Siang
di Cilegon lebih panas dari siang di Bandung. Sengatan panasnya terasa menyusup
melalui pori-pori kulit. Akang mengusap dahinya yang bercucuran keringat.
Akang
duduk pada bangku panjang di halte depan mesjid agung Cilegon, bersama beberapa
calon penumpang lainnya. Deretan mobil di jalan raya menyerupai iring-iringan
acara karnaval. Kendaraan-kendaraan itu, yang umum maupun kendaraan pribadi,
merayap mengikuti kecepatan mobil yang ada di depannya. Kendaraan roda dua
lebih gesit pergerakannya. Ukurannya yang ramping membuat motor-motor itu dapat
dengan mudah menyelip pada celah sempit di antara dua mobil.
Dari
kejauhan, Akang melihat mobil angkot warna silver jurusan Cilegon-Anyar. Segera
Akang berdiri. Ia melangkah mendekat pada bahu jalan. Saat angkot mendekat,
Akang melambaikan tangannya isyarat untuk menghentikan angkot. Mobil angkutan
umum roda empat itu berhenti tepat di hadapan Akang.
“Karang
Bolong, A?” Akang mendekat pada jendela pintu depan. Sepintas pemuda yang sudah
satu tahun lebih tidak menginjakan kakinya di tanah Banten itu melirik ke bagian
belakang. Baru ada dua penumpang di dalamnya.
“Muhun, A,” sopir angkot berusia sekitar akhir
dua puluhan mengulum senyumnya.
Ada
warna kelegaan di wajah Akang. Akhirnya, setelah numayan lama menunggu, angkot
yang dicari-cari hadir juga. Akang membuka pintu depan. Ia ingin duduk nyaman
di kursi depan. Bersebelahan dengan sang pengendara.
Angkot
melaju pelan. Kecepatannya sama dengan mobil yang ada di depan dan belakangnya.
Laju
angkot mulai menyepat setelah keluar dari kota Cilegon. Jumlah kendaraan lebih
sedikit. Kondisi jalan tampak lebih lengang.
Seorang
penumpang bapak-bapak berhenti di pertigaan Krenceng dekat stasiun kereta api.
Setelah transaksi dengan sopir usai, angkot silver kembali melaju. Lebih
kencang dari sebelumnya.
Penumpang
satunya, seorang perempuan dengan berseragam kantoran menghentikan laju Angkot.
Ia berhenti di pertigaan Ciwandan. Praktis, kini hanya tinggal seorang saja
sisa penumpang. Yaitu Akang.
Angkot
kembali berjalan. Membelah jalan raya Anyar-Cilegon.
Ringkon
hape dengan lagu dangdut memecah kebisuan. Reflek Akang menatap sumber suara.
Sorot mata Akang berhenti pada sebuah hape kecil yang tergeletak di dashboard depan sopir. Setelah itu Akang
mengarahkan pandangannya pada wajah pemuda berusia beberapa tahun lebih tua
darinya yang sedang memegang kendali angkot. Pada waktu yang sama, sang sopir
juga menatap wajah Akang. Mereka beradu senyum. Senyum yang timbul lebih karena
musik dari hape milik sang sopir.
Sambil
tetap melajukan angkotnya, sang pengemudi menerima panggilan untuknya.
Sementara Akang kembali menatap ke kaca bagian depan mobil. Kembali menatap
jalan.
“Halo,”
pemuda di samping Akang memberi respon. Setelahnya ia lebih banyak diam. Fokus
pada jalan, juga mungkin pada kalimat yang diucapkan oleh lawan bicaranya yang
entah berada di tempat mana. Sesekali sopir muda itu hanya menjawab dengan kata
“Oke” dan “Oke” saja.
“Oke.
Oke,” sang sopir muda itu mengangguk setiap kali mengatakan kata “Oke”.
“Oke,”
sang sopir di sebelah Akang kembali mengangguk. “Tapi ulah sakitu teuing atuh. Tambahan saeutik lah.” Jika didengar
dari ucapannya, sepertinya dia sedang melakukan penawaran pada sang lawan
bicara.
