Selasa, 27 April 2010

Aku Yakin Inilah Hikmahnya



HARI INI
Maha suci Allah yang menciptakan langit dan bumi, juga segala isinya yang menakjubkan. Sudah lama aku tidak merasakan ini. Serasa ada angin surga yang berhembus masuk ke dalam qalbuku. Sejuk dan damai. Aku merasakan nikmat-Nya disetiap nafas yang kutarik. Semua beban kehidupan terasa hilang entah kemana.
Matahari istirahat di peraduannya. Bersamaan dengan itu, perlahan hari bertambah gelap, dan semakin gelap di setiap detiknya. Langit tampak berwarna jingga. Lampu-lampu rumah mulai dinyalakan sang pemiliknya. Seruan adzan magrib berkumandang seperti saling bersahutan diantara menara-menara mesjid yang menjulang ke langit. Hampir disetiap penjuru mata angin kudengar indahnya suara muadzin.
Sesaat aku teringat kampung halamanku. Kampung dimana tempat aku dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua yang sangat luar biasa. Karena didikan mereka berdualah, sekarang aku bisa menuntut ilmu di salah-satu universitas negeri di Bandung. Universitas tempat bermunculannya para pahlawan tanpa tanda jasa, yang mana karena jasa merekalah tumbuh orang-orang pembangun peradaban bangsa.
Di kampung halamanku adzan berkumandang tidak bersahut-sahutan seperti di sini. Hal ini karena mesjid di kampungku hanya ada satu atau tunggal. Dan selain itu, yang membedakan antara kampungku dengan tempat dimana aku tinggal sekarang adalah : pertama, disini, sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah bangunan dan bangunan, amat jarang sekali ada tumbuhan hijau. Ini berbanding terbalik dengan keadaan di kampungku. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah hamparan indahnya daun-daun hijau, dan membuat nyaman siapapun yang melihatnya.
Kedua, disini orang-orang tampak sisi keindividualisannya. Bukti terakhir yang kulihat sendiri adalah ketika ada tetangga yang akan mengadakan hajatan pernikahan, hanya sedikit orang-orang yang membantunya, bahkan jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Di kampungku lain lagi, ketika ada satu keluarga yang akan mengadakan acara-acara seperti pernikahan, khitanan, syukuran ataupun acara lainnya yang sejenis, jika tidak ada halangan yang sifatnya syar’i, hampir dipastikan para tetangga akan membantu. Bahkan orang-orang yang letak rumahnya di ujung kampung atau dengan kata lain letak rumahnya sangat jauh dari rumah yang akan melaksanakan hajatan, jika tidak ada halangan pasti akan datang membantu juga. Selain kedua parameter yang sudah dijelaskan di atas, masih banyak lagi parameter lain yang membedakan antara kampungku dengan tempat dimana aku tinggal sekarang. Tentunya ada juga sisi positif dari tempat dimana aku menuntut ilmu sekarang jika dibandingkan dengan kampungku. Salah-satunya adalah, orang-orang disini lebih bisa menghargai waktu jika dibandingkan dengan orang-orang di kampungku.
Lewat gang yang sempit dan berliku ini aku berjalan menuju kewajibanku sebagai hamba Allah. Sepanjang perjalanan, banyak pemandangan yang kulihat, seperti: ada mahasiswa yang memasukan motor ke kosannya; ada ibu-ibu yang dengan susah payah membujuk anak kesayangannya untuk segera masuk ke dalam rumah ; ada bapak pedagang baso dorong yang members-beresi sisa dagangannya ; juga banyak lagi pemandangan lain yang tidak bisa kusebutkan satu persatu.
Diantara kesemua pemandangan yang kulihat, ada satu pemandangan yang membuat aku iri dan sedikit tidak sabar ingin merasakannya. Aku melihat aura kebahagiaan dari keakraban mereka. Sepasang kekasih sedang mengobrol di kursi depan rumahnya. Sang pangeran tampak gagah dengan baju koko putih dan ikatan sarung kotak-kotak, dan sang permaisuri tampak anggun dengan balutan busana muslim dengan warna yang sama dengan baju koko yang dikenakan sang pangeran. Jika dilihat dari usia mereka, sudah bisa dipastikan mereka adalah sepasang pengantin baru.
