yang harus dia kerjakan
***