Jumat, 15 Maret 2019

Pasrah


Sore itu, saya dan My Moon di atas motor. Dalam perjalanan dari Nurul Fikri menuju Lembah Cikananga. Hendak menengok kolam ikan. Sepanjang perjalanan saya mendengarkan Si Cinta latihan kultum. Sebab beberapa hari lagi dia kebagian jatah ceramah di kelompok pengajian mingguannya (Liqo).

Motor melaju setengah cepat. Sekitar empat puluh kilo meter perjam. Gas saya kurangi. Karena jalanan menurun panjang. Turunan terakhir sebelum tiba di pertigaan Teuneung.

"Barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya," cerocos My Moon di belakang. Dia mengutip ujung ayat dua dan awal ayat tiga surat At-Talaq. Tema yang istri saya pilih adalah tentang pasrah.

"Serahkan semua urusan kita kepada Allah. Biarkan Dia yang menyelesaikan dengan caraNya. Cara terbaik dariNya untuk kita," ujar Si Cinta setelahnya.

Mendengar ucapan istri, saya teringat akan kisah lalu. Tentang sebuah kata yang menuntun saya pada takdir terbaik. Takdir terbaik yang diberikan Allah kepada saya. Takdir yang menjelma menjadi sesosok wanita yang saat ini sedang duduk di belakang saya. Kata itu adalah pasrah. Sama dengan tema kultum pilihan Si Cinta.

Saat itu saya sudah siap menikah. Dan berencana ingin segera menikah. Hanya saja saya bingung, wanita mana yang akan saya pilih untuk menjadi teman di sepanjang usia. Dalam diam, saya banyak memperhatikan wanita baik. Hanya memperhatikan.

Saya menimbang. Hendak mencoba memilih. Tapi sayang. Semakin keras saya berpikir, semakin kusut otak saya. Bingung meringkus isi kepala. Sampai akhirnya tiba pada satu titik. Titik dimana saya serahkan semuanya kepada Sang Maha Perkasa. Terserah Engkau, Allah. Saya pasrah.

Kemudian takdir memilih dia. Seorang wanita yang saat ini masih terus berkata-kata demi melancarkan lidah untuk di pengajian nanti. Kisahnya sudah saya tuturkan pada tulisan sebelumnya (red: Jodoh InsyaAllah/ jurnal no 1 dalam catatan harian suami menyebalkan).

Motor masih melaju. Melucur mengarungi turunan panjang. Pandang saya tertuju pada hamparan laut Selat Sunda di hadapan mata. Kaki langit barat dan pulau besar Sumatera menjadi latar belakangnya. Mempesona.

Saya tersenyum. Teringat lagi sebuah cerita. Cerita dari istri tentang kami, yang dia beberkan waktu malam itu. Adalah kisah tentang dia, saya, dan sebuah kepasrahan.

***

Malam bertambah larut. Tapi lampu kamar masih benderang. Kantuk mulai meringkus. Mata mulai meredup.

"Iiiiih. Kak Niko jangan dulu tidur. Dengerin Mun cerita," My Moon menggoyang-goyang badan saya. Meminta ceritanya didengar. Lebih tepatnya memaksa.

"Iya ini masih dengerin."

"Tapi itu matanya redup."

Saya memaksakan mata untuk tetap melotot. Aduh Gusti.

Si Cinta terus nyerocos. Asik bersilat lidah membuka kenangan masa di pondok dulu. Dari satu kisah ke kisah berikutnya. Dari kisah berikutnya ke kisah berikutnya lagi. Aduh Gusti. Kapan cerita ini akan berakhir?!

"Kak Niko masih ingat gak waktu Kak Niko boyong (selesai nyantri)?" My Moon bertanya.

Saya mengangguk.

"Waktu Kak Niko akan pulang, dan lewat asrama akhwat, ada suara yang bilang 'Hati-hati Kak Niko'. Ingat gak?"

Saya mengangguk.

"Yang bilang itu adalah Mun. Mun juga kaget dengan yang Mun katakan. Kok bisa ya? Seperti ada yang mendorong untuk mengucap itu. Teman-teman santri akhwat juga pada kaget saat dengar Mun mengucap itu." Ujar Si Cinta.

