Kamis, 27 Juni 2013
Cermin Diri
Cinta, aku pernah mendengar, katanya, untuk memahami diri kita, cobalah untuk melihat orang lain. Dan untuk memahami orang lain, cobalah untuk melihat diri kita.
Bagaimana maksudnya???
Begini Cinta. Terkadang, dalam kehidupan ini, kita mendapati perbuatan seseorang di sekitar yang tidak menyenangkan hati kita. Baik itu yang menjengkelkan, setengah menjengkelkan, ataupun seperempat menjengkelkan. Pokoknya, pada intinya, membuat simpati kita menjadi berkurang kepada seseorang ini.
Cinta, sesungguhnya, di balik rasa kesal kita terhadap seseorang ini, terdapat sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Apa itu???
Seperti ini Cinta. Coba kita fokuskan perhatian kita kepada perbuatan yang mengesalkan kita itu, bukan pada seseorang yang melakukannya. Nah, sekarang, coba bayangkan, kita sedang melakukan perbuatan yang sama dengan yang dilakukan oleh seseorang itu. Bagaimana kira-kira tanggapan orang-orang di sekitar terhadap kita? Jawabannya sudah jelas. Pasti perbuatan kita itu membuat jengkel orang-orang bukan! Nah, disinilah letak pelajaran berharga itu. Sesungguhnya, saat kita merasakan kesal tersebab oleh prilaku orang lain, di sana tersimpan pelajaran bahwa kita tidak boleh melakukan tindakan yang seperti itu. Bagaimana Cinta, sampai sini sudah paham?
Pun sebaliknya. Jika kita ingin mengetahui apakah perbuatan kita menyenangkan atau menjengkelkan orang-orang di sekitar kita, gampang saja. Caranya, hanya tinggal membayangkan saja, kira-kira jika perbuatan yang sedang kita lakukan ini dilakukan oleh orang lain, bagaimana kira-kira tanggapan kita? Nah, seperti itu pula lah tanggapan orang lain terhadap prilaku kita.
Mari cinta. Mari kita terus belajar untuk menjadi pribadi yang baik. Pribadi yang disenangi banyak orang, dan tentunya pribadi yang disukai oleh Sang Maha Bijaksana.
Wakil Lidah Kita
Cinta, engkau tahu, tulisan kita mencerminkan siapa diri kita?
Jika dalam komunikasi verbal, maka apa yang keluar dari mulut sang
pembicara, itu adalah gambaran kualitas sang pengucap itu . Sementara
dalam komunikasi non verbal (tulisan), cermin untuk sang pengucap adalah
tulisannya.
Cinta, sama halnya dengan ucapan. Dalam menuliskan sesuatu juga kita harus berhati-hati. Jangan sampai tulisan-tulisan kita tak mengandung manfaat, atau hanya sia-sia belaka, alias tak memiliki arti. Atau lebih parah lagi. Tulisan kita justru mendatangkan dosa untuk kita. Naudzubillah.
Cinta, layaknya dalam berucap. Baiknya, kita luangkan waktu sejenak ketika hendak menuliskan sesuatu, termasuk menulis “status facebook”. Kita pikirkan terlebih dahulu sebelum menuliskannya. Sekiranya bermanfaat, maka segera tuliskan. Tapi jika tak bermanfaat, atau bahkan bisa mendatangkan mudharat, maka sekuat hati kita harus menahan untuk tidak dituliskan. Mungkin sulit memang, tapi, memang itulah jalan kebaikan, pasti berat rintangan yang menghalangi.
Cinta, mari kita belajar bersama. Belajar untuk menjadi pribadi yang baik. Pribadi yang disukai oleh Sang Maha Perkasa.
Cinta, sama halnya dengan ucapan. Dalam menuliskan sesuatu juga kita harus berhati-hati. Jangan sampai tulisan-tulisan kita tak mengandung manfaat, atau hanya sia-sia belaka, alias tak memiliki arti. Atau lebih parah lagi. Tulisan kita justru mendatangkan dosa untuk kita. Naudzubillah.