“Oke,”
sopir itu mengangguk. “Oke,” dia menangguk lagi. “Masih di Ciwandan. Sakeudeung deui nyampe. Tangguan bae heula di dinya.”
“Oke,
sip,” sang sopir melepas hape dari telinganya. Ia kembali meletakannya pada dashboard di hadapannya. Ia kembali
fokus menatap jalan.
Mobil
masih melaju di jalan raya Cilegon menuju Anyar. Kiri-kanan jalan pemandangannya
masih berupa deretan industri yang beberapa tahun terakhir ini semakin banyak
bermunculan. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan kondisi udara Cilegon
semakin mengkhawatirkan saja.
“Punten, A. Tadi Aa bade kamana?” sang
sopir muda bertanya pada Akang.
Akang
menoleh. “Karang Bolong, A.”
Pemuda
yang kedua tangannya cekatan memegang kemudi itu kembali menatap jalan. Ia
seperti ingin mengutarakan sesuatu. Tapi ada rasa malu yang mengiringi. Ia
tersenyum mesem.
“Punten pisan, A. Aa turuna di alun-alun
Anyar bae nyah,” pinta sang sopir.
“Lha, saur Aa tadi angkot ieu langsung ka
Karang Bolong?”
“Soalna aya nu bade nyarter angkot abdi, A.
Saurna bade ka Serang. Numayan bayarana ageung,” sang sopir muda itu
mencoba memberi penjelasan.
Akang
diam. Ia seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Sang sopir bergantian
menatap Akang juga jalan. Menunggu jawaban penumpang satu-satunya ini.
Akang
berpikir. Saat ini yang naik angkotnya hanya dirinya saja seorang. Kasihan juga
jika seandainya sampai Karang Bolong nanti tidak ada penumpang lagi yang naik.
Beda ceritanya jika angkot ini jadi di sewa oleh pelanggannya. Mungkin uang
yang akan dia dapatkan hari ini bisa lebih banyak. Pundi-pundi uang itu pasti
sangat dia butuhkan untuk membiayai hidupnya. Dan mungkin hidup istri dan
anaknya jika memang dia sudah memiliki kelaurga.
Akang
berpikir lagi. Sepertinya dia memang harus mengikuti permintaan sang sopir
untuk berhenti di alun-alun Anyar. Sang sopir muda itu sangat membutuhkan
pendapatan yang lebih besar. Toh, akan ada banyak angkot lagi di alun-alun
nanti.
Akang
menoleh pada pemuda di samping kanannya. “Muhun,
A. Teu nanaon Abdi turun di alun-alun geh.”
Sumringah
sekali sang sopir mendengar kalimat Akang. Ia mengucap terima kasih pada sang
penumpangnya itu.
Angkot
masih melaju. Beberapa kilo meter lagi akan segera tiba di alun-alun Anyar.
***
Akang
berjalan di trotoar jalan, di antara bahu jalan dan jajaran gerobak para
pedagang kaki lima. Kondisi udara alun-alun Anyar tidak berbeda jauh dengan
yang di Cilegon. Gilasan ban kendaraan di jalan melambungkan debu-debu yang
sedang istirahat di kulit jalan.
Akang
mengelap dahinya yang berkeringat. Ia tetap melangkah menuju mobil angkot yang
sedang menunggu penumpang. Angkot itu masih sedang ngetem di jalan depan mesjid agung Anyar.
Sepuluh meter
menuju angkot yang diam itu, langkah Akang terhenti. Penyebabnya adalah seorang
pria setengah baya bertubuh sedikit kurus dan dengan rambut yang sudah penuh
oleh uban. Pria itu mendekatkan wajahnya pada jendela pintu depan angkot. Sepertinya
dia sedang menanyakan trayek angkot itu. beberapa detik setelahnya, pria
berpakaian rapih dan berambut putih itu masuk angkot.