"Selepas Kak Niko pergi, Mun masuk kamar. Ambil buku dan pulpen. Lalu duduk di belakang pintu. Khawatir ada santri akhwat yang masuk. Mun nulis panjang. Lupa isi lengkapnya. Yang paling diingat bagian ini: 'Lidah saya tidak mengatakan itu. Hati juga menyangkal. Tapi kenapa air mata ini menetes saat dia pergi? Apakah ini yang dinamakan cinta?' hehe," Si Cinta menutup kalimatnya dengan tawa malu-malu.

Mendengar topik bagian ini, bibir saya menyeringai. Mata terbuka lebar. Lebar yang bukan dibuat-buat lagi. Obrolan mulai menarik nih. Haha.

"Kak Niko tahu gak? Saat di pondok dulu Mun sudah suka ke Kak Niko. Tapi Mun pendam rasa itu dalam-dalam. Sebab Mun merasa bukan siapa-siapa. Mun merasa bukan santri yang istimewa. Selain itu, karena banyak juga santri akhwat yang suka ke Kak Niko."

"What? Serius Mun? Kok saya gak tahu ya, hehe."

"Yeeeh, mana mungkin mereka mau bilang ke Kak Niko. Mereka ceritanya hanya ke sesama akhwat saja. Karena hal itulah Mun mencoba memangkas rasa Mun ke Kak Niko. Mun merasa bukan kelas Kak Niko. Sebab Kak Niko punya kegiatan di kampus, yang pasti banyak wanita cerdas di lingkungan itu. Sebab Kak Niko juga seorang penulis yang mungkin punya banyak teman-teman penulis wanita cantik. Karena itulah Mun sekuat tenaga menghilangkan rasa Mun ke Kak Niko."

"Bukan penulis. Tapi masih belajar menjadi penulis." Saya merevisi kalimat My Moon.

"Iya. Tapi para santri tahunya Kak Niko itu penulis. Karena tulisan Kak Niko sering nempel di Mading pondok. Selain itu, di mata akhwat, Kak Niko itu penampilannya rapih. Menurut akhwat, hanya ada dua santri laki-laki yang penampilannya paling rapih, yaitu Kak Niko dan Kak Agus."

"Haha. Rapih dari Hongkong."

"Ya mungkin menurut Kak Niko tidak. Tapi akhwat menganggapnya seperti itu."

"Haha. Oke lah. Terus apa lagi?" Saya mulai penasaran dengan cerita selanjutnya.

"Iiih. Udah ya. Mun malu," ucap Mun tersipu.

Buset dah. Giliran saya mulai menikmati cerita, eh dia malah mau berhenti.

"Gakpapa Mun. Cerita aja. Itung-itung sebagai bank data untuk saya tuliskan nanti. Biar kisah kita bisa saya abadikan dalam tulisan," saya mencoba mengeluarkan jurus. Supaya Si Cinta mau bercerita lagi.

"Pokoknya waktu itu Mun bunuh rasa suka Mun ke Kak Niko. Sebab dalam pikiran saja Kak Niko itu tidak bisa Mun jangkau. Mun pasrah. Mun serahkan semuanya pada Yang Kuasa saja."

Saya tersenyum.

"Oya. Kak Niko tahu gak?"

"Apa?"

"Tentang mimpi yang Mun ceritakan ke Kyai. Mimpi Mun sekitar satu tahun sebelum Kak Niko bilang ke Kyai ingin melamar Mun."

"Oh mimpi itu. Iya. Kyai sudah cerita. Tapi hanya intinya saja. Kyai hanya bilang bahwa Mun pernah cerita bahwa dulu Mun pernah mimpi di lamar santri ikhwan. Tapi Mun tidak katakan siapa  santri ikhwan  itu. Mun baru berani katakan bahwa Ikhwan dalam mimpi itu saya, ketika saya sudah maju."

"Hehe. Iya."

"Memang gimana lengkapnya mimpi itu?"

"Dalam mimpi itu santri sedang ngaji. Ngaji kitab Al-Hikam," Si Cinta mengawali kisah.

"Nanti-nanti," saya menahan cerita. "Al-Hikam?!" Saya lanjut bertanya meyakinkan.

"Iya," jawab istri saya pendek.

"Masya Allah. Kok sama ya. Waktu saya mimpi setelah solat istikhoroh, saya juga mimpinya sedang ngaji Al-Hikam. {Kisahnya sudah saya tuturkan pada tulisan sebelumnya (red: Jodoh InsyaAllah/ jurnal no 1 dalam catatan harian suami menyebalkan)}. Yang setelah mimpi itu, kemudian saya berpasrah tentang masalah jodoh. Lalu takdir menuntun saya untuk memilih Mun."