Cinta, layaknya dalam berucap. Baiknya, kita luangkan waktu sejenak ketika hendak menuliskan sesuatu, termasuk menulis “status facebook”. Kita pikirkan terlebih dahulu sebelum menuliskannya. Sekiranya bermanfaat, maka segera tuliskan. Tapi jika tak bermanfaat, atau bahkan bisa mendatangkan mudharat, maka sekuat hati kita harus menahan untuk tidak dituliskan. Mungkin sulit memang, tapi, memang itulah jalan kebaikan, pasti berat rintangan yang menghalangi.
Cinta, mari kita belajar bersama. Belajar untuk menjadi pribadi yang baik. Pribadi yang disukai oleh Sang Maha Perkasa.
Kita Ibarat Sebuah Teko
Cinta, teko hanya akan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya.
Jika isinya kopi, saat dituang, maka yang keluar adalah kopi.
Jika isinya teh, ketika dituang, maka yang keluar pastilah teh.
Jika isinya air susu, kala dituang, maka yang keluar pasti susu.
Nah, seperti itulah juga manusia. Apa yang keluar dari mulutnya, itu mencerminkan seperti apa hati (kualitas diri) manusia itu.
Jika yang terucap adalah kata-kata baik, maka dapat dipastikan, kualitas diri orang tersebut juga baik.
Pun sebaliknya. Jika yang sering keluar dari mulutnya adalah kata-kata kotor. Maka seperti itu pula kualitas dirinya.
Cinta, mari kita jaga lisan kita.
Mari kita perhatikan setiap apa yang akan keluar dari mulut kita.
Luangkan sejenak waktu untuk berpikir terlebih dahulu sebelum kita berucap.
Seandainya baik, maka segera ucapkan.
Seandainya buruk, maka sekuat hati harus kita tahan. Tahan untuk tidak diucapkan.
Mari Cinta. Kita belajar untuk menjadi pribadi yang baik. Pribadi yang disukai oleh Sang Pencipta.
Hati Sedalam Lautan
Jam setengah tujuh pagi.
Mentari bercahaya emas. Sinar
hangatnya menerpa tubuhku, juga tubuh Mamat yang berjalan di sampingku. Tujuan
kami adalah stadion kampus. Kami hendak lari pagi di sana. Kami ingin agar
kesehatan kami tetap terjaga. Walaupun sebenarnya, tidak hanya itu niatku
mengapa Minggu pagi ini aku jogging.
Masih ada niat tersembunyi dibalik olahraga pagi kali ini. Adalah untuk
menghibur diri. Menghibur diriku yang sedang dilanda sebuah perasaan. Perasaan
yang entahlah, aku sendiri bingung untuk menafsirkannya.
“Makanya, jangan sembarangan
menafsirkan respon seorang wanita, Bro. Salah-salah kita sendiri yang kena
batunya. Salah-salah, kita patah hati deh jadinya,” celetuk Mamat tiba-tiba. Mendengar
kalimat Mamat, aku menoleh padanya. Mamat tak mengarahkan pandangannya padaku.
Ia sedikit menengadahkan wajahnya, memandang gunung Tangkuban Parahu yang
tampak jelas pagi ini.
Aku kembali menatap jalan. Melangkah
bersisian dengan Mamat.
“Saya bukannya tidak tahu apa yang
sedang Ente rasakan,” ujar Mamat lagi.
Aku menoleh kaget. Kali ini Mamat
melihatku. Pandangan kami beradu. Mamat menggerak-gerakan kedua alisnya.
Bibirnya tersenyum renyah. Mirip dengan senyumnya perampok yang baru menemukan
kode untuk membuka lemari besi berisi uang berkarung-karung. Sejurus kemudian
ia menatap jalan lagi.