Sang pangeran pamitan kepada istrinya tercinta untuk pergi ke mesjid. Dengan sangat sopan sang permaisuri mencium tangan sang pangeran, sejurus kemudian bibir sang pangeran mendarat di kening sang permaisuri. Oh… alangkah indahnya pemandangan itu. Andai saja aku yang berada di posisi sang pangeran itu, betapa bahagianya aku.
Astagfirullahhal’adzim. Pikirku dalam hati. Mudah-mudahan Allah swt. Mengampuni dosaku ini. Segera aku melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan menuju mesjid, aku berdo’a kepada Sang Maha Pemberi agar pada saatnya nanti, aku dianugerahi seorang istri yang cantik dan solehah. Aku ingin pada saatnya nanti, kami hidup dalam keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah. Aku ingin kesetiaan istriku layaknya sang bulan yang selalu setia mendamping bumi.
Aku sangat yakin dengan janji Allah yang menerangkan bahwa laki-laki baik akan mendapatkan wanita yang baik pula, dan laki-laki yang tidak baik maka akan mendapatkan wanita yang tidak baik pula. Berdasar pada firman Allah itu, aku berusaha sebisa mungkin untuk menjadi seorang laki-laki yang baik, supaya disaat pernikahanku nanti, aku mendapatkan seorang permaisuri pendamping hidup yang aku impi-impikan .
Sebelum hari bahagia itu tiba, maka aku harus mempersiapkan segala sesuatunya dari sekarang. Baik itu dari segi mental dan materi. Yang paling jelas di depan mataku sekarang adalah bagaimana caranya agar aku mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya dan menjadi mahasiswa yang berprestasi. Hingga dengan prestasi itu, bisa memudahkan aku dalam mendapatkan pekerjaan yang baik dan dengan penghasilan yang besar tentunya. Jika penghasilan aku sudah besar, maka hal itu memudahkanku untuk membahagiakan istri dan anak-anakku kelak, dan yang paling penting adalah memudahkanku untuk beribadah kepada Sang Pemberi rizki itu, yang tidak lain adalah Allah Yang Maha Esa.
Beberapa orang masih di dalam mesjid. Kebanyakan yang usianya sudah sepuh atau tua. Ada yang menunduk merasakan nikmatnya berdzikir; ada yang duduk sila sambil mengacungkan kedua tangannya sebahu pertanda sedang memanjatkan do’a ; ada juga yang sedang membaca Alquran dengan suara yang pelan.
Dengan penuh keyakinan, aku memanjatkan sebuah do’a, “ Bismillahirrahmaanirrahim, Alhamdulillahirrabbil’aalamiin, Allahumma sholi ‘alaa Muhammad wa ‘ala ali sayyidiina Muhammad, Ya Allah, Yang Maha Memberi, berilah hamba-Mu yang lemah ini kemudahan dalam menjalani kehidupan, mudahkanlah segala urusan perkuliahan hamba, dan berilah hamba jodoh yang baik, baik untuk kehidupan dunia maupun untuk kehidupan akhirat hamba. Wa shallahu ‘ala Muhammah wa ‘ala ali Muhammad, amin ya rabbal ‘alamin.”
KEMARI
Televisi menyala. Suaranya keras. Sementara tujuh orang pemuda sibuk dengan kegiatannya. Di ruang tamu yang sekaligus merangkap sebagai ruang serbaguna, dikatakan serbaguna karena banyak sekali kegunaan dari ruang ini. Ketika tamu datang, ruang ini dijadikan sebagai kamar tamu, tinggal digelar tikar atau kasur, sang tamu sudah bisa langsung tidur. Juga sebagai ruang bercengkerama antara para pemuda pengisi kos-kosan yang tampangnya ganteng-ganteng, heeee, ceritanya lagi narsis nih.
Ageng, mahasiswa tingkat satu jurusan pendidikan kewarganegaraan sedang asyik mengobrol dengan Ari. Ari adalah mahasiswa tingkat tiga jurusan pendidikan ekonomi dan koperasi.
“ Kirain saya break itu sudahan, ternyata istirahat doang toh,” ujar Ageng kepada Ari, dengan logat jawanya. “ Saya menyesal, Kang Ari,” Ageng menambahkan sambil memukul bantal tak berdosa yang ada di depannya. Mereka sedang membicarakan pengalaman perjalanan asmara Ageng ketika masih duduk di bangku SMA.