My Moon hanya tersenyum. Kemudian bersiap melanjutkan cerita mimpinya.

"Setelah ngaji, Kyai memberi pengumuman bahwa ada santri Ikhwan yang akan bicara. Lalu Kyai memanggil Kak Niko untuk maju."

Saya khusuk menatap istri yang bercerita.

"Kak Niko bilang begini 'InsyaAllah saya akan memberi tahu semuanya tentang siapa akhwat yang akan saya pilih untuk menjadi istri saya. Dan nama akhwat itu sudah saya tulis pada kertas putih ini'. Setelah itu Kak Niko menunjukan kertas itu pada semua santri. Mun kaget dalam mimpi itu. Karena yang tertulis adalah nama Mun. Kemudian Kyai menyuruh Mun untuk maju juga. Lalu Kak Niko memberikan kitab yang sampulnya berwarna biru."

"Kitab warna biru? Kira-kira artinya apa ya?"

"Belum tahu Mun juga."

"Terus?"

"Apanya?"

"Mimpinya."

"Mimpinya sudah. Dan ketika liburan Mun ceritakan mimpi ini ke keluarga Mun. Mereka penasaran pada Kak Niko. Lalu setelah satu tahun, Kak Niko benar-benar maju memilih Mun. Keren banget ya. Klani (kakak perempuan istri) sampe merinding saat Kak Niko maju lho, hehe." Si Cinta tertawa renyah.

"Padahal sebelum Kak Niko maju, Mun sedang semangat-semangatnya ngafal Al-Quran lho. Eh malah nikah. Pokoknya Kak Niko harus tanggung jawab. Kak Niko harus bantu Mun sampe hafal 30 juz!"

"Ya dihafalin lah."

"Tapi Kak Niko hanya nyuruh Mun ngafalin doang. Tapi Kak Nikonya gak ikut ngafal."

"Ngafal Quran itu berat. Saya gak kuat. Biar kamu saja." Saya menutup wajah dengan selimut.

"Iiih! Buka!" Mun sekuat tenaga menarik selimut. Haha.

***

Pasrah adalah bentuk tertinggi dari sebuah kepercayaan. Setelah berusaha sekuat hati dan tenaga, baiknya kita pasrahkan tentang hasilnya. Ada kekuatan Maha Besar yang mengatur segalanya. Sebagai hamba, tugas kita adalah berusaha dan berdoa saja. Sisanya biarkan itu hak Sang Pencipta. Apapun yang kita terima, itu adalah yang terbaik dan yang utama bagi kita. Dari Yang Maha Kuasa.

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).

Oya, satu lagi. Allah tidak memberikan apa yang kita inginkan. Tapi DIA memberikan apa yang kita butuhkan dan inginkan. Hehe.

Motor masih membelah turunan panjang terakhir sebelum masuk pertigaan Teuneung. Si Cinta selesai berkata-kata. Dia merangkul tubuh saya dari belakang. Lalu saya rasakan kecupan hangat di pundak sebelah kanan saya.

***

Yang Paling Berharga


"Assalamualaikum," saya membuka pintu.

Tidak ada jawaban di dalam.

"Assalamualaikum," sekali lagi. Saya melangkah masuk rumah.

Biasanya Si Cinta langsung menjawab salam. Lalu mencium tangan saya. Kemudian saya balas dengan mengecup kening dan memeluknya erat. Tapi siang ini tidak. Atau mungkin masih belum.

Saya buka pintu kamar. Oh, ternyata Si Cinta sedang asik menggosok pakaian.

"Assalamualaikum."

"Walaikumussalam." Istri saya menoleh. Lalu tersenyum.

"Kak Niko, Kak Niko, tadi ada sensus," ujar Si Cinta buru-buru. Tangannya masih terus bergeser menyetir setrikaan.

"Sensus?" Dahi saya melipat. "Sensus penduduk?"

"Bukan. Itu lho yang meriksa barang-barang rumah," ujar istri meluruskan.

"Oooh. Sidak barang elektronik? Dari NF ya?" Saya jadi teringat tentang pengumuman sidak barang elektronik yang diadakan yayasan.