Aku sedikit was-was juga, seandainya
Mamat benar-benar tahu apa yang sedang kurasakan. Aku tak ingin menanggapi
Mamat. Aku lebih memilih diam.
Kami melanjutkan langkah. Tidak jauh
di hadapan kami, stadion kampus sudah nampak. Megah sekali stadion itu berdiri.
“Ente tahu dimana letak lautan
terdalam?” Mamat bersuara lagi.
Aku menoleh. Tapi tak menjawab
pertanyaannya. Bukannya aku tak tahu. Diam, adalah jawaban yang paling pas
untukku saat ini. Aku menatap kedepan lagi.
“Ente tahu dimana letak samudera
terluas?” Mamat bertanya hal aneh sekali lagi.
Aku tetap melangkah, dan tak melihat
Mamat.
“Ente tahu dimana letak puncak tertinggi?”
Mamat bersuara lagi.
Aku masih diam.
“Ente tahu dimana letak hutan paling
rimba?”
Aku tetap diam. Beberapa puluh meter
lagi kami akan sampai di stadion.
Mamat tertawa renyah. Entah
menertawakan apa.
“Asal Ente tahu ya, letak semua
tempat yang saya tanyakan tadi itu, semuanya ada pada hati seorang wanita. Semuanya
terletak disana,” ucap Mamat. Aku reflek menoleh pada Mamat. Senyumannya
menyambut tatapanku. “Hati seorang wanita itu misterius, Bro. Bahkan lebih
misterius dari semua tempat yang saya tanyakan tadi. Kita jangan sembarangan
menafsirkan respon mereka kepada kita. Salah-salah, kita jadi patah hati,”
Mamat menambahkan kalimatnya. Aku tertegun mendengar untaian kalimat yang
keluar dari mulut teman kosanku ini. Makan apa dia semalam, hingga bisa
mencipta kalimat ajaib ini?
Tak terasa, kami sudah tiba di loket
masuk stadion. Setelah membayar biaya masuk, kami langsung meluncur masuk
stadion. Kami berjalan menuju salah-satu sudut sarana olahraga ini untuk
melakukan pemanasan.
Kami pemanasan sendiri-sendiri. Di
sampingku, Mamat tampak serius melakukan pemasanasan ini.
“Sudah jangan terus dipikirin. Life must go on, Bro,” Mamat
menggerak-gerakan tubuhnya. Sekejap ia tersenyum padaku. Aku hanya merespon
dengan sebuah senyuman tipis saja.
“Ente tahu jika alam itu memiliki
kemampuan untuk membersihkan dirinya saat dia tercemari lingkungannya? Jika
belum tahu, nih saya kasih tahu sekarang,” Mamat menoleh padaku. Tangannya
masih bergerak pemanasan.
“Coba Ente sekarang bayangkan. Di
sebuah lereng gunung nun jauh disana,” Mamat menunjuk ke arah Tangkuban Parahu.
“Di sana terdapat sebuah sungai yang airnya jernih. Tapi tiba-tiba, ada sebuah truk
sampah yang datang menghampiri sungai jernih itu. Truk itu membuang gunungan
sampah ke sungai yang jernih itu. Nah, kira-kira, menurut Ente, apa yang
terjadi pada sungai ini? kotor bukan?”
“Hhmmm,” aku mengangguk.
“Ya, awalnya sungai itu akan
tercemar. Sungai jernih ini akan menjadi kotor. Tapi coba kita tunggu beberapa
saat saja. Tidak memakan waktu yang lama, karena air sungai itu terus mengalir,
maka sungai itu akan jernih kembali. Sungai itu akan kembali bersih seperti
sedia kala. Nah, fenomena ini, dalam ilmu lingkungan, disebut dengan homeostatis, yaitu kemampuan alam untuk
membersihkan dirinya lagi.