Dari ketujuh pemuda yang menghuni kos-kosan ini, hanya aku yang memiliki bahasa induk sunda, yang keenam lainnya berbahasa induk jawa. Mereka semuanya mahasiswa asal Indramayu, sementara aku berasal dari Banten sendirian. Jika mereka sedang berkumpul dan berbicara bahasa ibu mereka, aku hanya melongo melihat mereka, tanpa tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Disaat-saat seperti itulah, betapa terasa manfaat bahasa persatuan, yaitu bahasa indonesia.
Sementara di kamar yang bersebelahan dengan ruangan dimana Ageng dan Ari mengobrol, disana berkumpul empat pemuda lainnya. Ibnu, yang mengambil jurusan yang sama dengan Ageng, sibuk sendiri dengan laptop barunya. Headphone sebesar kerupuk kaleng menempel di telinganya. Jika dilihat dari gerakan kepalanya yang manggut-manggut dengan kecepatan yang super cepat, sudah dapat dipastikan dia sedang mendengarkan musik beraliran keras. Tepat disebelah Ibnu yang sedang ajep-ajep, ada Ulu dengan posisi berbaring telungkup. Kepalanya menengadah menghadap laptop didepannya. Sementara Witra duduk manis disamping Ulu. Sesekali Witra memberi sedikit arahan kepada Ulu yang sedang bermain game di laptopnya. Memang, Witra terkenal sangat ahli dalam permainan dunia maya. Ulu adalah mahasiswa tingkat tiga jurusan teknik mesin, sedangkan Witra mahasiswa tingkat satu jurusan fisika murni.
Satu pemuda tersisa adalah Jayus Riadussholihin, kami biasa memanggilnya dengan sebutan Kang Jayus. Dia adalah satu-satunya mahasiswa S2 yang ada di kos-kosan ini. Kang Jayus duduk dipojokan. Tangan kirinya memegang buku, sementara tangan yang satunya bolak-balik jurusan toples kue dan mulut. Sementara aku sedang menyiapkan handuk dan alat-alat mandi yang akan kumasukan kedalam tas. Sore ini aku berencana untuk mandi di kosan teman yang letaknya tak jauh dari kosanku. Sudah dua hari ini aku numpang mandi, hal ini karena pompa air yang ada di kosanku sedang rusak. Bapak kos sudah berusaha untuk memperbaiki, akan tetapi belum juga ada gelagat baik.
Aku merasa ini adalah teguran dari Allah Swt. Karena sudah lama sekali kami, khususnya diriku pribadi, tidak solat berjama’ah di mesjid. Aku yakin setiap kejadian di dunia ini, tidak ada yang tidak mengandung hikmah. Peristiwa rusaknya pompa air ini semata-mata teguran dari Allah agar aku untuk solat berjama’ah kembali di mesjid dan mempererat tali silaturahmi dengan orang-orang di lingkungan sekitar, yang mana upaya penyambungan silaturahmi tidak mungkin terjadi jika aku hanya tetap berdiam diri di kosan.
Semenjak pompa air rusak, mau tidak mau kami harus melaksanakan sholat berjamaah di mesjid, karena di kosan tidak ada lagi air untuk berwudhu. Selain itu juga, kami harus rela bangun pagi-pagi buta untuk berjamaah sholat subuh. Yang sedikit menyiksa adalah jika panggilan alam menyapa di malam yang buta.
Peristiwa ini membuat aku semakin yakin, kalau Allah itu sangat mencintai hamba-hamba-Nya.
KEMARIN LUSA
Beban hidup terasa berat. Masalah serasa tidak ingin lepas dari jiwa ini. Belum selesai satu tugas dikerjakan, muncul kembali tugas yang jumlahnya seabreg-abreg. Akhir-akhir ini aku merasa hidup sudah tidak bergairah lagi. Aku tidak bisa memenej waktuku dengan baik. Pekerjaan yang seharusnya kukerjakan lebih dahulu malah dikerjakan kemudian, dan pekerjaan yang sifatnya tidak mendesak, kukerjakan secepatnya. Aku pusing dibuatnya. Belum lagi harus dengan cermat memikirkan pengeluaran uang yang jumlahnya kian menipis. Salah-salah aku kehabisan uang jauh hari sebelum kiriman datang lagi.