"Nah iya itu. Tadi dua orang ke sini."

"Siapa aja? Pak Iwan ya?"

"Iya Pak Iwan. Dan sama ibu-ibu satu."

"Siapa?"

"Mun lupa namanya. Yang jelas ibu itu sedang hamil muda. Dan cantik."

Oke. Sebelum saya lanjutkan cerita ini. Saya ingin berkisah dulu tentang asal-usul munculnya kata "Mun". Begini.

Saya suka bulan. Jika langit malam cerah. Tidak jarang saya duduk sendiri di tanah lapang. Memeluk lutut sambil menengadah menatap bulan. Semua gundah seperti menguap meninggalkan hati. Ya. Saya sangat suka melihat bulan.

Dalam bahasa Inggris. Bulan adalah Moon (dibaca Mun). Karena hal ini saya panggil istri saya Mun. Seperti saat melihat bulan. Gundah dalam hati lenyap kala saya memandang wajah Si Cinta yang sedang terlelap tidur. Ya. Saya panggil dia Mun. Sekali panggil, "Mun. Sekali lagi, "Mun". Bila tidak ada sahutan, "Mun. Mun. Mumun!"

***

"Tadi semua barang kita diperiksa," ujar Si Cinta.

"Iya. Itu sidak barang elektronik. Untuk mengecek barang elektronik apa saja yang ada di rumah dinas. Apakah wajar atau berlebihan dalam jenis barang dan penggunaannya. Maksudnya baik untuk menghemat pengeluaran listrik yang lumayan besar akhir-akhir ini."

"Oooh."

"Tadi Pak Iwan sudah periksa semua?"

"Iya. Tadi semua sudah diperiksa."

"Apa saja yang diperiksa?"

"Semuanya yang ada di sini."

"Apa saja?"

"Ya itu. Mmm...," Si Cinta melihat ke atas. Hendak mengingat-ingat. "Kulkas, kipas angin, rice cooker, strikaan, laptop, hape. Mmm...," Si Cinta berpikir lagi. "Ya pokoknya semuanya lah."

"Apa lagi?"

"Iiih. Kok Kak Niko tanyanya sedetail itu sih. Pokoknya semuanya," istri saya mulai kesal. Wajahnya menekuk. Berhasil. Justru warna wajah seperti itu yang saya harapkan.

"Iya apa saja? Saya ingin tahu."

"Pokoknya semuanyaaa!"

"Iya apa saja??"

"Kulkas, kipas angin, rice cooker, strikaan, laptop, hape!"

"Wah. Itu saja? Mun ada yang lupa itu. Ada sesuatu yang belum Mun tunjukan ke Pak Iwan. Sesuatu itu sangat berharga. Lebih berharga dari semua barang yang tadi Mun sebutkan. Sesuatu itu adalah yang paling berharga di rumah ini menurut saya." Saya memasang wajah panik. Pura-pura panik tepatnya.

"Oh iya? Apa?" Wajah Si Cinta penuh tanya.

"Coba Mun tebak."

Saya arahkan mata saya kemana-mana. Melihat barang-barang di kamar. Si Cinta ikut melihat apa yang saya lihat.

"Apa lagi Kak Niko?"

"Itu adalah sesuatu yang paling berharga di rumah ini." Saya mendekati istri saya.

"Apa? Mas kawin? Itu kan bukan barang elektronik."

Saya menggeleng. "Sesuatu itu lebih berharga dari apapun. Dari apapun." Saya lebih mendekat.

"Apa?"

Saya mendekat lagi. "Kamu."

Si Cinta melihat saya. Satu detik. Dua detik. "Apaan sih." Kemudian dia membuang pandang kembali ke strikaan.

"Haha," saya tertawa.

"Apaan sih gak lucu!"

Si Cinta kembali melihat baju yang dia licinkan. Ada senyum yang tertahan di bibirnya. Ah dasar wanita. Seringkali mulut dan mimik wajah tidak serempak. Haha.

Terima kasih Pak Iwan. Dirimu datang sidak pada waktu yang tepat. Hingga saya bisa memanfaatkan momen ini untuk menggoda istri saya. Teringat kalimat dari Ustadz Kholis saat masih liqo dengan beliau. Saat itu status saya masih jomblo.