“Naaaah, begitupun dengan ini,”
Mamat meletakan tangannya tepat di dadanya. “Begitu pula dengan itu,” Ia
menunjuk ke arah dadaku. “Sebesar apapun kecewa yangkita rasakan, lambat laun
akan hilang dengan sendirinya. Percayalah. Kita hanya tinggal harus menerima
apa yang terjadi, juga harus bersahabat saja dengan sang waktu. Maka semuanya
akan menjadi baik kembali.” Mamat tersenyum padaku.
Aku menelan ludah. Tak percaya jika
orang yang sedang berbicara di hadapanku ini adalah Mamat. Si Mamat teman satu
kosanku. Pokoknya, aku harus segera menyelidiki makanan apa yang semalam dia
lahap. Jika sudah kutemukan, aku akan segera membeli makanan ajaib itu. Aku
akan beli sekarung. Akan aku makan semuanya. Titik.
***
Minggu, 23 Juni 2013
Suara Hati
Saat aku berbaring, aku ingin segera duduk.
Ketika aku duduk, aku ingin segera berdiri.
Kala aku berdiri, aku ingin segera berjalan.
Lalu aku berjalan dengan perlahan.
Tapi, kenapa aku ingin berjalan cepat?
Kemudian, kenapa juga aku ingin berlari?
Mataku tak mampu menatapmu.
Kakiku tak sanggup melangkah menghampirimu.
Tanganku pun tak bisa menyentuh dirimu.
Hanya hatiku saja yang mampu bersuara.
Suara lirih yang telingaku sendiri pun tak bisa mendengarnya.
Adakah seberkas cahaya mentari yang bisa menguapkan suara hatiku?
Dan adakah sang awan yang sudi untuk menyimpannya?
Lalu adakah angin yang mau meniupkan awan itu ke sebuah negeri yang sangat jauh disana?
Kemudian, adakah hujan yang bersedia membawa serta suara hatiku bersama rintiknya?
Dan menyampaikan suara hatiku pada dirimu.
Kasih, inilah suara hatiku.
Aku mencintaimu.
Kamis, 13 Juni 2013
Izinkan Aa Menyebutkan Tujuh Kelebihan Neng
Tidak seperti makan siang sebelum-sebelumnya. Kali ini
hening mendominasi. Hanya suara gemeletak piring yang beradu dengan sendok saja
yang terdengar. Sesekali Adam mengajak ngobrol sang istri, tapi orang yang
diajak ngobrol tetap diam. Putri diam seribu bahasa. Wajahnya lebih sering
menekuk. Semuanya berawal ketika tadi pagi, saat Putri mencoba membangunkan
sang suami untuk beres-beres rumah bareng. Ya, seperti inilah memang kebiasaan
keluarga baru ini. Setiap hari libur mereka sepakat untuk berbenah rumah
berjamaah.
Setelah
solat subuh tadi, Adam rebahan sejenak di tempat tidur. Mendapati hal itu,
Putri langsung membangunkan sang suami kembali. Bukannya langsung bangun, Adam
malah pura-pura tidur. Beberapa kali sang istri menggoyang-goyangkan tubuhnya,
namun Adam tetap enggan untuk membuka kedua matanya. Hingga akhirnya Putri
menggelitiki pinggang sang suami. Karena tak tahan, akhirnya Adam bangun juga.
Nah,
disinilah semuanya berawal. Pasca digelitikin, Adam langsung duduk. Ia memasang
wajah datar. Mukanya tak berekspresi. Persis seperti orang yang kesurupan.
Untuk beberapa detik Adam masih belum bergerak. Awalnya Putri biasa-biasa saja.
Tapi lama kelamaan akhirnya ia curiga juga. Wajah Putri berubah menjadi tegang.
Ia khawatir terjadi apa-apa dengan suaminya tercinta.
“A....
A...!” Putri memanggil-manggil sang suami. Tapi Adam tetap diam.
“A...!”
Putri menggoyang-goyang tubuh lelaki yang disayanginya itu. Namun Adam tak
kunjung memberi respon juga. Adam masih duduk terpaku. Pandangannya datar
kedepan. Menyeramkan.