Malam ini aku harus berpacu dengan waktu karena pengumpulan tugas mata kuliah Kartografi (baca : ilmu yang mempelajari peta) sudah di depan mata. Besok jam Sembilan pagi aku harus mengumpulkannya. Jadi, sekurang-kurangnya aku harus menyelesaikan tugas ini dalam waktu Sembilan jam tersisa.
Mata sudah terasa berat. Ingin rasanya aku tidur, akan tetapi aku takut kebablasan. Apa yang akan terjadi pada nilai mata kuliah kartografiku jika aku ‘tak bisa menyelesaikan tugas ini. Bisa berakibat fatal nantinya.
KRROOOOKK KRRROOOOOKKKK KRRRRR KRRRKKKKKKKKKK
Suara korok Ibnu sedikit mengganggu konsentrasiku. Dahsyat, lima dari keenam temanku tidur di satu kamar yang tidak terlalu luas. Posisi tidur mereka tidak keruan. Ibnu tidur dengan posisi terlentang sambil mengeluarkan suara korok yang merdu. Tangan dan kakinya terbuka lebar. Kaki yang satu menindih tubuh Witra yang tidur dengan posisi huruf wao (salah-satu huruf arab), sementara kaki satunya menggilas tubuf Ageng yang tidur dengan mulut yang mangap.
Sementara Ari dan kang Jayus tidur dengan posisi yang sama, yaitu posisi badan miring. Yang sedikit unik adalah posisi tidur miring mereka saling berhadap-hadapan. Mereka layaknya pengantin baru yang tidur pada malam pertama. Mereka terlihat mesra. Heeee
Ulu, sang mahasiswa teknik mesin lain lagi. Kesehariannya selalu tidak jauh dari laptop. Tidurpun di samping laptop kesayangannya itu. Ulu tidur di kamar yang berbeda. Karena sibuk dengan rancangan mesinnya, semalam dia tidak ikut mengobrol ria dengan kelima mahasiswa sedaerahnya. Aku tidak faham apa yang mereka obrolkan semalam, yang jelas mereka sangat menikmati obrolan itu. Tawa mereka membahana ke seluruh sudut kosan. Tikuspun bersembunyi di rumahnya karena menghindari gelak tawa mereka.
Kulit kacang berserakan dimana-mana. Gelas kaca berebut posisi dengan lima mahasiswa yang tepar di kamar.
GELENTRRAANGG
Salah-satu gelas tertendang kaki Ari. Posisi tidur Ari sedikit berubah. Dia kian mendekat dengan kang Jayus. Tangannya berada di atas tubuh kang Jayus. Mereka terlihat semakin mesra. Sementara di kamar sebelah, laptop yang masih terbuka dan dalam keadaan menyala, sedang menonton Ulu yang tertidur pulas.
Jam dinding menunjukan pukul dua pagi. Suhu terasa semakin bertambah dingin. Korok Ibnu mulai melemah. Pengantin baru semakin mesra. Detik terus berjalan, akan tetapi ‘tak kunjung selesai juga tugas yang kukerjakan. Kepala sudah terasa berat dan keras, seperti sudah akan pecah saja. Otakku mandek seperti sudah tidak bisa digunakan lagi untuk berpikir.
Sejenak kuhentikan pekerjaan. Kulentangkan tubuh dengan selentang-lentangnya. Kupejamkan mata dan kutarik nafas dalam-dalam, berharap tubuh ini segar kembali. Alih-alih mengharapkan tubuh menjadi segar, malah semakin berat kantuk yang kurasakan. Bergegas aku meluncur menuju kamar mandi untuk mencuci muka agar segaran kembali. Selintas terbersit dalam pikiranku untuk mengambil wudhu dan melakukan kiamul lail. Sudah lama aku tidak melakukan sholat sunah yang paling dianjurkan oleh Rasulullah ini.
Niatku untuk melakukan kiamul lail bertambah besar saja setelah mengingat hadits Rasulullah yang menerangkan bahwa Allah Swt. turun ke langit dunia pada sepertiga malam. Dia berkata bahwa siapa saja dari hamba-Nya yang memohon ampunan maka akan diampuni dan siapa saja yang memohon rezeki maka akan diberi. Segera aku mengambil wudhu dan melaksanakan sholat sunah kiamul lail.
“ Ya Allah, berilah hamba-Mu yang lemah ini ketenangan hidup, juga kemudahan dalam menjalaninya. Amin,” harapku dalam do’a.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar