Sabtu, 12 November 2011

The Miracle of Silaturahim


Uang saku di dompet lusuh hitamku tinggal tiga lembar uang seribuan. Itupun lusuh sekali, sudah seperti para lansia yang dititipkan di panti jompo oleh anak-anaknya yang tidak tahu balas budi. Kasihan sekali. Padahal dulu, ketika mereka masih ingusan dan sering merengek minta ditetein, orang tua mereka itu dengan sangat penuh kasih sayang melayani mereka. Tapi kini, apa balasan dari semua itu????

Tanpa ambil tempo, karena perut saya sudah tidak bisa dikompromi lagi, segera aku meminjam sepedah Mamat. Aku mengayuh sepedah menuju seberang jalan mesjid DT. Disana terdapat lima buah ATM, yang empat mesin bersatu dalam satu ruangan, dan yang satunya terpisah sendirian. Jika diumpamakan seorang manusia, sepertinya dia sedang kesepian. Dia merana, macam bujang lapuk yang belum kunjung juga menyempurnakan separuh agamanya.

Saat tiba di tempat tujuan, ada beberapa orang yang sedang mengantri. Sepedah Mamat kuparkir di dekat gerobak batagor yang biasa mangkal di depan SMM (super mini market) DT.

“ Tunggu disini ya, Sayang, jangan lari kemana-mana. InsyAlloh sebentar lagi saya balik kok,” gumamku dalam hati, sambil mengelus lembut sepedah warna silver kepunyaannya Mamat.

“ Ia, Aa…,” secara mengejutkan ada jawaban. Suaranya persis dengan suara seorang wanita berusia belia. Aku sedikit terperangah. Aku heran menatap sepedah warna silver itu. Jampi-jampi macam apa yang diberikan Mamat pada sepedah ajaib itu, hingga dia bisa membaca apa yang aku pikirkan? Aku celingukan memperhatikan sekitar. Tidak jauh dari tempat sepedah berdiri, ada seorang siswi SMA yang sedang mengobrol via hp. Jika dilihat dari posturnya, nampaknya dia siswi kelas dua belas.

“ Ia, Aa. Adek segera pulang nih…” ucap siswi berambut lurus dengan panjang sebahu itu. Mendengar ucapan itu, nafasku tenang kembali. Ternyata suara aneh tadi miliknya siswi itu tho. Aku melanjutkan langkah masuk antrian.

Kartu ATM yang juga merangkap sebagai kartu mahasiswa berada dalam genggaman. Aku masukan pada ATM. Saat hendak menarik uang lima puluh ribu. Sebenarnya aku ingin menarik uang dengan jumlah lebih dari itu. Namun karena saldo terakhir yang kutahu memang hanya tinggal Rp. 68.000,- saja, maka hanya lima puluh ribu sajalah yang dapat ku ambil. Namun, HEY! Apa yang sedang kulihat?! Saldoku! Jumlah saldo di kartu ATMku! Tertulis sejumlah angka yang banyak. Sangat banyak malah. Seingatku, terakhir kali kudapati saldoku sebesar ini adalah ketika beasiswa dari kampus cair. Karena kaget, segera ku keluarkan kembali kartu ATMku dari rumahnya. Ku genggam erat kartu itu, kemudian ku bolak-balikan guna memastikan kalau-kalau kartu itu bukan milikku. Pada salah-satu sisinya, terdapat sebuah pas foto seorang pemuda dengan wajah datar. Tidak murung, tidak juga tersenyum. Pemuda itu mengenakan kaos berkerah dengan warna belang tiga: biru, hitam dan abu-abu. Di samping pas foto itu terdapat rangkaian huruh sebagai berikut: Niko Cahya Pratama. Tidak salah. Ini memang kartu ATM milikku. Tersadar dengan antrian di belakang, aku segera memasukan kartu itu lagi. Aku menarik uang sejumlah lima puluh ribu, kemudian melangkah keluar dengan wajah masih penuh dengan tanda tanya.

Agar semua teka-teki ini bisa segera terjawab, aku menelfon bapak. Hendak aku tanyakan pada bapak, apakah beliau mengirim uang dengan jumlah sebesar itu padaku.

“ Bapak gak kirim uang, A,” jawab bapak atas pertanyaanku.