Putri
kebingungan. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Perlahan bibir tipisnya
mengumamkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Adam
masih belum bergerak.
Rasa
takut Putri semakin menjadi-jadi. Mulutnya belum berhenti mengaji. Tak terasa,
karena saking takutnya, kedua mata Putri berembun. Perlahan embun itu mengalir
membentuk parit di kedua pipi lembutnya.
TOWEEEWW!
Mata
Adam melirik ke arah wajah sang istri yang sedang ketakutan. Putri terperanjat
kaget. Hampir saja ia hendak lari dari kamar. Tapi niat itu ia urungkan saat
mendapati sebuah senyuman nakal terlukis di bibir sang suami, yang kemudian
dilanjutkan dengan tawa kemenangan. Sebuah kemenangan karena telah berhasil
mengerjai sang isteri.
Belum
hilang tawa di mulut Adam. Tampaknya ia gembira sekali. Namun apa yang terjadi
pada Putri? Embun di matanya belum mau pergi. Rasa kesal yang bercampur dengan
rasa takut sisa tadi berbaur menjadi satu. Ia memalingkan wajahnya dari sang
suami. Apa-apaan ini?! Benar-benar sebuah becandaan yang sangat tidak lucu?! Putri
menggerutu dalam hati.
Adam
masih nyengir. Mirip kuda yang baru diberi makan rumput segar.
***
Dapat
diramalkan apa yang terjadi setelah kejadian pagi tadi. Ya, Putri masih
ngambek. Tapi, walaupun begitu, ia tetap berusaha untuk menjalankan
kewajibannya sebagai seorang isteri. Hanya saja, sepanjang setengah hari ini ia
lebih banyak diam. Acara bersih-bersih rumah bersama hari Minggu ini terasa
sangat hambar. Pasangan pengantin baru ini seperti bekerja sendiri-sendiri. Tak
ada lagi ketawa-ketawa penghias seperti pada hari Minggu sebelum-sebelumnya. Sesekali
Adam memang mencoba mengajak ngobrol. Tapi sayangnya, sang isteri tetap
membungkam mulutnya.
Dan,
perang dingin ini masih terjadi di sini. Di meja makan siang ini. Putri masih
cemberut. Sementara pada kursi yang hanya dipisahkan oleh meja makan saja, Adam
mesem-mesem gak jelas. Entah apa yang ada dalam tempurung kepalanya saat ini.
Setelah
makan siang selesai, Putri langsung membereskan meja makan. Alat-alat bekas
tadi makan langsung dicuci dan diletakan kembali ke tempatnya masing-masing. Kemudian
Putri langsung meluncur menuju sofa ruang tengah. Untuk meredam rasa kesal yang
masih bercokol di hati, Putri membaca buku.
Setengah
jam sudah Putri tenggelam dalam pikiran yang dijelaskan oleh isi buku. Setidaknya
ia bisa sejenak melupakan rasa kesalnya kepada sang suami.
“Hai,
Neeeeeng....”
Tanpa
permisi Adam duduk di samping Putri. Putri menoleh malas. Ia menatap buku lagi.
“Neng,”
goda Adam sekali lagi.
Putri
melihat wajah suaminya lagi. Meskipun dengan terpaksa.
“Apa?!”
jawab Putri dengan nada kesal.
Adam
nyengir. Ia menggerak-gerakan alisnya berulang kali. Kemudian nyengir lagi.
“Neeeeeng,”
goda sang suami sekali lagi. Kali ini dengan suara yang lebih lembut. Alisnya
lagi-lagi Adam gerak-gerakan genit.
“Neng
kenapa...? Perasaan dari pagi Aa perhatikan cemberut mulu... Memang Aa punya
salah ya...?”
“Pake
acara pura-pura gak tahu lagi!” gerutu Putri.