"Kita (suami-istri) hidup satu atap. Setiap hari bertemu. Setiap saat melihat pasangan kita. Dari bangun tidur sampai tidur lagi. Kebosanan pasti akan menghampiri. Rasa bosan pasti akan menghinggapi kita. Karena hal ini. Maka wajib bagi kita untuk menjaga kemesraan. Dan kemesraan itu harus kita ciptakan. Dia tidak datang dengan sendirinya. Dia harus kita ciptakan. Meski dari hal-hal kecil sekalipun." Begitu kurang lebih kata Ustadz Kholis. Demikian.

***

Jodoh InsyaAllah


-Kata kakek-

Kakek pernah berucap. "Terlahir sebagai laki-laki, kamu harus cerdas. Sebab nanti wanitamu akan menyerahkan seluruh hidupnya kepadamu. Setiap langkah dan tindak tanduknya sejalan dengan lidahmu. Dia tunduk pada setiap kata-katamu. Menjadi seorang yang cerdas. Adalah bentuk cinta paling besar dari laki-laki untuk wanitanya".

Kata kakek, laki-laki itu boleh memilih wanita manapun untuk dinikahi. Tapi, jika sudah memilih. Dia adalah satu-satunya wanita yang hanya ada di hatimu. Kapan itu dimulai? Dimulai bukan saat ijab-qabul. Tapi saat kamu memutuskan untuk memilih dia. Memilih dia yang akan mengusap air mata saat kamu menangis nanti.

Kata kakek, jika nanti sudah memilih. Setelahnya, akan kamu temui pada setiap detik yang berdetak, kamu selalu ingat rumah yang di dalamnya ada wanitamu. Rindu adalah sebuah kata yang akan kamu rasakan setiap harinya.

Ketika deret kata "Aku cinta kamu" belum memiliki muara. Maka resah adalah ganjarannya. Itulah kenapa Kakek pernah berujar,  "Dengan menyempurnakan separuh agama,  insyaAllah hidupmu akan paripurna".

Kamu bukan laki-laki istimewa yang memiliki raga dan jiwa nan sempurna. Kamu hanyalah laki-laki separuh. Demikian juga dengan wanitamu kelak. Dia hanya wanita separuh. Bila nanti telah tiba waktunya. Kamu dan dia harus berlapang dada. Rengkuh dengan erat wanitamu. Agar kamu dan dia menjadi satu. Menyempurna. Begitu ucap Kakek sekira ratusan jam yang lalu.

Terima kasih, Kakek. Semoga kalimat-kalimatmu menjadi penerang di sana. Sebagaimana hari ini yang benderang menyadarkan saya. "Berhenti menunggu sempurna. Segera berjalan selangkah demi selangkah. Nanti akan sampai (pada kesempurnaan). InsyaAllah.".

***

-Pesan kyai-

Kyai pernah berpesan. Jika nanti sudah siap menikah. Tempuh dua jalan. Satu, minta petunjuk pada Allah SWT dengan solat istikhoroh. Dua, minta nasihat dan saran pada orang-orang yang mencintai kita: orang tua, guru, dan saudara. Sebab orang yang mencintai kita pasti akan memberikan nasihat terbaik.

Kata Kyai. Bila nanti sudah siap menikah dan serius. Datanglah dengan baik-baik. Hindari maksiat. Sebab sejauh mana kamu menghindari maksiat sebelum menikah. Sejauh itu pula kebahagiaan yang akan kamu rasa setelah menikah kelak.

Bismillah. Saya melangkah.

***

-Sowan-

Sekira tiga tahun lalu, kami, para santri ikut Kyai,  sowan ke guru beliau,  Mbah Maimun Zubaer, di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Hendak mendengarkan nasihat-nasihat sejuk beliau. Sekalian akan ikut pengajian pasaran kitab Al-hikam yang akan disampaikan oleh syekh dari Suriah.

***

-Mimpi-

Selepas beberapa kali solat istikhoroh. Juga banyak untai doa memohon untuk dipilihkan satu wanita dari beberapa wanita yang saya perhatikan dalam diam. Suatu malam, dalam tidur saya bermimpi. Saya dan teman-teman santri Ar-risalah, Bandung, membersamai Kyai silaturahmi ke Sarang. Hendak menemui Mbah Maimun Zubaer. Saat di Sarang, Kyai mengisi pengajian. Mengkaji kitab Al-hikam. Hikmah yang nomer empat.

Saya terbangun. Diam sesaat. Menarik nafas memikirkan isi mimpi. Al-hikam nomer empat.

Saya masih berbaring. Memikirkan isi mimpi. Al-hikam nomer empat.

Perlahan saya duduk. Menarik nafas. Memikirkan isi mimpi. Al-hikam nomer empat.

Saya beranjak. Melangkah pelan menuju lemari buku di depan kamar. Memikirkan isi mimpi. Al-hikam nomer empat.

Saya menghampiri lemari buku.  Saya ambil terjemah kitab Al-hikam. Saya buka, mencari hikmah nomer empat. Saya baca: Istirahatkan dirimu untuk mengurus sesuatu yang telah diurus oleh selain dirimu. Jikalau rezeki,  jodoh, telah ditentukan oleh-Nya,  maka tidak ada lagi yang perlu kamu takutkan.  Berusaha saja dengan sebaik mungkin,  kemudian bertawakal kepada-Nya.

Allah. Allah. Allah. Mohon ampuni hambaMu yang penuh dosa ini.

Sejak malam itu. Saya jernihkan hati dari beberapa wanita yang bertandang di dalam dada. Saya pasrahkan semuanya pada DIA.

"Yaa Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." (Al-A'raf: 23).

"Yaa Tuhan kami, anugerahkan kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati, dan jadikan kami imam bagi orang-orang yang bertakwa." (Al-Furqon: 74).

***

-Berkah-

Ingatan saya terbetot ke belakang. Sekitar empat atau lima tahun yang lalu. Ke Bandung kota penuh kenangan. Memori mengerucut pada sebuah pesantren di pinggiran kota. Pesantren Ar-risalah. Kemudian mengerucut lagi ke sebuah rumah tembok bercat putih. Rumah kyai Rofiq.

Kami, para santri biasa mengaji di ruang tamu Kyai. Sebagian santri putra di ruang tamu. Sebagian lain di teras depan karena ruang tamu sudah penuh. Sementara santri putri duduk berdempetan di ruang tengah. Antara ruang tamu dan ruang tengah dibatasi dengan hijab dari rotan. Di sela pengajian, biasanya kyai menyediakan minum dan makanan ringan untuk santri. Ada seorang santri putri yang tidak sengaja saya lihat. Ketidak sengajaan yang terus berulang jika saya sedang duduk ngaji di baris depan dekat kursi kyai. Biasanya dia yang menyuguhkan minum dan kudapan untuk santri putri. Dan bagian santri putra dia simpan di dekat hijab. Nanti akan diambil oleh santri putra yang duduk di dekat rotan pembatas itu.

Adalah Denis Yulianti. Saat di pesantren kyai memberinya nama Fatiha. Selain mengaji dan menghafal Al-quran, Fatiha suka menghabiskan waktunya di rumah kyai. Dia berusaha untuk membantu Ummi. Dia kerjakan apa yang mampu dikerjakan. Mengasuh dan mengantarkan anak kyai sekolah. Masak dan mencuci bareng Ummi. Membersihkan rumah. Dan pekerjaan rumah tangga lainnya.

Banyak kisah yang pernah saya dengar tentang keberkahan ilmu yang diraih santri sebab perilaku baik pada gurunya. Dalam banyak cerita itu, kehidupan sang santri penuh dengan keberkahan. Tidak hanya untuk dirinya saja. Tapi juga menular kepada orang-orang yang hidup di sekitarnya. Juga menular kepada orang-orang yang hidup bersamanya.

"Sejauh mana laku baikmu pada guru, sejauh itu pula keberkahan ilmu yang akan kamu peroleh kelak," ujar Kyai waktu dulu.

***

-Maju-

[6/7 18.56] Niko: Assalamualaikum. Selamat malam Ustadz. Punten. Saya mohon saran dan nasihat Ustadz. Beberapa hari kebelakang saya terpikir Fatiha. Jika beliau belum ada yang meminang dan menurut Ustadz saya baik untuk Fatiha dan Fatiha baik untuk saya. InsyaAllah saya akan coba maju untuk menghubungi beliau. Mohon nasihat dari ustadz.

[6/7 20.29] Kyai Rofiq: Wa'alaikum salam wr wb. Kalau Fatiha memang masih sendiri. Nanti saya dialog dulu dengan Ummi ya, Niko.