“ Oh, mungkin itu beasiswa, A. Beasiswa dari kampus mungkin cair lagi,” tambah bapak. Aku baru ngeuh sesaat setelah mendengar jawaban bapak. Memang benar, bulan ini adalah jatah beasiswaku turun lagi. Turun untuk yang terkahir kali, karena satu periode sudah beasiswa itu mengucur untukku. Ini berarti jatahku sudah habis. Nampaknya aku harus ekstra menulis, sekedar untuk mendapatkan sedikit uang saku guna melanjutkan hidupku kedepannya. Aku harus ekstra menulis. Titik.

“ Pak, Pak, Pak. Jangan ditutup dulu, Pak,” cerocosku saat bapak hendak menutup telfon.

“ Ada apa lagi, A?” tanya bapak pendek.

“ Emmmm, minta sedikit uang dari ATM untuk beli buku ya?” sembari memandangi sepedah warna silver di hadapan, aku nyengir kuda.

Mangga, mangga, itukan uang Aa. Gunakanlah untuk keperluan Aa. Cuman, satu saran Bapak, separuhnya tabungin ya! kalau-kalau nanti ada keperluan mendadak saat Bapak lagi gak ada uang,” jawab bapak. Jawaban itulah yang memang aku harapkan. Engkau memang bapak nomer satu sedunia, Pak.

Aku kembali masuk antrian. Hendak mengambil uang sejumlah dua ratus ribu rupiah. Buat apalagi kalau bukan untuk beli buku. Seperti itulah kebiasaanku jika sedang ada sedikit uang lebih. Pikiranku tidak akan melayang kemana-mana selain pada toko buku. Entah kenapa aku sangat suka sekali pergi ke toko buku. Sekedar membeli satu atau dua judul buku. Padahal, pada lemari bukuku di asrama. Pada rak bukuku di rumah, masih banyak buku yang kubeli namun belum selesai kubaca. Banyak malah.

Memang, ada sensasi berbeda dalam jiwa saat aku berkeliling di toko buku. Seperti ada kekuatan aneh dan kuat, entah dari dunia mana datangnya, yang merasuk kedalam jiwaku, saat aku melihat buku-buku laris dipajang di rak-rak. Terlebih ketika aku melihat nama penulisnya. Bergetar hebat hatiku saat itu.
***

Jatah beasiswaku sudah habis. Seperti yang sudah aku gemborkan, aku harus berpikir ekstra agar bisa mendapatkan uang guna biaya hidup kedepannya. Mencoba meringankan pundak orang tua dalam membiayaiku selama hidup dan menempuh pendidikan di negeri rantauan. Dengan usia yang tidak muda lagi, aku malu karena masih mengandalkan orang tua. Namun sayangnya, kenyataannya memang benar-benar berbicara seperti itu. Aku masih hidup dalam pundak para malak (tunggal untuk malaikat) itu.

Suatu pagi, hanya berselang sekitar seminggu setelah membeli buku pada toko buku yang cabangnya terebar di seluruh Indonesia. Aku duduk pada kursi bambu di depan kamar mandi asrama yang menghadap pada lapangan futsal. Aku antri untuk mandi. Suara siraman air terdengar sampai keluar. Aku hanya mengenakan celana pendek selutut dan kaos warna biru muda. Handuk warna hijau pucuk daun kelapa melingkar di leherku. Alat-alat mandi tersimpan tepat disamping kananku.

“ Kang Niko, ada SMS masuk!” teriak Mamat di dalam kamar yang tidak jauh dari kamar mandi. Aku masuk kamar lagi. Aku baca SMS masuk. SMS itu datangnya dari teman satu jurusanku. Dia adalah ketua himpunan jurusan Geografi.

Assalamu’alaikum. Ko, belum ke kemahasiswaan fakultas ya? Segera meluncur kesana ya! Tadi Ibu Wida nanyain lagi ke saya...

Untuk yang kesekian kalinya dia mengabariku perihal dipanggilnya aku untuk menghadap kemahasiswaan fakultas. Kembali, misteri menghampiri diriku lagi. Ada apa gerangan hingga diriku sampai dipanggil oleh kemahasiswaan fakultas? Tanda tanya menari-nari di atas kepalaku. Aku sedikit cemas, seandainya akan mendapatkan suatu peringatan, atau mungkin sebuah sangsi.