“Oooooh,
yang tadi pagi ya? Baiklah, kalo gitu Aa minta maaf soal itu ya. Ia, Aa ngaku
salah.”
“Gak
mau!”
Putri
kembali membaca buku. Ia tak menghiraukan sang suami yang sedang duduk di
sampingnya, mencoba untuk meminta maaf.
Adam
mulai mengerutkan dahi. Ia mulai sedikit bingung harus dengan cara apa lagi
agar isteri tercintanya tidak ngambek dan wajahnya berseri kembali.
Tak
memakan waktu lama, bibir Adam kembali mengembang. Ia tersenyum menyeringai.
Pelan-pelan
Adam mendekati sang istri. Posisi duduknya kini hanya beberapa inci saja dari
Putri.
“Neng,”
ucap Adam dengan nada dibijaksana-bijaksanakan.
Putri
diam saja. Ia masih tetap membaca buku.
“Aa
ngaku salah. Aa minta maaf atuh ya. InsyaAllah
Aa gak akan berbuat seperti itu lagi,” masih dengan suara yang mirip dengan
suara seorang guru besar di padepokan silat jika sedang bicara. Berat dan
berwibawa.
Putri
tetap diam.
Adam
mulai menghela nafas panjang. Ia diam sejenak. Mencoba membiarkan isterinya
mencerna kalimat yang telah ia ucapkan.
“Baiklah
kalo begitu,” Adam menghela nafas lagi. “Neng boleh tetap marah ke Aa. Dan Aa
akan tetap ridho kepada isteri Aa yang solehah ini walaupun Neng tetap marah
pada sang suami yang banyak dosanya ini. InsyaAllah
Aa ridho. Asalkan sebelumnya Aa minta Neng untuk menyebutkan tujuh kelebihan
yang Aa miliki dimata Neng. Hanya tujuh. Itu saja permintaan Aa. Boleh?”
Putri
berhenti membaca. Ia menoleh pada suaminya. “Gak ada!” Putri kembali membaca
buku.
Adam
menghela nafas. Sekali. Dua kali. Tiga kali.
“Baiklah,
kalo Neng gak mau mah gak papa,” Adam diam sejenak. “Aa ada satu permintaan
lagi. Jika Neng berkenan, Aa mohon Neng untuk bersedia mengizinkannya. InsyaAllah Neng tidak dituntut untuk
melakukan apa-apa. Neng cukup hanya mendengarkan saja. Mendengarkan Aa
menyebutkan tujuh kelebihan yang Neng miliki dimata Aa. Itu saja,” ucap Adam
sebijaksana mungkin.
Putri
masih mematung menatap buku di tangannya.
“Aa
anggap diamnya Neng ini pertanda setuju. Nanti setelah Aa selesai berbicara,
silahkan jika Neng masih tetap ingin mendiamkan Aa. InsyaAllah Aa akan tetap ridho kepada isteri Aa yang solehah ini.”
Mendengar
ucapan sang suami yang sepertinya memang serius, Putri mulai merasakan gak enak
duduk. Seperti ada yang mengganjal di hatinya. Namun tetap, ia masih diam.
“Kelebihan
Neng pertama di mata Aa adalah pinter masak. Jujur, semenjak Aa kecil hingga
sebelum dipersatukan oleh takdir dengan Neng. Aa beranggapan bahwa tidak ada
pasakan yang lebih enak dari pasakannya ibu Aa. Tapi ternyata itu salah. Anggapan
itu terpatahkan setelah untuk yang pertama kalinya Aa mengunyah makanan hasil
pasakannya Neng. Sejak saat itu, pasakan ibu berganti posisi menjadi urutan
kedua. Dan pasakan Neng menyodok ke posisi pertama.”
Putri
tak menyangka dengan ucapan suaminya barusan. Dadanya mulai berdesir. Suaranya
persis dengan senandung gurun pasir yang tertiup angin. Tapi ia masih tetap
diam.