[6/7 20.31] Niko: Baik Ustadz.

***

[8/7 15.58] Kyai Rofiq: Assalamualaikum wr wb. Bismillah, Niko, saya dan Ummi sudah menghubungi Fatiha. Dia dan keluarganya menyerahkan ke kita.
Saya dan Ummi setuju dan mendukung. Tapi tetap kita sarankan ke Fatiha agar istikhoroh dulu karena itu rahasia Allah. Jadi malam ini dia istikhoroh -in syaa Allah-. Sebaiknya Niko juga istikhoroh. Fatiha tadi juga cerita bahwa dulu pernah mimpi dilamar ikhwan dan dulu memang tanya ke kita, tapi tidak menyebutkan namanya. Sekarang dia mengaku jika ikhwan itu adalah Niko. Fatiha pesan agar Niko langsung telfon orang tuanya, tidak ke dia. Ini nomer telfon orang tua-nya. 081*********. Jadi sebaiknya Niko langsung telfon.

[8/7 16.20] Niko: Walaikumussalam. Baik Ustadz. InsyaAllah malam ini saya juga akan istikhoroh. Mohon doa dari Ustadz dan Ummi. InsyaAllah besok atau lusa saya akan telfon orangtua Fatiha.

***

[9/7 19.57] Niko: Assalamualaikum. Ustadz punten. InsyaAllah malam ini saya ingin telfon orangtua Fatiha. Tapi saya malu Ustadz. Khawatir salah bicara. Mohon doanya Ustadz.

[9/7 20.13] Kyai Rofiq: Wa'alaikum salam wr wb. Bismillah saja. Kedua orang tuanya sudah menunggu telfon dari Niko. Sukses in syaa Allah.

***

-Mohon izin-

"Sebelum saya menyampaikan maksud baik saya. Saya mohon izin untuk bercerita dulu, Bu. Boleh? "

"Silahkan Dek Niko," jawab ibu di seberang pulau.

"Alhamdulillah selama tiga tahun saya tinggal satu pesantren dengan Fatiha. Meski tidak banyak interaksi, insyaAllah saya sedikit tahu bagaimana kebaikan-kebaikan Fatiha. Saya sudah bertanya kepada Kyai. Saya juga sudah diskusi dengan mamah dan bapak. Dengan mengucap Bismillahirrahmaanirrahiim, saya memohon izin untuk meminang Fatiha menjadi istri saya."

Obrolan berlanjut. Lebih lama dari yang saya bayangkan. Dan lebih banyak kalimat keluar dari jumlah pertanyaan dan jawaban yang telah saya siapkan pada secarik kertas. Untungnya. Perbincangan ini tidak semenyeramkan yang saya lamunkan sebelumnya.

"Dek Niko."

"Iya, Bu. "

"Sekarang giliran Ibu yang ingin bercerita boleh? "

"Mangga, Bu. "

"Ini masih sebatas hayalan Ibu saja ya. Jadi begini. Tidak lama sebelum malam ini. Kami sudah merencanakan pernikahan tetehnya Fatiha. Pernikahan itu insyaAllah akan dilaksanakan enam September nanti," jelas ibu Fatiha.

"Sebelum Dek Niko telfon. Kami sudah diskusi dengan keluarga. Bila nanti Dek Niko datang untuk melamar Fatiha. Bagaimana jika pernikahannya dibarengkan saja dengan pernikahan tetehnya. Ini masih sebatas khayalan ibu dan keluarga saja. Silahkan nanti Dek Niko obrolkan saja dulu dengan keluarga."

***

-Doa terbaik-

[9/7 21.08] Niko: Assalamualaikum, Ustadz. Alhamdulillah saya sudah telfon orangtua Fatiha. InsyaAllah saya akan diskusi dengan mamah dan bapak. Mohon selalu doa terbaik dari Ustadz. Semoga diberikan jalan yang terbaik. Terima kasih banyak Ustadz.

***

[10/7 07.59] Kyai Rofiq: Niko, bagaimana hasil dialog dengan orangtuanya Fatiha? Dan bagaimana pendapat bapak dan mamah Niko?

[10/7 08.02] Niko: Alhamdulillah semalam, selepas telfon orangtua Fatiha. Saya langsung bicara dengan mamah dan bapak. Mamah dan bapak insyaAllah setuju dengan usulan orangtua Fatiha. Jika ada takdirNya, pernikahannya dibarengkan dengan tetehnya Fatiha. Mohon doanya dari ustadz dan Ummi.