Akang
buru-buru membalikan badannya. Ia kembali melangkah. Hanya saja kali ini untuk
menjauhi angkot yang di dalamnya ada seseorang yang sangat dia kenal. Pria setengah
baya itu adalah gurunya saat masih bersekolah di SMA N 1 Anyar dulu. Dia adalah
bapak Hikmat. Seorang guru fisika yang terkenal dengan kegarangannya saat di
luar kelas, namun berubah menjadi super menyenangkan kala di dalam kelas. Ya,
itulah gambaran tentang bapak Hikmat yang masih tersimpan jelas di kepala Akang.
Akang
merasa malu seandainya dia satu angkot dengan sang guru itu. Jika benar-benar
bersua, pasti akan ada obrolan di dalamnya. Nah, karena hal itulah Akang merasa
segan.
Akang
menoleh ke belakang, angkot itu belum juga berangkat. Pelan-pelan ia terus
melanjutkan langkahnya. Entah kemana tujuannya. Yang penting Akang harus
jauh-jauh pergi dari angkot itu.
Sepanjang langkah
hati Akang terus berkecamuk. Kini sang akal sehat yang sedari tadi tertidur di
otaknya mulai bangkit. Ia mencoba mengimbangi pikiran kerdil yang menguasi
kepala Akang.
Kenapa saya
harus malu untuk bertemu dengan bapak Hikmat? Memang apa kesalahan yang pernah
saya perbuat hingga harus begitu? Tidak ada kan? Lantas, jika tidak ada, untuk
apa juga saya harus malu? Justru itu akan mencerminkan kepribadian saya yang
lemah mental. Sang akal sehat bertubi-tubi mengeluarkan argumennya.
Kenapa saya
harus malu? Padahal jarang sekali kesempatan ini munculnya. Padahal kesempatan
ini merupakan sebuah kesempatan yang sangat baik. Kesempatan baik untuk
bersilaturahim dengan sang guru yang telah banyak memberikan saya ilmu.
Kenapa
malu? Kenapa harus malu untuk melakukan kebaikan? Boleh jadi, saat ini sedang
ada setan yang menyelinap ke dalam otak saya. Makhluk terlaknat itu mencoba
membisikan kepada hati untuk tidak melakukan sebuah kebaikan. Sebuah kebaikan
untuk bersilaturahim dengan bapak Hikmat.
Sang akal
sehat mulai mampu menguasi keadaan. Pikiran kerdil kini benar-benar telah
menjadi kerdil. Akang menghentikan langkah. Tanpa banyak pikir lagi, ia kembali
membalikan badan, lalu kembali berjalan menuju angkot yang masih diam. Kembali melangkah
menuju bapak Hikmat. Akang akan bersilaturahim dengan sang guru fisik yang
sudah lama sekali tidak berjumpa.
Langkah Akang
tegap. Langkah Akang yakin. Tidak secuilpun rasa ragu mengikuti. Bismillahirrahmannirrahim. Untuk apa
malu dalam hal kebaikan? Kerdil sekali jika tidak jadi melakukan kebaikan hanya
karena rasa malu! Kerdil sekali!
***
“Karang
Bolong, A?” Akang mendekat pada jendela.
“Muhun, A,” jawab bapak sopir yang
usianya mendekati senja.
Sebenarnya
kursi depan kosong, dan Akang akan nyaman jika duduk di sana. Namun, ada hal
lain yang lebih baik dari sekedar rasa nyaman. Yakni silaturahim. Inilah sesungguhnya
niat utama Akang kenapa naik angkot ini.
Akang
masuk lewat pintu samping. Ia bergabung dengan beberap penumpang yang sudah ada
di dalam. Akang duduk tepat di hadapan bapak Hikmat yang sedang khusuk menatap
layar hape di tangannnya.
“Assalamu’alaikum, Pak,” sapa Akang. Ia lebih
mendekatkan wajahnya ke arah bapak Hikmat.
Bapak guru
berambut putih itu menoleh. Satu detik terbengong. Detik berikutnya matanya membulat.
“Akang. Wa’laikumussalam.” Bapak Hikmat
sumringah. Akang menyalami tangan bapak guru di depannya.
“Gimana
kabarnya? Sudah lama kita tidak ketemu?” bapak Hikmat mengusap-usap pundak sang
murid. Akang memberi senyum.