“Kelebihan
Neng yang kedua adalah cantik. Cantik banget malah. Sungguh, bagi Aa. Tidak
ada, dan tidak akan pernah ada seorang wanitapun di dunia ini yang lebih cantik
dari Neng. Inilah salah satu alasan mengapa Aa memilih Neng.”
Putri
mulai salah tingkah. Sejujurnya ia sangat ingin untuk menatap suaminya. Tapi
rasa gengsi masih meringkusnya. Duduknya kini sudah mulai tak nyaman lagi.
Putri menggigit bibir bawahnya. Sebisa mungkin ia menahan diri untuk tidak
tersenyum.
“Yang
ketiga, Neng itu solehah. Bagi Aa, inilah anugerah terindah yang diberikan
Allah melalui diri Neng. Jujur Aa sangat bahagia memiliki Neng.”
Semakin
keras Putri menggigit bibir bawahnya. Walalupun terpaksa, akhirnya ia menoleh
kepada sang suaminya. “Sudah jangan berlebihan!” Putri mencoba marah lagi. Tapi
sayangnya raut wajah yang ia pasang seperti tidak singkron dengan apa yang ia
ucapkan. Muka Putri mulai memerah. Merona. Senyum yang sedari tadi ia
sembunyikan, pelan-pelan mulai menyeruak.
“Sungguh,
Aa gak bohong. Jika Neng ingin bukti, buktinya adalah hari ini. Aa tahu, sedari
pagi tadi Neng sedang merasa kesal pada Aa. Tapi, walaupun begitu, Neng tetap
tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban Neng terhadap seorang suami. Misalnya
tadi, Neng tetap bersedia menyediakan sarapan dan makan siang untuk Aa. Dan
pasakannya tetap enak. Tidak karena Neng sedang merasa kesal, lalu kadar
keenakannya Neng kurangi. Tidak.”
Putri
benar-benar tak bisa lagi untuk menahan senyuman di bibirnya. Akhirnya kedua
ujung bibirnya mulai melebar. Ia benar-benar salah tingkah. Mati kutu karena
kalimat dari sang suami. Tak tahu apa yang harus dilakukan, akhirnya Putri
menyubit bahu Adam. “Udah jangan berlebihan!” sayangnya, saat Putri berucap,
bibirnya malah tersenyum malu-malu.
“Sungguh,
ini beneran. Aa gak bohong,” Adam meyakinkan.
“Iiiiihh...," Putri
menyubit lagi bahu Adam. Bibirnya masih tersenyum malu.
“Kelebihan
Neng yang ke empat adalah...”
“Udah,
A. Iiiiihhh...,” Putri memotong kalimat Adam. Kedua sejoli itu saling pandang.
Mereka salng memberikan senyuman. Kemudian sedikit mulai tertawa.
Dengan
gerakan kilat Putri memeluk Adam. Lalu melepaskannya lagi.
“Awas
ya kalu nanti Aa mengulangi perbuatan itu lagi!” ucap Putri manja. Mereka
berdua tersenyum lagi.
Putri
menyubit bahu Adam lagi. Mungkin karena saking gemesnya pada suaminya itu. Kemudian
dilanjutkan dengan memeluk tubuh sang suami tercintanya lagi.
Adam
membalas pelukan sang isteri tercinta. Erat sekali Adam merangkul. Dan, saat
merangkul itu, Adam mengepalkan tangannya. Pertanda ia menikmati
keberhasilannya. Keberhasilan karena telah mampu membuat isterinya tidak marah
lagi. Bibir Adam menyeringai. Persis dengan seringaiannya seorang penjahat
kelas kakap yang telah berhasil mengelabuhi mangsanya.
Yes!
Akhirnya saya berhasil!. Gumam Adam dalam hati. Ia gembira tersebab sang isteri
termakan rayuan mautnya.
Bibir
Adam menyeringai lagi.
***
Langganan:
Postingan (Atom)