[10/7 08.06] Kyai Rofiq: Dzulhijjah Jum'at ketiga berarti?

[10/7 08.07] Niko: InsyaAllah kata ibu Fatiha demikian Ustadz.

[10/7 08.08] Kyai Rofiq: Alhamdulillah.
Permintaan saya disampaikan apa tidak? Saya meminta agar Fatiha tetap diberi kesempatan oleh Niko untuk sebulan sehari atau dua hari setoran  hafalan ke Ar-Risalah, sebab saya ingin dia tetap melanjutkan hafalannya.

[10/7 08.12] Niko: InsyaAllah saya juga berfikir tentang itu Ustadz. Saya ingin Fatiha tetap setoran ke Ummi. InsyaAllah diusahakan dalam satu bulan Fatiha harus ada setoran hafalan ke Bandung.

[10/7 08.41] Kyai Rofiq: Alhamdulillah saya dan Ummi sangat bahagia dengan kabar baik ini, Niko. Semoga Allah mudahkan semuanya. Aamiin.

[10/7 08.44] Niko: Aamiin Yaa Allah. Mohon selalu doa terbaik dari Ustadz dan Ummi.

***

-Pekanbaru-

Pesawat berputar di langit Pekanbaru. Bersiap untuk mendarat di kota bertuah. Setiap detik yang berdetak. Degup jantung bertambah cepat. Sebab di bandara sudah ada yang menunggu: Orangtua Fatiha.

Jika boleh berharap. Ingin sekali pesawat tetap di atas. Terus berputar tidak turun ke darat. Karena saya malu. Malu yang teramat sangat.

Pesawat mendarat. Saya dan paman melangkah ke luar bandara. Di sana, sekitar dua puluh meter di tempat penjemputan. Ada empat buah senyum manis yang mengarah pada saya dan paman. Senyum milik ayah, ibu, paman, dan tantenya Fatiha.

Dalam perjalanan dari bandara ke rumah Fatiha. AC mobil dipasang dingin. Entah mengapa, dahi saya lembab dengan keringat. Kedua telapak tangan juga kuyup. Why?

Di ruang tamu, keluarga besar Fatiha berkumpul. Minus Fatiha yang masih di Bandung. Kami berbincang. Saya lebih banyak mendengar.

"Fatiha itu cucu kesayangan nenek," ujar ibu Fatiha sambil melihat nenek. Nenek mengiyakan dengan anggukan sumringah. Setelah kalimat ini. Obrolan lebih banyak berkisah tentang Fatiha. Dan saya masih lebih banyak mendengarkan. Sesekali tertawa karena penuturan ibu dan nenek.

Allah. Allah. Allah. Hampir pada setiap kisah ibu dan nenek, saya kagum pada skenario Sang Maha Agung. Kepingan-kepingan puzzle impian saya tentang sosok pendamping hidup. Seperti telah tersempurnakan malam itu.

"Allah itu Maha Baik. Dulu saya sering berkhayal ingin punya istri yang usianya jauh di bawah saya. Sekarang, insyaAllah khayalan itu akan menjadi nyata. Allah tidak hanya memberikan apa yang kita inginkan. Tapi memberikan apa yang kita butuhkan dan inginkan," tutur saya menanggapi kisah-kisah ibu dan nenek. Kemudian kami tertawa renyah. Alhamdulillah.

Perbincangan kami melahirkan beberapa keputusan. Adalah: InsyaAllah walimah Fatiha tidak bersamaan dengan tetehnya. InsyaAllah 6 September 2018, Kamis malam, bada isya, adalah akad saya dengan Fatiha. Kemudian insyaAllah, hari Sabtu, 8 September 2018, adalah resepsinya. Dan insyaAllah, akad dan resepsi tetehnya Fatiha akan dilaksanakan dua bulan berikutnya.

Satu lagi. InsyaAllah untuk syukuran di rumah saya (Kampung Cipacung. RT 21/07. Desa Karang Suraga. Kecamatan Cinangka. Serang. Banten) akan dilaksanakan hari Minggu, 2 September 2018.

"Yaa Tuhan kami, anugerahkan kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati, dan jadikan kami imam bagi orang-orang yang bertakwa." (Al-Furqon: 74).


***