Setelah dikira penampilanku terlihat rapih dan sopan, aku meluncur menuju kampus, tepatnya ruang kemahasiswaan, fakultas pendidikan ilmu pengetahuan sosial. Sebuah gedung raksasa tempat diriku mengeruk ilmu. Sesampainya di ruang kemahasiswaan, kudapati pintunya terbuka. Sambil mengucapkan salam, aku masuk. Di dalam, ibu Wida sedang sibuk dengan tumpukan berkas di mejanya.

Wa’alaikumussalam Warohmatullohi Wabarokaatuuh,” jawab ibu Wida. Dia melirik ke arah pintu, padaku.

Masya Alloh, Niko....! Ayo segera kesini,” pinta ibu Wida.

Aku menghampiri ibu Wida, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan posisi duduknya ibu Wida.

“ Ma’af, Bu, saya baru sempat kesini. Ada apa ibu memanggil saya? Saya kena sangsi ya, Bu?” aku masih sedikit kaku. Kulihat ibu Wida masih sedang sibuk dengan tumpukan map warna merah di mejanya. Ia membolak-balik sejumlah kertas yang ada di dalam map merah itu.

Ibu Wida menghentikan pekerjaannya. Ia mengambil secarik kertas yang terdapat tulisannya. Jika dilihat, nampaknya kertas itu adalah sebuah formulir.

“ Ini segera diisikan ya,” pinta ibu Wida. Aku melihat ibu Wida. Kertas apa ini, Bu? Begitulah arti dari tatapanku.

“ Kamu dapat beasiswa lagi. Segera isi formulirnya ya,” ujar ibu Wida. Wah, dahsyat! Ibu Wida tahu arti dari tatapanku. Luar biasa! Namun, ada yang lebih dahsyat dari itu. Yaitu berita yang barusan kudengar dengan menggunakan telingaku sendiri. Aku mendapatkan beasiswa lagi.

“ Beasiswa, Bu????” tanyaku untuk memastikan.

“ Iya. Kamu diajukan dapat beasiswa lagi.”

Dengan hati berbinar bagai Rembulan di pertengahan bulan Komariah, aku mengisi formulir yang tergeletak dihadapanku. Sambil mengisi, hatiku bertanya-tanya. Siapa gerangan yang mengajukan diriku untuk mendapatkan beasiswa lagi? Hipotesisku sementara, sepertinya pihak jurusan yang mengajukan. Kemungkinan ini karena aku memang dekat dengan pihak jurusan. Aku dekat dengan para staffnya. Aku sering silaturahim dan mengobrol dengan mereka. Aku juga dekat dengan beberpa dosen. Pernah, karena kedekatanku dengan salah-satu dosen, aku ditawari untuk menulis salah-satu judul buku dalam proyek menulisnya. Tapi sayangnya, ketika itu aku menolak, karena aku belum yakin dengan kemampuan menulisku. Jika hipotesisku ini benar adanya, satu yang menyebabkan sebuah keajaiban ini terjadi, yaitu silaturahim. Benar, silaturahim. SubhanAlloh, betapa hebat kekuatan sebuah silaturahim itu. Kalaupun hipotesisiku ini salah. Namun aku yakin. Siapapun yang mengajukan, jalan untuk semua itu adalah silaturahim. Benar apa yang pernah ku denagar dari para ustad. Silaturahim itu bisa memperpanjang umur dan menambah rejeki. Sekarang ini buktinya. Tidak percaya? Silahkan coba! Perbanyaklah jaringan! Perkuatlah kedekatannya! Niatkan semuanya untuk beribadah kepada Alloh! InsyAlloh dimudahkan.
***

6 komentar:

  1. sepedaku ngomong? ko bilang Aa-nya k kang niko? marah kali y, udah terlalu lama dianggurin. hehehe

    BalasHapus
  2. ketikannya diperiksa lagi kang Niko,, masih ada bberapa kata yg salah ketik spertinya.. hehe

    untuk ceritanya sii dh bgus, lanjutkan..
    "Aku harus ekstra menulis", wujudkan itu.. smangat!!! :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. siap, insyAllah nanti diperbaiki lagi...
      siap, semangat.... :-)

      Hapus