“Baik,
Pak. Bapak gimana? Sehat?”
“Alhamdulillah baik, baik,” bapak Hikmat melepas
tangannya dari pundak Akang. “Kenapa sekarang tidak pernah main ke sekolah
lagi?”
Akang
nyengir. “Mudah-mudahan kedepan bisa silaturahim lagi ke sekolah, Pak.”
“Iya, iya,
harus itu,” bapak Hikmat manggut-manggut. “Oya, kapan Akang lulus?” tambah
bapak guru berbadan sedikit kurus itu.
“Alhamdulilah Akang sudah wisuda, Pak.”
“Lho,
kapan? Kenapa tidak ngasih tahu Bapak?”
“Setelah
wisuda Akang tidak sempat main ke sekolah, Pak. Kemudian setahun kemarin Akang
ikut program pemerintah untuk mengajar selam satu tahun di daerah terpencil,” Akang
menjelaskan.
“Oooh,”
bibir bapak Hikmat membulat.
Kedua ujung
bibir Akang melebar.
“Terus
sekarang Akang ngajar dimana?”
Akang
nyengir. “Belum, Pak,” jawab Akang pendek. Sebenarnya masih ada kalimat yang
ingin Akang utarakan. Namun kalimat itu tertahan di tenggorokannya.
“Alhamdulillah jika belum,” ujar bapak
Hikmat.
Akang
melipat dahi karena kalimat bapak guru di depannya. Alhamdulillah?
“Tahun
depan bapak Suroso akan pensiun. Jadi sekolah kita sedang membutuhkan guru
kimia baru. Besok Akang datang kesekolah ya,” terang bapak Hikmat semangat
sekali.
“Besok ke
sekolah? Untuk?” Akang harap-harap cemas.
“Mengajar
kimia.”
Wajah Akang
sumringah tidak percaya. Matanya membulat menatap bapak Hikmat. Apakah ini
sungguhan? Hatinya bertanya-tanya.
“Ngajar
kimia, Pak?”
“Ia. Akang
jadi guru di sekolah kita.”
Allahu Akbar! Duhai bapak
Hikmat, sesungguhnya kalimat inilah yang tadi ingin Akang keluarkan. Kalimat inilah
yang tadi tersendat di kerongkongan Akang. Sudah lama sekali sebenarnya Akang
ingin mengajar di SMA N 1 Anyer. Mengajar di almamaternya dulu.
“Besok Akang
bawa lamarannya, Pak?
“Sudah
tidak perlu. Kita langsung wawancara aja.”
SubhanaAllah! Kenapa bisa
semudah ini Yaa Allah? Semuanya terjadi diluar batas pemikiran Akang. Terima kasih
Duhai Allah.
Ingatan Akang
tiba-tiba melayang pada kejadian beberapa menit yang lalu. Menuju ketika
hatinya berkecamuk untuk naik angkot yang sama dengan bapak Hikmat atau tidak. Dengan
mengingat memori itu, Akang sangat bersyukur karena akal sehatnya mampu
mengalahkan pemikiran kerdilnya. Akang sangat bersyukur. Bersyukur sekali. Jika
saja akal sehat Akang tadi kalah, kejadiannya pasti tidak akan seperti ini. Semua
kemudahan ini pasti tidak akan pernah ada.
Duhai Allah.
Janji-Mu memang pasti kebenarannya. Silaturahim itu baik. Silaturahim itu
mendatangkan banyak rezeki. Terima kasih Yaa Allah. Terima kasih Duhai Allah.
Obrolan di
antara bapak guru dengan sang murid terus berlanjut. Mereka membincang
semuanya. Tentang kondisi sekolah. Tentang pengalaman Akang selama satu tahun
mengajar di Ranupane. Tentang semua yang sempat dibicarakan.
Angkot terus
melaju di jalan raya Anyar. Sebuah jalan yang menyusuri garis pantai Anyar. Pemandangannya
menakjubkan. Kondisi udaranya sudah lebih baik dari sebelumnya.
Bapak Hikmat
tertawa. Akang juga tertawa.
***